Sunday, March 18, 2012

Tujuh Musim.


Saya adalah orang yang begitu mencintai angkasa. Alasannya sederhana, karena ia mampu menampung semua kata-kata, impian dan entah berapa ratus perasaan lain yang sering kali singgah dalam kepala atau hati.

Mungkin terkesan konyol, tapi saya percaya bahwa angkasa adalah tempat penyimpanan paling hebat. Lihat saja, sampai sekarang belum ada data empiris yang menyatakan tentang nilai luasnya angkasa. Jadi, kamu bisa bayangkan, berapa banyak data yang bisa kamu titipkan ke angkasa.

Dulu, dulu sekali. Di tengah ribuan data-data saya di angkasa, saya pernah mencatutkan satu hal; hidup di luar Indonesia. Pikir saya waktu itu, saya ingin membuat boneka salju super besar yang berbahan asli dari butir-butir es dari langit Tuhan. Karena hingga saat ini, Indonesia masih merupakan negara yang tropis, satu-satunya solusi untuk membuat boneka salju super besar adalah, hanya dengan tinggal di negara empat musim. Tidak untuk selamanya tentu saja karena saya terlalu cinta Indonesia. Tapi setidaknya cukup satu atau bulan ketika musim salju tiba.

Lalu, masih di waktu yang sama. Pada jaman dulu, dulu sekali.
Saya juga menyimpan kata-kata ini di angkasa; mau berbicara bahasa Inggris setiap hari. Alasan saya sederhana, karena nilai Bahasa Indonesia saya sejak SMP hingga SMA, tidak pernah lebih baik jika dibandingkan dengan nilai Bahasa Inggris. Bahasa Inggris mungkin jauh lebih sederhana. Setidaknya ia tidak memiliki majas personifikasi, metonimia, litotes, totem prototo atau pras proparte. Jangan pernah tanyakan bagaimana perbedaan di antaranya. Yang masih jelas di kepala, hanya majas personifikasi saja.

Berikutnya, saya pernah menuliskan kata-kata ini juga; terlibat lagi dalam pendidikan formil, merasakan kembali masa-masa begadang mengerjakan tugas atau persiapan ujian di perkuliahan, mendaratkan kaki di lebih dari separuh negara-negara di Eropa dengan tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun, lalu jatuh cinta.

Hingga pada akhirnya, tanggal 31 Januari 2012 tiba. Pada saat itu, saya merasakan romantisme luar biasa dengan angkasa. Langit tentu saja tidak sedang hujan strawberry, dia hanya menjatuhi saya dengan sederetan kata yang pernah saya titipkan di sana. Tentu saja Tuhan yang menjatuhkannya.

Dalam hampir enam belas jam perjalanan mengarungi angkasa, saya hanya tersenyum dan menangis haru. Karena sesungguhnya, ada banyak kata yang saya benar-benar sudah lupa jika pernah menitipkannya di langit, tapi pada hari itu sepertinya hujan kata-kata saya, turun dengan derasnya.

Tuhan begitu baik. Dia memberikan kesempatan kepada saya untuk menjejakkan kata-kata tadi ke bumi. Yang lebih hebat lagi, Dia menjatuhkannya dalam waktu yang luar biasa tepat. Tidak satu tahun yang lalu, atau tidak tiga tahun kemudian.

Ah.. Tuhan memang selalu baik.

Saat ini, hampir dua bulan saya menginjakkan kaki di Belanda. Waktu yang masih singkat tapi sudah dipenuhi dengan ratusan peristiwa yang mengejutkan. Lagi-lagi, Tuhan selalu penuh misteri kan? Saya tidak hanya diberi hujan, tapi terkadang gemuruh, awan hitam tebal bahkan rentetan pelangi. Saya hampir lupa jika saat ini saya hanya punya empat musim. Tapi Tuhan, sekali lagi memberikan banyak bonus; empat musim normal, ditambah lagi tiga musim spesial; musim hujan kata, musim kemarau, lalu musim rindu. Moga-moga kepala dan hati saya selalu sanggup menerima banyak bonus ini.

Oya, untuk kamu, atau kamu, dan kamu. Jangan pernah khawatir mengucapkan kata-kata ke angkasa. Karena kita tidak pernah tahu bagaimana cara Tuhan mengembalikannya ke bumi. Tapi kalau bisa, jangan pernah lupa ajak selalu tangan, kaki, kepala, dan hati untuk bekerja sama. Lalu jemputlah kejutanmu.
read more “Tujuh Musim.”