Tuesday, October 5, 2010

Perfectionist (not).


Otak, merupakan fitrah yang diberikan Tuhan kepada makhlukNya, lengkap dengan akal yang kemudian menjadikan kita sederajat lebih tinggi dibanding makhluk penghuni bumi lainnya. Tidak kurang dari 100 juta neuron sebagai ‘nyawa’ di dalamnya juga diberikan secara cuma-cuma. Benda ini yang kemudian bertanggung jawab untuk mengatur kerja kompleks dari tubuh, mulai dari menerima rangsangan dari kelima indera, mengatur metabolisme, tekanan darah, suhu tubuh, sintesis protein, menunjukkan realita berbagai rasa emosional, hingga memproyeksikan mimpi.

Tapi lupakan sejenak dengan neuron dan kinerjanya, karena fungsi dari otak yang paling sering kita gunakan adalah untuk berpikir. Entah untuk berpikir hal-hal yang baik, atau untuk berpikir hal-hal yang tidak ada gunanya, ya, setidaknya demikianlah adanya.

Dan katakan saja dalam berpikir tentunya setiap manusia memiliki preferensi tertentu. Memiliki gaya tersendiri dalam merencanakan sesuatu hingga bagaimana langkah eksekusinya. Ada yang cenderung teratur, runut dari awal sampai akhir, ada yang cenderung spontanitas, ada pula yang cenderung melabrak pakem yang sudah ada, bahkan ada yang bingung dari mana harus memulai.

Dari sekian banyak preferensi gaya berpikir, mungkin tidak asing dengan istilah ini—Perfeksionis, yang katanya merupakan cabang lain dari turunan OCD (Obsessive-Compulsive Disorder).

Bagi orang-orang pengidap perfeksionis, maka kami punya pembelaan tersendiri. Jangan pernah salah tanggap. Perfeksionis bukan gaya berpikiran untuk menjadi sempurna, namun bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan itu bisa paling minim dimunculkan. Entah menetapkan standar tertentu, menghindari kesalahan teknis, memberikan perhatian lebih pada detil, membuat catatan panjang tentang hal-hal yang krusial hanya untuk menjamin tidak ada hal yang ‘missed’, mengatur dan memilih dengan cermat segala material yang akan digunakan dalam mencapai tujuan, hingga beberapa kali melakukan revisi atas suatu kerjaan.

Untuk sifat yang terakhir, saya akan memberikan sedikit contoh nyatanya: So, well, pernah melihat seseorang yang sedang drafting atau membuat suatu portofolio atau sedang membuat tulisan/laporan ilmiah tapi setelah jadi malah dibuang? Atau setidaknya ia melakukan adegan Ctrl+A, lalu Ctrl+del berpuluh-puluh kali? Kalau Anda belum pernah menyaksikannya, maka dengan senang hati saya akan menunjukkannya pada Anda sesekali.

Sesekali? Iya. Sesekali. Karena untuk kasus saya, saya pribadi hanya memunculkan sifat ini sesekali dan dipengaruhi oleh rangsangan pada hal-hal tertentu. Khususnya untuk hal-hal yang berhubungan dengan personal passion, hal-hal yang menyangkut cita-cita, dan hal-hal yang menyangkut pekerjaan. Selebihnya? Saya menjadi Procrastinator Perfectionist—Tidak terlalu peduli dan seolah memiliki banyak waktu untuk dibuang-buang.

So, Anda mulai takut dengan saya sekarang? Ouh well, tidak salah juga sih sebenarnya. Tapi setidaknya itu membuktikan bahwa saya mengenal diri sendiri hingga ke bagian yang bersemat ‘disorder’.

Lalu, bagaimana dengan Anda? Seberapa jauh Anda mengenal diri Anda? Apakah setipe dengan saya? Ataukah memiliki personal yang jauh lebih baik? Well, kalau iya, selamat untuk Anda!

Tapi percayalah, sesekali cobalah menjadi Perfeksionis, tidak terlalu buruk kok. Kecuali jika tidak tahan, Anda akan sedikit limbung, karena Perfeksionis kehilangan satu kata dalam kamusnya: kegagalan.






P.S: Apa kalian pikir saya harus mulai membuat janji dengan Psikiater? kalau iya, tolong rekomendasikan psikiater ahli yang pintar, baik, ganteng, dan single. sekian.
read more “Perfectionist (not).”