Saturday, March 23, 2013

Kunang-kunang dalam toples

Kala itu, axis bumi kembali bergerak sekian derajat. Rupanya wajah bumi bagian Utara sedikit bergeser menjauhi matahari. Temperatur menurun dan densitas udara rasanya mampat. Beberapa pohon Oak dan Maple mulai susah payah mempertahankan diri. Daun-daun kecoklatan berjejari lima mulai berguguran, terinjak kaki-kaki para pejalan. Sudah hampir dua minggu lebih matahari hanya seperti gadis belia yang baru jatuh cinta. Muncul malu-malu, lalu kembali hilang tersingkap awan tebal. Memang, prolog musim dingin selalu seperti ini.

Tentu saja terkecuali sepuluh tahun yang lalu.
Di pasar rakyat Oberhaussen,
dalam tradisi menyambut Natal.

Kamu--lelaki yang di tangannya menggenggam segerombol kunang-kunang. Yang di kepalanya memelihara anak naga, muncul dalam kehidupanku tanpa rencana dan menawarkan cerita yang berlabel selamanya. Kau dan pertanyaan gilamu malam itu, menjadi hal menakjubkan kedua setelah keberadaan arum manis yang sebesar guling.

"Mungkin momen ini juga tidak pernah terlintas di kepala logismu itu. Tapi, dengan ini aku sungguh-sungguh ingin tahu, apa pendapatmu jika aku minta kamu jadi istriku?"

Begitulah beberapa kalimatmu yang hingga sepuluh tahun berselang, tak pernah lekang dalam ingatanku. Bahkan, katakan saja, aku masih hapal dengan benar bagaimana raut wajah dan harum parfummu kala itu. Tuhan memang tidak pernah main-main menciptakan kekuatan memori untuk makhluk yang katanya paling mulia ini.

"Kamu gila" kataku.
"Pendapat lainnya selain aku gila?"
"Aku lebih gila lagi, karena aku tidak pernah berkeberatan hati untuk menghabiskan waktu bersama seseorang seperti dirimu"

Maka semenjak itu, ada perjanjian tak kasat mata antara kami berdua. Perjanjian yang enam bulan kemudian disahkan oleh agama dan negara. Yang sakralnya jauh melebihi kesakralan sumpah patih Gadjah Mada.

Satu, dua, empat, sampai sembilan tahun berselang. Keberadaan kami berdua, tak ayal seperti refleksi cermin. Tanpa perlu banyak bicara, pesan-pesan dengan cepat tersampaikan. Tanpa perlu perdebatan panjang, kami mencapai konsensus akan suatu hal dengan amat mudah. Keserupaan kami berdua banyak membius orang sekitar. Mereka menyebut kami, soulmate. Yang lainnya menyebut kami, pasangan serasi. Ah, apapun itu, kami mengamini setiap perkataan yang baik.

Kami hanya sering tersenyum, setiap kali muncul pertanyaan tentang bagaimana usaha kami sehingga menjadi pasangan yang harmonis. Demi Tuhan ku katakan, sungguh tidak ada rumus dan formula untuk hal-hal abstrak seperti ini. Yang ku tahu, jika kau sudah terlanjur menemukan sebelah jiwamu, maka kau bahkan tidak perlu melakukan apa-apa untuk membuat segala sesuatunya menjadi baik. Karena dengan sendirinya, semua akan bermuara menjadi kebaikan.

Namun, satu yang pasti. Tetap sisakan sebagian ruang untuk hal-hal yang kurang baik. Karena hidup akan tetap seperti ini. Menggodamu dengan liku dan terjalnya. Yang datangnya tidak akan pernah mampu kau prediksi.

***

Enam bulan lalu, seseorang yang merupakan teman kami berdua, mengirimiku sepucuk surat. Surat, yang karena kedatangannya, membuat waktu luang terasa menyiksa. Surat ini mungkin tidak ada apa-apanya dengan berbagai surat ancaman yang diterima sebagian penduduk bumi, yang bersengketa tanah dengan penduduk negara lain. Atau bahkan tidak sama kejamnya dengan surat hukuman mati yang diterima terdakwa narkoba. Tapi surat yang berlabel beberapa potong kalimat ini, aku yakin tak pernah terpikir oleh seluruh wanita di muka bumi ini yang memiliki pernikahan.

Semenjak kedatangannya, aku butuh sekedar pendistraksi hebat.
Aku hanya butuh rasa lelah yang teramat sangat. Hingga ketika waktu tidur tiba, aku hanya cukup berbaring di tempat tidur dan beberapa saat kemudian aku mampu terbawa jauh ke alam astral.

Surat yang semenjak kedatangannya, hanya aku baca dua kali.
Yang pertama, tentu saja pada saat itu menghampiri meja kerjaku.
Yang kedua, adalah saat ini. Setelah enam bulan berselang. Saat jarak antara aku dan lelaki ku berada puluhan ribu kilometer. Aku di negara tempat kami pernah mengikrarkan janji. Yang setiap sudutnya selalu menggelitikku dengan kenangan. Sedangkan ia, terakhir ku ketahui berada di salah satu pulau tempat bersemayamnya dewa-dewi.

"Oh Tuhan, aku lebih dari sekedar merindukannya"

Meski demikian, dari semua badai dan awan columbus yang terlalu penuh sesak di kepalaku, tetap tak ada satu katapun yang aku lontarkan. Selama enam bulan ini, aku memilih diam. Diam dengan segala tanya, yang bahkan terlalu letih untuk ku cari tahu jawabannya.

Aku kembali memandangi sepucuk surat tadi. Dengan kekuatan yang entah datang dari mana, ku ambil pena kesayanganku dan ku bubuhkan tanda tangan di sana. Purna sudah perjalanan surat itu. Akhirnya, ia mendapatkan jawaban yang ingin ia miliki.

Tak lama berselang, ku ambil telepon genggamku dan ku tekan beberapa nomor yang kombinasinya pun telah ku hapal mati.

"Aku sudah menandatangani suratnya. Akan ku kirimkan segera padamu dengan paket kilat esok pagi. Aku tak peduli dengan berapa jumlah hartaku dan hartamu. Karena kau telah menghidupkan segerombol kunang-kunang yang bisa ku simpan dalam toples ingatan, selamanya. Bagiku, itu lebih dari cukup. Rayakanlah kemerdekaanmu segera. Dan jangan marah padaku, jika mungkin terkadang, do'a-do'aku pada Tuhan sampai padamu"

Mungkin bagi kami, cinta sudah mati.
Tak perlu lagi ada kata "kenapa"
Mati ya, mati.
Sama seperti saat kami jatuh, selama sepuluh tahun ini.
Tidak ada alasan.
read more “Kunang-kunang dalam toples”

Saturday, February 2, 2013

Kalam Rindu

Aku merindumu dalam aksara-aksara yang berwujud do'a
Ku sertakan namamu di dalamnya
Agar ia bertemu dengan Sang Maha pemberi kebaikan

Aku merindumu dalam aksara-aksara yang berwujud waktu
Pepat padat dalam kenangan
Lalu menjelma menjadi pewarna pipi,
Kemerahan

Aku merindumu dalam aksara-aksara yang berbalut penerimaan
Bahwa rindu adalah ilham dari cinta yang menyeruak
Yang aromanya akan tiba kepadamu,
Nanti

Aku merindumu dalam aksara-aksara yang berjelujur manis di mesin tenun
Aku mengambilnya satu persatu
Sebagai bahan pembuat baju

Jika nanti tiba masanya,
Untaian rindu ini akan paripurna
Lalu kenakanlah tepat di tubuhmu

Dan katakan padaku sayang,
Betapa beratnya ia
read more “Kalam Rindu”

Friday, October 12, 2012

Jalan Thamrin.

Photo © Rahmad Setiadi

Aku merindukan Jakarta.
Rindu bau knalpot tebal kopaja yang hampir ringsek.
Rindu manuver-manuver spektakuler supir bajaj.
Rindu berdesak-desakan dengan penumpang kereta pagi.
Rindu nyaring klakson mobil mewah memecah kemacetan.

 Ah.. Tumben aku rindu Jakarta.
Sangat rindu malah.
Dengan sebuah kedai kopi di ujung jalan Thamrin sana.
Yang letaknya masih berbagi bangunan dengan Djakarta Theater.
Yang dengan koneksi internetnya, berkasku tiba di meja para tuan dan nyonya penyandang beasiswa.
read more “Jalan Thamrin.”

Wednesday, October 3, 2012

Sampai jumpa lagi, Paman!

Saya mulai menulis kalimat pertama, yang hanya saya hapus pada satu menit kemudian.
Saya mulai menulis lagi, lalu saya hapus lagi.
Entah adegan ini berulang sampai berapa kali, saya sudah tidak mengingatnya.
Bukan kehilangan inspirasi, saya hanya bingung harus menuliskannya seperti apa.

Saya tidak mau jika tulisan ini berbicara kesedihan.
Karena saya yakin betul, bahwa apa yang terjadi saat ini adalah sebuah peristiwa yang mengagumkan.
Peristiwa saat seseorang berhasil mewujudkan impian dan berhasil menuntaskan salah satu amanah.
Peristiwa yang jika saya ingat kembali, pasti tidak akan lupa saya sampaikan syukur pada Tuhan.

Karena Tuhan amat baik.
Amat sangat baik malah.
Ia mengijinkan saya bertemu dengannya.
Dia, seseorang yang penuh talenta dan yang sudah saya anggap seperti abang sendiri, dalam beberapa jam lagi akan kembali ke Indonesia.

Back for good.
Begitulah biasanya kami menyebutnya.
Karena diharapkan sepulangnya dari perkuliahan di negeri seberang, putra-putri bangsa akan makin mampu berkontribusi positif bagi negeri ini.

Do'a yang sama, yang tentunya kami panjatkan untukmu, paman.
Tetaplah rendah hati dalam berbagi ilmu dan tetaplah menjadi paman yang seperti ini.
Yang kehadirannya membuat kami belajar banyak hal.
Yang kehadirannya mampu memberikan inspirasi baik untuk orang-orang sekitar.

Kau hebat, paman!
dan pasti kami akan sangat rindu!

Ngomong-ngomong tentang rindu, saya sudah punya daftar panjangnya, paman.
Sudah pasti saya akan meneruskan tradisi memasak nasi goreng dengan bawang merah yang super banyak.
Lalu mungkin suatu saat, ketika saya duduk di deretan kursi depan library, saya pasti akan mengingat paman.
Karena paman seperti aplikasi komputer yang terprogram, selalu SMS dengan isi tulisan yang sama: "bulet, di forum gak?"
Mungkin saya juga akan ingat, bagaimana paman sangat melarang ketika saya nekat traveling ke Yunani sendirian.
Maaf paman, tapi beginilah adikmu yang stubborn yang satu ini. :p
Saya juga pastinya akan ingat bagaimana panjangnya diskusi kita tentang Iran, Mesir, distorsi agama dan budaya.

Gila, paman!
Itu mungkin satu-satunya pembicaraan non-somplak yang pernah kita lakukan!
hahaha!

dan sudah pasti, saya akan kehilangan teman duet lagu "More Than Words".

Tapi saya yakin, paman.
Kita bisa bertemu lagi, kan?
Karena saya masih punya janji untuk mengunjungi paman di Makassar,
dan paman masih punya janji untuk menjadi seksi cuci piring di pernikahan saya kelak!
hahaha!

Selamat kembali ke Indonesia ya, paman!
Selamat memanen rindu dengan istri tercinta.

Kami akan rindu paman!

read more “Sampai jumpa lagi, Paman!”

Friday, September 21, 2012

Dua Penduduk Bumi.




Kala itu selayaknya senja yang biasa di musim semi. Kau datang kembali ke bangku taman itu. Tempat yang entah sejak kapan selalu rutin kita kunjungi setiap Sabtu sore pukul lima. Aku tersenyum padamu dari kejauhan. Rupanya minus di mata kanan-kiriku masih berkompromi dengan baik untuk mengenalimu dari jarak lebih dari dua meter. Jarak yang seharusnya telah melampaui limit pandanganku, yang sayangnya tidak berlaku untuk mengenalimu dari jauh.

Senja kali ini seperti senja biasa di musim semi. Temperatur udara ku prediksikan tak kurang dari 20 derajat. Suhu yang cukup hangat sebenarnya. Namun tetap saja kau berpakaian perang lengkap, jaket tebal dan syal abu-abu kotak. Kau lalu menatapku seraya berkata "Aku tahu.. Aku tahu.. walaupun hari ini cuaca cukup hangat, dan sebagai warga Eropa seharusnya aku sudah terbiasa dengan udara negeri empat musim, tapi tanyakan saja pertanyaanmu kepada metabolisme tubuhku. Dia tahu segalanya"

Aku tertawa keras sekali kala itu. Terkadang memang semudah itu berbicara denganmu. Tak perlu aku susah payah mengutarakannya, kau sudah mampu membacanya lebih dulu.

"Jadi ada berita apa hari ini?" untuk kali ini, meskipun kau juga sudah bisa menebaknya, setidaknya biarkan ini diungkapkan. Rasa-rasanya aku akan gila jika senja yang berharga ini hanya dihabiskan dengan saling membaca pikiran, membaui perasaanmu, atau menangkap isyarat kerutan dahi.

"Tidak ada yang luar biasa, kecuali bertemu denganmu" jawabmu tenang. Seperti biasa.

"Oh demi Tuhan.. Berhentilah menggombal! Sudah berapa kali ku katakan, jika satu-satunya cara membawaku terbang ke angkasa hanya bermodal pesawat ulang-alik, bukan rayuan!"

"Oke.. Oke.. dan entah kenapa Tuhan menciptakan wanita seberharga ini tapi kehilangan cita rasa romantismenya" sangkalmu kemudian.

"Jadi, kau akan membagi ceritamu hari ini atau tidak? Karena jika tidak, aku pikir segelas kopi hangat di cafe depan gereja sana sepertinya lebih menarik"

"Kamu boleh berpikir aku gila. Tapi ada satu pertanyaan yang benar-benar mengganggu" katamu kemudian dengan nada bicara agak lebih serius dari sebelumnya.

"Semoga bukan sesuatu yang berhubungan dengan genetika atau hal-hal mikro lainnya. Sungguh, bahkan bapak Hippocrates pun butuh mengistirahatkan pikirannya.." 

"Kau tahu berapa jumlah penduduk di negaramu?" tanyamu kemudian.

"Mungkin sekitar 240 juta jiwa. Ada apa?"

"..dan kau tahu berapa jumlah penduduk di negaraku? Kurang dari 11 juta jiwa saja" jelasmu kemudian.

"Lalu? Apa yang sebenarnya ingin kau sampaikan?" 

"Lalu.. berapa jumlah wargamu dan wargaku yang berada di kota ini?" tanyamu lagi seolah tidak menangkap rasa penasaranku.

"Apa kita perlu ke kantor catatan kependudukan sekarang untuk memastikan?" tanyaku balik setengah tidak sabar.

"Lalu apa jawabanmu sayang, ketika pertanyaan ini ditanyakan padamu: di segala kemungkinan peristiwa di dunia ini yang amat random, alasan logis apa yang mampu menjelaskan perihal mengapa kita dipertemukan?"

Aku menatapmu lama.
Sama lamanya seperti kau menatapku.
Lalu detik berikutnya kita berdua sepakat, untuk kali ini secangkir kopi di cafe depan gereja sana lebih menarik.
read more “Dua Penduduk Bumi.”

Thursday, August 30, 2012

Dimensi Lain.


Pernah punya pengalaman bertemu dengan orang yang karakternya kompleks? Semacam mind-manipulator, stubborn, introvert, sensitive, deep thinker, analyzer, yet super caring and passionate?

Saya pernah!
Bukan hanya bertemu malah, hampir dapat dikatakan "(cukup) kenal baik".
Kenapa saya menggunakan kata "cukup", karena apa yang bisa saya jelaskan dari seorang introvert? Jika yang saya lihat darinya hanyalah sedikit pengetahuan tentangnya ditambah beberapa asumsi yang berdasarkan pada fakta aktual yang jarang terlihat.

Hah!

Hampir putus asa rasanya mengimbangi langkahnya.
Terlebih dengan sifat saya sendiri yang sangat Aries (iya, ini agak-agak non-logis), tapi begitulah. Saya orangnya bisa sangat optimis, independen, stubborn, suka berkonfrontasi (baca: kurang suka mengalah kalau berdebat dengan orang yang saya anggap penting. haha!), risk-taker sejati, bisa sangat menganalisis sesuatu, bisa juga sembrono banget, dan... kemudian saya harus bertemu dengan orang se-kompleks ini.

Terkadang saya membenarkan permainan semesta yang mempertemukan saya dengan orang yang berbeda kutub dengan saya ini. You know.. di dalam dunia ini selalu diciptakan berpasang-pasangan. Yin and Yang. Tujuannya tak lain tak bukan adalah untuk menyeimbangkan segala sesuatunya.

Tapi sepertinya dia terlalu kompleks bagi saya, dan saya pun sepertinya hanya akan menambah ke-kompleks-an kehidupannya.

Dia merasa sangat nyaman dengan kehidupannya yang sangat hati-hati, sedangkan ketika bersama saya, terkadang saya ajak untuk jatuh bebas ke dunia antah-berantah yang mengejutkan dan punya sisi kebahagiaan yang belum pernah dia definisikan sebelumnya. Tapi kembali lagi.. di dekat saya, hidupnya merasa terancam. Mungkin karena saya akan menariknya kuat ke dalam dimensi lain, dan mungkin dengan demikian dia akan semakin memperlihatkan wajah aslinya.

Iya, baginya ini adalah zona yang tidak aman..

However, both of us never know how life will take us.. what the future holds.. 
Apart from that, no matter what it will be, at last time will say, won't it?
read more “Dimensi Lain.”

Tuesday, August 28, 2012

Dua Kursi Kosong.


Barangkali, ilmu menerka adalah ilmu yang paling mudah sekaligus membahayakan.
Barangkali, berandai-andai dengan masa depan, adalah candu yang paling gila.
Merasuki dengan mudah, lalu bermetastasis.
Mendekam di alam bawah sadar dan mengubah pandanganmu pada hal-hal yang nyata.

Seperti dua kursi kosong, yang seharusnya kosong.
Namun ternyata penuh sesak dengan rangkaian cerita.
Yang rangkaiannya terbuat dari sampah-sampah kenangan.
Yang bahannya adalah sederet janji yang utopis.

Dua kursi kosong itu tidak pernah punya paham "seharusnya"
Seharusnya kita berada di sana.
Seharusnya kita tenggelam dalam balutan sinar matahari senja
Atau seharusnya kita mabuk dalam cinta yang meronakan wajah.

Ah, gila.
Karena sebaik apapun pengandaian,
Toh nyatanya tangan kita berbalut rindu yang berbeda arah.
Aku menggenggammu.
Namun kau kepadanya.

Sebenarnya, semesta ini sedang punya rencana apa, sayang?




---
Oia, 3 Agustus 2012.

read more “Dua Kursi Kosong.”

Monday, August 27, 2012

Rollercoaster.

Oia, Santorini. 8.00PM. 3 Agustus 2012.

Entah sejak kapan blog ini ditinggalkan lagi untuk kembali dipenuhi sarang laba-laba. Mau bagaimana lagi, jika waktu 24 jam hampir tersita dengan seluruh kerja keras perkuliahan yang notabene harus dilakukan demi menghindari kekecewaan sponsor. Iya, semenjak mendapat kesempatan hijrah ke Belanda, saya punya tanggung jawab yang besar untuk menyelesaikan perkuliahan sebaik mungkin dan setepat waktu mungkin. Tiga hari setelah graduation, harus rela didepak dari tanah Eropa yang (mulai dirasakan) nyaman ini.

Meski tanah Eropa nyaman, tapi sepertinya langit Belanda lebih mirip langit Makkah. Tiap perbuatan, rasa-rasanya cepat dapat balasannya. Baik itu dalam konteks kebaikan, atau konteks agak-sedikit-kurang-baik. Baru 6 bulan di sini, hidup seperti naik rollercoaster. Setiap hari.

Beberapa waktu lalu saya kehilangan Eyang Putri saya untuk selama-lamanya. Beliau sakit dan sempat dirawat di rumah sakit selama seminggu. Tuhan rupanya sangat sayang pada Beliau. Sakitnya dihilangkan dengan cara mengambil kembali beliau ke dekatNya. Kami sekeluarga tentu saja harus ikhlas, karena mungkin jalan inilah yang paling baik buat beliau. Tapi, ternyata menghadapi kehilangan seperti ini sama sekali tidak mudah bagi saya, terlebih dengan kondisi jarak yang membentang cukup jauh antara Indonesia dan Belanda.

Saya tidak akan bisa serta merta bisa pulang ke Indonesia, karena selain harga tiket mahal, juga kembali aktivitas perkuliahan pada saat itu sedang genting-gentingnya. Project hampir menyita kehidupan seluruh periode 6, belum ditambah presentasi dan pembuatan laporan. Intinya, 24 jam saya setiap harinya hanya didedikasikan untuk kampus. Tapi ini juga sebenarnya sangat baik sih, jadi kondisi hati yang pada saat itu tengah remuk redam, bisa teralihkan.

See? 6 bulan di sini, perkuliahan menggila, tidak sempat berbicara dengan Eyang Putri untuk terakhir kalinya, harus ditambah pula patah hati. Langit macam apa pula ini tempat saya bernaung? :)))

Maka dari itu, ketika summer holidays ada di depan mata, senangnya bukan main! Ibaratnya adrenalin seperti terproduksi berlebih. Mungkin kalau saya kelinci atau kangguru, pasti akan berjalan sambil loncat-loncat saking senangnya.

Akhirnya entah kerasukan dewa-dewi apa, pada saat itu saya memutuskan untuk booking tiket ke Yunani, dengan pilihan tanggal, pas... bulan puasa!

Jeng jeng!

Terlalu lama bermukim di Wageningen rasa-rasanya membuat otak semakin tidak sehat! Lebih tidak warasnya lagi, saya akan ke sana seorang diri!

Iya, teman-teman yang semula tertarik dengan Yunani mengundurkan diri dengan baik dan benar, tepat sebelum tiket dibooking.

Ya sudah, berbekal hasil kumpulan artikel dari beberapa website perjalanan terkemuka yang cuma saya copy-paste dan saya print (baru dibaca ketika sudah berada di Yunani), saya nekat ke sana seorang diri. Delapan hari saya di Yunani, dengan mengambil rute Wageningen-Berlin-Utrecht-Wageningen-Brussel-Yunani-Brussel-Utrecht-Wageningen.

Rutenya panjang? Iya, memang! Sama panjangnya dengan cerita dibalik itu. Intinya yang penting saya sampai Yunani! Haha!

Terus kenapa Yunani? Ada dua alasan; yang pertama tentang mitos dan sejarahnya, yang kedua tentang cinta.

Perjalanan ke Yunani menyenangkan. Sangat menyenangkan malah. Mungkin walaupun saya adalah orang yang bertipikal short-term-memory person, tapi untuk urusan yang ini, mungkin saya akan mengingatnya jauh lebih lama dari yang pernah saya bayangkan.

Penduduk lokalnya yang sangat friendly. Saya bertemu teman baru yang hingga kini masih sering kontak. Namun yang lebih penting, mimpi saya ke Yunani tercapai dan ada cinta yang saya tinggalkan di sana. Bukan untuk dirutuki, disesali, atau dibuang, tapi dititipkan untuk saya ambil kembali nanti.

Sepertinya, Aphrodite tidak keberatan harus menanggung satu hati lagi yang sedikit lebam biru di sana-sini.



D.Srikandi
read more “Rollercoaster.”

Wednesday, July 4, 2012

An Eternal Storage.




Life teaches me the art of losing in these recently times. 
It teaches me how to be grateful in the pouring of tears. 
It teaches me smile when a hope is swept away. 
It teaches me that I can be so late to say thank you or I love you. 
It reminds me that the prayer is the closest thing to hold the beloved ones. 
It reminds me that I should be prepared saying a hello for a goodbye. 
It reminds me of You--God, the great Director.

Goodbye, dear grandma.. 
Your love and your kindness will always be there. 
Inside something eternal that we named it as heart..




--
Could I ask forgiveness for not flying back to Indonesia, Eyang?
read more “An Eternal Storage.”