Apa rasanya melebur bersama 96.000 manusia berbalut busana merah? Apa rasanya ketika 96.000 manusia ini tiba-tiba diam bersamaan dan menyanyikan dengan lantang lagu Indonesia Raya secara serentak? Apa rasanya memiliki satu suara bersama 96.000 manusia yang terus-menerus mengucap satu kata: Indonesia?
Percayalah, itu surga kecil yang saya rasakan kemarin.
Duduk bersama manusia merah lainnya. Adrenalin terpicu seperti dua kali lipat dibandingkan sebelumnya. Riuh rendah terompet atau teriakan—yang bahkan kau, tidak bisa lagi mendengar suaramu sendiri. Gemetar hebat sewaktu tanpa dikomando, 96.000 manusia ini memiliki gerakan yang sama. Merinding saat seluruh 96.000 manusia ini mengerahkan semangatnya untuk Firman Utina ketika tidak mampu mengeksekusi kesempatan emas pinalti. Semua berteriak. Semua bersuara. Membuncah ke seluruh sudut stadion Gelora Bung Karno.
Ini gila kawan! Ternyata untuk malam ini persatuan mudah diciptakan. Ternyata kedamaian penuh sesak membanjiri Negara ini. Kau tidak lagi memandang The Jak, Bonek, atau sematan-sematan simbol lainnya. Kau tidak perlu lagi rusuh tolol untuk hal yang sesungguhnya kita sebut permainan: sepakbola.
Ini memang gila kawan! sungguh gila! Karena untuk pertama kalinya, saya—dan mungkin semua manusia merah, tidak lagi peduli masalah Piala. Tidak begitu peduli lagi masalah Juara. Semua sudah terbayar dengan kesungguhan perjuangan dari para punggawa Garuda dan semangat suportivitas pendukung. Semua tercipta sebagai satu bingkisan akhir tahun yang tak ternilai.
Sebut saja saya norak. Tapi mungkin inilah setitik oase. Penawar baik untuk semua rindu selama ini. Rindu pada prestasi, berita baik, martabat bangsa yang kuat, atau—sebut saja—kedamaian. Kita terlalu sering disuguhi drama politik busuk, penyelewengan harta Negara dan rakyat, profil-profil pejabat yang ketinggalan hati dan otaknya di rumah, atau teriakan-teriakan pertikaian antara kaum minoritas dan mayoritas. Tapi semalam, Garuda mengepakkan sayapnya ke seluruh antero negeri. Menggetarkan hati manusia merah yang masih memiliki nama Indonesia di dalamnya.
Terimakasih TIMNAS. Kesungguhan perjuangan Anda menggetarkan hati kami. Biarkan saja Malaysia membawa pulang Piala. Toh, kami sudah mendapat Piala yang lebih hebat. Nama Garuda sudah tertera dalam hati dan pastinya di sana ada nama kalian juga. Tetaplah bermain bola. Nikmatilah irama permainannya. Biarkan suara-suara rusak pejabat di organisasi bola kita terus bergaung, kadang-kadang mereka suka lupa tentang teori “Tidak ada yang abadi”, termasuk kesemena-menaan terhadap bangsa sendiri.
Kami menunggumu berlaga lagi. Biarkan suara kami saja yang mengalirkan energi baik untuk kalian. Oya, salam juga untuk manusia hebat yang sering kalian sebut—Opa Riedl. Kami yakin harapan untuk Garuda akan selalu ada ketika Opa Riedl masih bersama kalian.
Dan satu lagi, mau do’akan kami? kadang-kadang manusia merah seperti kami suka labil. Nasionalisme setengah-setengah. Nasionalisme kondisional. Do’akan saja semoga damai dalam nasionalisme bukan milik semalam saja. Saya masih ingin merasakannya esok, esok, dan esoknya lagi. Sampai kita semua tidak mampu lagi menghitung.
PS: Terimakasih untuk teman-teman yang ikut berjuang mengantri tiket, kalian baik sekali! Memberikan kesempatan bagi saya untuk menyeka air mata pertama kali di Stadion Gelora Bung Karno. :')
PPS: Photo Courtesy by Mamet Rockafella and Surya Pratama