Kala itu, axis bumi kembali bergerak sekian derajat. Rupanya wajah bumi bagian Utara sedikit bergeser menjauhi matahari. Temperatur menurun dan densitas udara rasanya mampat. Beberapa pohon Oak dan Maple mulai susah payah mempertahankan diri. Daun-daun kecoklatan berjejari lima mulai berguguran, terinjak kaki-kaki para pejalan. Sudah hampir dua minggu lebih matahari hanya seperti gadis belia yang baru jatuh cinta. Muncul malu-malu, lalu kembali hilang tersingkap awan tebal. Memang, prolog musim dingin selalu seperti ini.
Tentu saja terkecuali sepuluh tahun yang lalu.
Di pasar rakyat Oberhaussen,
dalam tradisi menyambut Natal.
Kamu--lelaki yang di tangannya menggenggam segerombol kunang-kunang. Yang di kepalanya memelihara anak naga, muncul dalam kehidupanku tanpa rencana dan menawarkan cerita yang berlabel selamanya. Kau dan pertanyaan gilamu malam itu, menjadi hal menakjubkan kedua setelah keberadaan arum manis yang sebesar guling.
"Mungkin momen ini juga tidak pernah terlintas di kepala logismu itu. Tapi, dengan ini aku sungguh-sungguh ingin tahu, apa pendapatmu jika aku minta kamu jadi istriku?"
Begitulah beberapa kalimatmu yang hingga sepuluh tahun berselang, tak pernah lekang dalam ingatanku. Bahkan, katakan saja, aku masih hapal dengan benar bagaimana raut wajah dan harum parfummu kala itu. Tuhan memang tidak pernah main-main menciptakan kekuatan memori untuk makhluk yang katanya paling mulia ini.
"Kamu gila" kataku.
"Pendapat lainnya selain aku gila?"
"Aku lebih gila lagi, karena aku tidak pernah berkeberatan hati untuk menghabiskan waktu bersama seseorang seperti dirimu"
Maka semenjak itu, ada perjanjian tak kasat mata antara kami berdua. Perjanjian yang enam bulan kemudian disahkan oleh agama dan negara. Yang sakralnya jauh melebihi kesakralan sumpah patih Gadjah Mada.
Satu, dua, empat, sampai sembilan tahun berselang. Keberadaan kami berdua, tak ayal seperti refleksi cermin. Tanpa perlu banyak bicara, pesan-pesan dengan cepat tersampaikan. Tanpa perlu perdebatan panjang, kami mencapai konsensus akan suatu hal dengan amat mudah. Keserupaan kami berdua banyak membius orang sekitar. Mereka menyebut kami, soulmate. Yang lainnya menyebut kami, pasangan serasi. Ah, apapun itu, kami mengamini setiap perkataan yang baik.
Kami hanya sering tersenyum, setiap kali muncul pertanyaan tentang bagaimana usaha kami sehingga menjadi pasangan yang harmonis. Demi Tuhan ku katakan, sungguh tidak ada rumus dan formula untuk hal-hal abstrak seperti ini. Yang ku tahu, jika kau sudah terlanjur menemukan sebelah jiwamu, maka kau bahkan tidak perlu melakukan apa-apa untuk membuat segala sesuatunya menjadi baik. Karena dengan sendirinya, semua akan bermuara menjadi kebaikan.
Namun, satu yang pasti. Tetap sisakan sebagian ruang untuk hal-hal yang kurang baik. Karena hidup akan tetap seperti ini. Menggodamu dengan liku dan terjalnya. Yang datangnya tidak akan pernah mampu kau prediksi.
***
Enam bulan lalu, seseorang yang merupakan teman kami berdua, mengirimiku sepucuk surat. Surat, yang karena kedatangannya, membuat waktu luang terasa menyiksa. Surat ini mungkin tidak ada apa-apanya dengan berbagai surat ancaman yang diterima sebagian penduduk bumi, yang bersengketa tanah dengan penduduk negara lain. Atau bahkan tidak sama kejamnya dengan surat hukuman mati yang diterima terdakwa narkoba. Tapi surat yang berlabel beberapa potong kalimat ini, aku yakin tak pernah terpikir oleh seluruh wanita di muka bumi ini yang memiliki pernikahan.
Semenjak kedatangannya, aku butuh sekedar pendistraksi hebat.
Aku hanya butuh rasa lelah yang teramat sangat. Hingga ketika waktu tidur tiba, aku hanya cukup berbaring di tempat tidur dan beberapa saat kemudian aku mampu terbawa jauh ke alam astral.
Surat yang semenjak kedatangannya, hanya aku baca dua kali.
Yang pertama, tentu saja pada saat itu menghampiri meja kerjaku.
Yang kedua, adalah saat ini. Setelah enam bulan berselang. Saat jarak antara aku dan lelaki ku berada puluhan ribu kilometer. Aku di negara tempat kami pernah mengikrarkan janji. Yang setiap sudutnya selalu menggelitikku dengan kenangan. Sedangkan ia, terakhir ku ketahui berada di salah satu pulau tempat bersemayamnya dewa-dewi.
"Oh Tuhan, aku lebih dari sekedar merindukannya"
Meski demikian, dari semua badai dan awan columbus yang terlalu penuh sesak di kepalaku, tetap tak ada satu katapun yang aku lontarkan. Selama enam bulan ini, aku memilih diam. Diam dengan segala tanya, yang bahkan terlalu letih untuk ku cari tahu jawabannya.
Aku kembali memandangi sepucuk surat tadi. Dengan kekuatan yang entah datang dari mana, ku ambil pena kesayanganku dan ku bubuhkan tanda tangan di sana. Purna sudah perjalanan surat itu. Akhirnya, ia mendapatkan jawaban yang ingin ia miliki.
Tak lama berselang, ku ambil telepon genggamku dan ku tekan beberapa nomor yang kombinasinya pun telah ku hapal mati.
"Aku sudah menandatangani suratnya. Akan ku kirimkan segera padamu dengan paket kilat esok pagi. Aku tak peduli dengan berapa jumlah hartaku dan hartamu. Karena kau telah menghidupkan segerombol kunang-kunang yang bisa ku simpan dalam toples ingatan, selamanya. Bagiku, itu lebih dari cukup. Rayakanlah kemerdekaanmu segera. Dan jangan marah padaku, jika mungkin terkadang, do'a-do'aku pada Tuhan sampai padamu"
Mungkin bagi kami, cinta sudah mati.
Tak perlu lagi ada kata "kenapa"
Mati ya, mati.
Sama seperti saat kami jatuh, selama sepuluh tahun ini.
Tidak ada alasan.
read more “Kunang-kunang dalam toples”
Tentu saja terkecuali sepuluh tahun yang lalu.
Di pasar rakyat Oberhaussen,
dalam tradisi menyambut Natal.
Kamu--lelaki yang di tangannya menggenggam segerombol kunang-kunang. Yang di kepalanya memelihara anak naga, muncul dalam kehidupanku tanpa rencana dan menawarkan cerita yang berlabel selamanya. Kau dan pertanyaan gilamu malam itu, menjadi hal menakjubkan kedua setelah keberadaan arum manis yang sebesar guling.
"Mungkin momen ini juga tidak pernah terlintas di kepala logismu itu. Tapi, dengan ini aku sungguh-sungguh ingin tahu, apa pendapatmu jika aku minta kamu jadi istriku?"
Begitulah beberapa kalimatmu yang hingga sepuluh tahun berselang, tak pernah lekang dalam ingatanku. Bahkan, katakan saja, aku masih hapal dengan benar bagaimana raut wajah dan harum parfummu kala itu. Tuhan memang tidak pernah main-main menciptakan kekuatan memori untuk makhluk yang katanya paling mulia ini.
"Kamu gila" kataku.
"Pendapat lainnya selain aku gila?"
"Aku lebih gila lagi, karena aku tidak pernah berkeberatan hati untuk menghabiskan waktu bersama seseorang seperti dirimu"
Maka semenjak itu, ada perjanjian tak kasat mata antara kami berdua. Perjanjian yang enam bulan kemudian disahkan oleh agama dan negara. Yang sakralnya jauh melebihi kesakralan sumpah patih Gadjah Mada.
Satu, dua, empat, sampai sembilan tahun berselang. Keberadaan kami berdua, tak ayal seperti refleksi cermin. Tanpa perlu banyak bicara, pesan-pesan dengan cepat tersampaikan. Tanpa perlu perdebatan panjang, kami mencapai konsensus akan suatu hal dengan amat mudah. Keserupaan kami berdua banyak membius orang sekitar. Mereka menyebut kami, soulmate. Yang lainnya menyebut kami, pasangan serasi. Ah, apapun itu, kami mengamini setiap perkataan yang baik.
Kami hanya sering tersenyum, setiap kali muncul pertanyaan tentang bagaimana usaha kami sehingga menjadi pasangan yang harmonis. Demi Tuhan ku katakan, sungguh tidak ada rumus dan formula untuk hal-hal abstrak seperti ini. Yang ku tahu, jika kau sudah terlanjur menemukan sebelah jiwamu, maka kau bahkan tidak perlu melakukan apa-apa untuk membuat segala sesuatunya menjadi baik. Karena dengan sendirinya, semua akan bermuara menjadi kebaikan.
Namun, satu yang pasti. Tetap sisakan sebagian ruang untuk hal-hal yang kurang baik. Karena hidup akan tetap seperti ini. Menggodamu dengan liku dan terjalnya. Yang datangnya tidak akan pernah mampu kau prediksi.
***
Enam bulan lalu, seseorang yang merupakan teman kami berdua, mengirimiku sepucuk surat. Surat, yang karena kedatangannya, membuat waktu luang terasa menyiksa. Surat ini mungkin tidak ada apa-apanya dengan berbagai surat ancaman yang diterima sebagian penduduk bumi, yang bersengketa tanah dengan penduduk negara lain. Atau bahkan tidak sama kejamnya dengan surat hukuman mati yang diterima terdakwa narkoba. Tapi surat yang berlabel beberapa potong kalimat ini, aku yakin tak pernah terpikir oleh seluruh wanita di muka bumi ini yang memiliki pernikahan.
Semenjak kedatangannya, aku butuh sekedar pendistraksi hebat.
Aku hanya butuh rasa lelah yang teramat sangat. Hingga ketika waktu tidur tiba, aku hanya cukup berbaring di tempat tidur dan beberapa saat kemudian aku mampu terbawa jauh ke alam astral.
Surat yang semenjak kedatangannya, hanya aku baca dua kali.
Yang pertama, tentu saja pada saat itu menghampiri meja kerjaku.
Yang kedua, adalah saat ini. Setelah enam bulan berselang. Saat jarak antara aku dan lelaki ku berada puluhan ribu kilometer. Aku di negara tempat kami pernah mengikrarkan janji. Yang setiap sudutnya selalu menggelitikku dengan kenangan. Sedangkan ia, terakhir ku ketahui berada di salah satu pulau tempat bersemayamnya dewa-dewi.
"Oh Tuhan, aku lebih dari sekedar merindukannya"
Meski demikian, dari semua badai dan awan columbus yang terlalu penuh sesak di kepalaku, tetap tak ada satu katapun yang aku lontarkan. Selama enam bulan ini, aku memilih diam. Diam dengan segala tanya, yang bahkan terlalu letih untuk ku cari tahu jawabannya.
Aku kembali memandangi sepucuk surat tadi. Dengan kekuatan yang entah datang dari mana, ku ambil pena kesayanganku dan ku bubuhkan tanda tangan di sana. Purna sudah perjalanan surat itu. Akhirnya, ia mendapatkan jawaban yang ingin ia miliki.
Tak lama berselang, ku ambil telepon genggamku dan ku tekan beberapa nomor yang kombinasinya pun telah ku hapal mati.
"Aku sudah menandatangani suratnya. Akan ku kirimkan segera padamu dengan paket kilat esok pagi. Aku tak peduli dengan berapa jumlah hartaku dan hartamu. Karena kau telah menghidupkan segerombol kunang-kunang yang bisa ku simpan dalam toples ingatan, selamanya. Bagiku, itu lebih dari cukup. Rayakanlah kemerdekaanmu segera. Dan jangan marah padaku, jika mungkin terkadang, do'a-do'aku pada Tuhan sampai padamu"
Mungkin bagi kami, cinta sudah mati.
Tak perlu lagi ada kata "kenapa"
Mati ya, mati.
Sama seperti saat kami jatuh, selama sepuluh tahun ini.
Tidak ada alasan.