Friday, September 30, 2011

Delapanpuluh Batu

Mungkin aku hanyalah lakon kecil dari sederetan nama besar yang gaung hikayatnya telah menembus dimensi waktu kekinian. Aku pun tidak ingat namaku. Namun yang aku ingat dengan seyakin-yakinnya adalah, aku akan menjadi satu-satunya pengantar cerita ini kepada kaum kalian. Kaum yang memiliki tata semestanya sendiri. Tata semesta yang disebut hati―yang ku dengar lebih rumit dibanding pertanyaan Kresna pada Gusti Agung tentang "Apakah titisan dewa tidak bisa mati?"―yang ku perkirakan juga lebih rumit dari segala alasan yang menjadikan pertikaian antara Pandawa dan Kurawa benar adanya.

Aku adalah bagian yang tidak perlu diingat. Pun keberadaanku pada malam itu tidak istimewa sama sekali. Namun cukup sudah malam itu mengajariku tentang arti kehilangan yang dalam. Arti harapan yang terburai sia-sia. Atau arti cinta yang menutupi mata.

Kisah ini dimulai ketika seorang kawan mengabarkan adanya lowongan pekerjaan di suatu tempat yang mengagumkan―setidaknya mungkin ini istilah yang paling mendekati dengan keadaan jaman dulu, karena sesungguhnya kaum kami tidak mengenal sebutan "kawan" atau "lowongan pekerjaan".

Pekerjaan yang ditawarkan sebenarnya sangat mudah. Tidak memerlukan keterampilan khusus. Kami hanya mengikuti perintah tentang bagaimana dan dimana kami harus menumpuk-numpuk batu agar terbentuk suatu bangunan. Sejauh ini memang tidak ada yang aneh, namun jika kalian melihat berapa jumlah pekerja yang dikumpulkan malam itu, mungkin kalian akan merinding. Entah berapa ribu bala bantuan yang dihadirkan dari seluruh pelosok negeri.

Aku bertanya-tanya pada kawanku, "Sebenarnya ada apa semua dengan semua ini?"
"Sama seperti dirimu. Aku juga tidak tahu. Kau mengerti kan, pekerja seperti kita tidak pernah punya hak mewah, bahkan untuk sekedar mengetahui tujuan setiap pekerjaanpun, kita tidak punya" Jawab kawanku yang kemudian membuatku diam.

Tidak berapa lama kemudian, seluruh pekerja dibagi beberapa kelompok, atau mungkin ratusan kelompok. Sungguh, aku tidak tahu pasti. Malam itu gelap dan aku tak bisa leluasa memperhatikan sekeliling karena setiap kelompok kerja diawasi Mandor. Sayup-sayup ku dengar dari obrolan para mandor yang entah berarti apa, namun ada kata-kata berikut ini: "1000 bagian", "terbit fajar", dan "cinta".

Aku mungkin pekerja yang paling tidak bisa tenang waktu itu―karena demi seluruh Dewa Dewi yang ada di langit―aroma teka-teki yang tidak biasa ini tercium keras. Mungkin sama kerasnya dengan perintah-perintah yang memaksa kami untuk bekerja lebih cepat lagi dan lagi. Tanpa ada kegagalan sebelum fajar tiba.

Tunggu! Apakah tadi aku mendengar kalimat "tanpa ada kegagalan sebelum fajar tiba?"
Benarkah?

Ah.. akhirnya aku setidaknya mengetahui berapa lama lagi aku harus selesai bekerja. Yang menurut perkiraanku saat itu, hanya tinggal beberapa saat lagi sampai fajar menyingsing.

Namun tidak, sampai terjadi hal ini...

Entah apa yang ku lakukan, aku menumpuk batu yang salah sedari tadi. Ini karena aku yang terlalu sibuk menelaah semua keanehan malam ini. Ini karena aku selalu tidak ingin menerima mentah-mentah setiap perintah. Ini karena.. aku melakukan kesalahan fatal!

Ada 80 tumpukan batu yang menempati tempat yang tidak semestinya, yang lewat dari kesadaranku bekerja atau yang sama sekali lalai dari pengamatan mandor.

Aku melakukan usaha tercepat yang pernah aku lakukan. Ku robohkan dengan tergesa kedelapan puluh tumpukan batu yang berpenampilan abstrak itu. Aku bisa merasakan tatapan cemoohan ribuan pekerja lainnya, tapi sungguh aku tak peduli. Aku lebih peduli pada monster mengerikan yang berada di belakang punggungku, monster yang bernama "fajar menyingsing" yang semakin berlari mendekat.

Tidak. Jangan harap ampunan dari Sing Mbahu Rekso. Bahkan ku pastikan tidak akan ada seorang mandorpun yang akan memaafkan kesalahanku kali ini. Tidak ada.

Sampai akhirnya, masih ada duabelas batu lagi yang harus aku susun, kemudian kami semua dikejutkan oleh ayam jantan dari kampung seberang yang berkokok dengan lantangnya. Bukan seekor ayam jantan, mungkin ada satu kampung ayam jantan yang sedang berkokok bersahutan berbarengan. Belum lagi bunyi ibu-ibu petani yang memukul lesung padi yang menandakan pekerjaan manusia telah dimulai. Saat itu, semua bebunyian itu menyatu menjadi iirama yang paling meradang di gendang telinga.

Fajar sudah menyingsing. Fajar sudah terbit.
Sedang pekerjaan belum berakhir.

"Tidak! Tolong Dewa, jangan kau bilang hari ini sudah subuh. Aku paham benar kapan waktu pagi dan dini hari. Tidak. Ini belum waktunya mataharimu menerangi bumi. Tidak sampai aku selesaikan duabelas batu lagi, untuk menggenapi 1000 bangunan yang diminta. Tidak, Dewa! Tidak!" teriakku dalam batin.

Seketika Sing Mbahu Rekso―Pangeran yang Agung, menggelegarkan amarah yang membuncah angkasa. Sungguh, aku pikir kali itu adalah masa terakhirku. Aku sepertinya sangat pantas apabila dihabisi saat itu juga. Namun, tidak!

Pangeran justru murka pada Putri. Ia berteriak keras bahwa sang Putri telah berbuat curang. Memanggil pagi lebih dahulu, semata-mata demi menggagalkan pembuatan 1000 bangunan dalam semalam. Semata-mata menggagalkan keinginannya untuk bersanding dengan Putri selamanya.

Pangeran marah. Ini amarah terbesarnya. Amarah yang tidak main-main.
Tidak ada seorangpun dari kami yang berani mengangkat wajah. Tidak ada seorangpun yang dengan bodohnya berani bergerak.

"Putri.. sesungguhnya kecantikan paras dan hatimu lah yang mengantarkanku kemari. Yang mengantar ribuan pekerja untuk melengkapi 1000 bangunan prasyaratmu. Yang dengan lugunya ku amini sebagai harapan nyata bahwa kita dapat bersama. Namun kali ini biarlah pengkhianatanmu sendiri yang mengantarkanmu pada akhir cerita hidupmu, Putri. Janji sudah terlanjur terkoyak oleh kelakuanmu"

" Andai cinta yang sesungguhnya sempat singgah di hatimu, Pangeran. Maka kau akan paham bagaimana aku rela kembali ke tanah, dibanding memuja lelaki yang tak pernah ku cintai sepanjang hayat"

"Kau benar-benar menghinaku, Putri! Pergilah. Lengkapilah prasyaratmu dengan tubuhmu!"

Seketika itu pula, langit subuh dihiasi cahaya biru yang menyilaukan mata. Mengakhiri segala amarah dan harapan yang pernah meletup-letup dalam dada Pangeran. Mengakhiri kisah cinta yang tak pernah menemukan muaranya.

Pangeran tetap terluka. Sedang Putri hidup kekal―dalam jelmaannya sebagai bangunan ke-seribu.
Di suatu tempat yang kalian kini menyebutnya sebagai Candi Prambanan.



read more “Delapanpuluh Batu”