"Sedang baca apa sih? Serius begitu wajahnya" tanya suara berat di sampingnya.
"Penggalan surat Kartini yang ditulis untuk Nyonya Abendanon. Beliau adalah salah satu sahabat pena Ibu Kartini. Coba dengarkan sebentar, biar ku bacakan"
Lelaki itu nampak ingin protes, namun wanita di sampingnya sudah terlanjur bersuara.
Pasti tiba saat di mana aku akan disandingkan dengan seorang suami yang belum kukenal. Di Jawa, cinta hanya sebuah khayalan. Orang Jawa yang sangat beradab bisa dihitung dengan jari, tapi budaya dan pendidikan belum diperhitungkan dalam hal immoralitas. Carilah dan mintalah sesuatu dari dunia aristokrasi laki-laki itu tapi bukan ini, moralitas, karena akan sia-sia. Aku benci. Aku memandang rendah mereka semua.
"Hmm.. sudah selesai?"
"Iya"
"Lalu.. apa kau sekarang akan memandang rendah kaum kami?"
"Tidak. Kecuali kaum kalian masih tidak mau belajar moralitas. Hal yang sama yang kaum kami minta sejak dulu. Setidaknya sejak jaman Ibu Kartini"
"Hmm.. apa yang membuatmu berpikir bahwa kami tidak belajar moralitas?"
"Jangan pura-pura kau tak mengetahui, hidup seperti apa yang sedang kita jalani saat ini. Angka KDRT yang tinggi, perdagangan wanita, eksploitasi kehormatan wanita, bahkan sexual harassment di angkutan publik. Demi Tuhan, entah dimana letaknya hati kalian"
"Oh wow! Nampaknya anda sedang masuk dalam ranah generalisasi, Nona!"
"Hahaha.. Biar kuberi tahu ya Tuan, mau generalisasi atau tidak, faktanya susah betul jaman sekarang untuk bisa bertemu dengan laki-laki baik. Kecuali kau tentunya, harus ku akui kalau aku cukup beruntung"
"Lalu.. apa pendapatmu tentang cinta? Apa kau akan seperjuangan dengan Ibu Kartini?"
"Oh C'mon.. kau jangan meledek begitu! Tapi memang harus ku akui, aku setuju dengan beliau. Cinta itu impian harga mahal. Khayalan paripurna dari sosok Cinderella atau Putri Tidur. Mungkin hanya eksis sebagai teori, selayaknya teori hukum gas ideal. Pengingat bahwa kita semua bermimpi untuk memiliki hal sesempurna itu, karena kenyataannya tidak"
"Ah kau terlalu berlebihan, cinta itu natural. Hadiah gratis dari Tuhan yang akan diberikan untuk setiap umatnya. Cinta itu yang menghangatkan hatimu, yang menyentuh jiwamu untuk berbuat baik"
"Begitukah menurutmu? Aku fikir ketika kau berbuat baik, lebih dikarenakan oleh isi otakmu yang sedang berfikir baik. Logikamu berjalan bahwa kebaikan akan memberikan manfaat bagi banyak orang, sedang sebaliknya tidak"
"Lalu teori apa lagi yang bisa kau jelaskan dari dua manusia yang menikah? Menurutmu apa itu ditentukan juga oleh otak yang berfikir baik?"
"Entahlah.. tapi ku rasa mereka telah memproklamirkan diri untuk menghamba pada impian mahal tadi—Cinta. Entah untuk merasakan utopia atau mencoba membuktikan bahwa suatu yang sempurna itu ada"
"Entah apa isi kepalamu hingga sedemikian skeptisnya. Tapi.. coba sekali-sekali kau berlogika seperti ini, kau akan butuh pasangan. Sebagai tempat kau berbagi rasa, bercerita dan menjalani hidup bersama"
"Satu, aku sudah punya Tuhan. Dia Maha Cukup sebagai tempatku berbagi dan bercerita. Bahkan segala solusi terbaik dimiliki olehNya. Kedua, aku punya sahabat—kau salah satunya, yang setia menjalani kegilaan sehari-hari bersamaku. Tiga, aku punya diriku. Itu yang paling penting. Karena kau tahu, ketika orang lain datang dan pergi dalam kehidupanmu, dirimu sendiri adalah satu-satunya makhluk yang akan tersisa yang akan menemani tubuhmu. So, apa lagi yang aku butuhkan?"
"Eh aku turun di sini aja deh. Baru ingat tadi Edo nitip dibeliin makan siang. Salam buat Nayla ya, sorry gak bisa lihat pentasnya"
Iya, hari ini sudah dua kali lelaki kehilangan kesempatan untuk berbicara lebih dulu. Entah berapa lama ia terpaku di tempat parkir, walau bayang wanita tadi—ia yang bernama Kandi, telah jauh memunggungi mobilnya.
*****
"Ayah! Aku deg-degan! Aku takut gak hafal lagu Ibu Kita Kartini!" teriak bocah berumur 7 tahun bernama Nayla itu sesaat setelah Sang Ayah menampakkan wajahnya.
"Bidadari gak pernah takut, sayang. Apalagi sudah sering latihan kan? Pokoknya kalau bisa gak gugup tampilnya, sabtu ini kita jalan-jalan ke Dufan deh! Terus kita makan yang enak-enak. Bagaimana?"
"Ayah, aku mau hadiahnya Tante Kandi jadi Mama Nayla! Bisa kan, Yah?"
"Nayla.. sini yuk sama baris sama teman-temannya yang lain, sebentar lagi kalian tampil loh"
"Dah, Ayah!" Kecup Nayla cepat segera berkumpul dengan teman lainnya.
Tiga kali.
Tiga kali dalam sehari ini ia kalah dalam adu cepat dalam berbicara. Namun, tidak untuk yang ketiga.
Ia merasa diselamatkan.
PS: Penggalan surat Kartini diambil dari sini