Showing posts with label Story-Not. Show all posts
Showing posts with label Story-Not. Show all posts

Friday, February 25, 2011

Diam-diam.


Ada detak yang kembali terdengar. Detak yang sama siang itu, saat kupu-kupu pertama kali berterbangan di dalam perut. Detak yang juga sama, yang mengirimi sinyal-sinyal ke syaraf pipi membuatnya semerah tomat. Detak yang sama pada beberapa hari lalu, saat jarak hanya sepenggalan, namun kata-kata terlalu dalam tercekat. Menguarkan penyesalan tentang keberanian, yang pada saat itu menjadi zat paling volatil yang pernah ada.

Iya. Bodoh!

Untuk kali ini tidak apa-apa menjadi bodoh. Sesekali keluar dari fatwa makhluk Aries. Sesekali tidak sesumbar tentang keberanian. Sesekali tidak mencemooh kaum-kaum penakut. Karena aku sudah terlanjur bersimpuh. Menurut lunglai pada detak itu, yang membunuh sementara keberanian dan menghidupkan rasa malu berkali-kali lipat kuatnya.

Ini bukan tentang gengsi. Bukan juga tentang tabu. Sungguh, aku tidak pernah kenal dua kata itu. Ini hanya tentang menguapnya keberanian. Ini hanya tentang kepasrahan, yang terlanjur dilahirkan sebelum ada perjuangan.

Ini... tentang jatuh dalam diam.
Kepada kamu yang sama sekali tak pernah direncanakan oleh hati dan otak.

Kamu, boleh saja mengejekku. Menertawakan sepuasnya.
Ketika yang berkata dengan lincah hanya sepuluh jari.
Ketika yang mengungkap dengan jujur hanya deretan alinea panjang, surat-surat yang tak terkirim, atau secuil kenangan. Sepersekian detik dari waktu kita yang diijinkan bersinggungan.
Selebihnya, aku berkencan dengan detak, kupu-kupu yang berterbangan, dan secangkir kopi.
Yang asapnya mengepul rindu, menampar-nampar alam bawah sadar tentang rindu yang terlanjur penuh sesak di dalam sana.
Di dekat sumber detak keparat itu.

Kamu, apa kamu masih tertawa sekarang?
Teruskan saja! Rayakan kebodohanku.
Asal kau tahu, jika esok masih ada, jangan pernah marah.
Karena rindu untukmu belum tamat.
Meski aku selalu diam—dan mungkin akan selalu diam. 


 
read more “Diam-diam.”

Saturday, January 15, 2011

Tarian Hujan.


Seharusnya surat ini bisa terkirim empat jam yang lalu.
Saat hujan sedang lebat-lebatnya.
Saat matahari sedang sembunyi-sembunyinya.
Saat aku kehilangan tapak-tapak bayanganmu di ujung jalan sana.

Tapi sayang, empat jam yang lalu aku masih berjibaku di dapur.
Mengepulkan asap masakan hari ini.
Tidak istimewa, hanya tumis wortel-buncis dengan ikan goreng yang lengkap dengan sambal terasinya.
Jangan bayangkan makanannya sekarang!
Kelak, jika kita sudah berbagi atap dalam cinta yang sama,
kau akan menjadi orang pertama yang rutin ku jamu masakan tanganku setiap hari.

Aku janji tidak akan ada MSG, karena aku tak mau kita kehabisan ingatan terlalu cepat.
Tidak akan ada garam berlebih, kau tahu kan? cukup karena cintaku saja jantungmu berdetak terlalu cepat. Bukan karena hipertensi.
Tidak akan ada minyak berlebihan, karena dengan begitu faringitis akan menjauhiku.
Dan tidak akan ada junkfood berlebih. Selain tidak terlalu sehat, aku tidak mau lidahmu lebih terbiasa cita rasa resto dibanding masakanku sendiri.
Toh mulai sekarang pun aku suka bereksperimen dengan masakan resto kok.

Sebut saja pancake atau steak
Dua makanan ini jadi makanan favorit yang sering aku uji coba di dapur.
Walaupun akhirnya terkadang terlalu manis, atau terlalu matang.
Tapi tenang saja, akan ku pastikan, di saat kau semakin dekat menujuku, semakin mahir pula aku menguasai keduanya.

Oh ya, sudah ku katakan belum jika hari ini aku bahagia?
Berbahagia untuk mengetahuimu masih berada di kota yang sama.
Kita masih berbagi matahari dan hujan yang sama.
Hujan tadi pagi yang lebat.
Yang sayangnya tidak cukup lebat untuk menghapus rindu.
Kau tahu kan?
Akan selalu ada rindu yang tersimpan dalam tiap tetes hujan.
Rindu untuk melihat matahari.
Karena hanya dengan sinarnya, membuat bayanganmu nyata


Aku,
Dewi Srikandi, yang selalu suka memperhatikanmu diam-diam.




PS: Ah Arjuna, maaf jika suratku tidak panjang. Aku sedang terburu-buru sekarang. Mau mengusir kucing betina hamil yang sering sekali masuk rumah lewat atap. Bukan aku benci kucing, kau tahu kan mereka makhluk manis? Hanya saja aku kelewat khawatir jika waktu kelahirannya ada di rumah ini. Aku sungguh tak kuasa melihat bayi-bayi kucing baru lahir. Ah aku harus buru-buru sekarang. Oh Tidak! Dia mulai naik ke atas meja makanku! Semoga harimu menyenangkan!
read more “Tarian Hujan.”

Friday, January 14, 2011

Pengakuan Resmi.


Hai Arjuna,
Tak keberatan kan jika aku sebut seperti itu?
Satu, karena aku memang menyukai Dewi Srikandi. Wanita gagah berani dengan bekal panah Hrusangkali di tangannya.
Dua, dan karena aku jatuh cinta pada Dewi Srikandi, sudah dapat dipastikan bahwa aku juga akan jatuh cinta pada nama Arjuna.
Untuk itu, kau akan ku panggil Arjuna.

Oh ya, jangan terlalu memasukkan dalam hati perihal banyak mitos yang berkembang tentang Arjuna dan Srikandi.
Ahli sejarah banyak yang mengemukakan bahwa Srikandi melakukan segala cara untuk mendapatkan Arjuna,
termasuk merebutnya dari hati orang lain.
Tapi Srikandi yang ini berbeda.

Hanya jatuh padamu dalam diam.
Dalam segenap bunga matahari yang mekar dalam hati.
Dalam segerombolan kupu-kupu yang terbang menyesakkan perut.
Dalam pipi yang bersemu merah.
Diam-diam.

Jangan pernah bertanya kapan pula kita pertama kali bertemu.
Itu adalah permainan semesta.
Dimensi waktu kita disinggungkan tanpa pernah aku rencanakan.
Tanpa pernah kamu rencanakan.
Tanpa pernah kita rencanakan.

Satu yang pasti, kita hanya pernah bersua wajah dua kali.
Tapi itu cukup bagiku. Untuk merekam betapa tegasnya garis wajahmu.
Atau betapa pelitnya senyumanmu.
Iya. Kamu sungguh-amat-sangat-pelit untuk tersenyum.
Dan juga pelit berbicara.

Tapi kemudian, siapa yang peduli?
Jika hati yang jatuh padamu?

Ah. sudahlah.
Lebih baik aku menyudahi saja surat ini.
Sebelum jantung ini copot saking banyak berdetak tak karuan.


Aku,
Dewi Srikandi.


PS: Jangan marah, jika aku jadi lebih sering memperhatikanmu. diam-diam.



*Ini proyek #30harimenulissuratcinta gagasan @perempuansore dan @ekaOtto di Twitter. Hati-hati saja, mungkin aku akan menulis untukmu <3

read more “Pengakuan Resmi.”

Thursday, December 30, 2010

Negeri Merah.


Apa rasanya melebur bersama 96.000 manusia berbalut busana merah? Apa rasanya ketika 96.000 manusia ini tiba-tiba diam bersamaan dan menyanyikan dengan lantang lagu Indonesia Raya secara serentak? Apa rasanya memiliki satu suara bersama 96.000 manusia yang terus-menerus mengucap satu kata: Indonesia?

Percayalah, itu surga kecil yang saya rasakan kemarin.

Duduk bersama manusia merah lainnya. Adrenalin terpicu seperti dua kali lipat dibandingkan sebelumnya. Riuh rendah terompet atau teriakan—yang bahkan kau, tidak bisa lagi mendengar suaramu sendiri. Gemetar hebat sewaktu tanpa dikomando, 96.000 manusia ini memiliki gerakan yang sama. Merinding saat seluruh 96.000 manusia ini mengerahkan semangatnya untuk Firman Utina ketika tidak mampu mengeksekusi kesempatan emas pinalti. Semua berteriak. Semua bersuara. Membuncah ke seluruh sudut stadion Gelora Bung Karno.

Ini gila kawan! Ternyata untuk malam ini persatuan mudah diciptakan. Ternyata kedamaian penuh sesak membanjiri Negara ini. Kau tidak lagi memandang The Jak, Bonek, atau sematan-sematan simbol lainnya. Kau tidak perlu lagi rusuh tolol untuk hal yang sesungguhnya kita sebut permainan: sepakbola.

Ini memang gila kawan! sungguh gila! Karena untuk pertama kalinya, saya—dan mungkin semua manusia merah, tidak lagi peduli masalah Piala. Tidak begitu peduli lagi masalah Juara. Semua sudah terbayar dengan kesungguhan perjuangan dari para punggawa Garuda dan semangat suportivitas pendukung. Semua tercipta sebagai satu bingkisan akhir tahun yang tak ternilai.

Sebut saja saya norak. Tapi mungkin inilah setitik oase. Penawar baik untuk semua rindu selama ini. Rindu pada prestasi, berita baik, martabat bangsa yang kuat, atau—sebut saja—kedamaian. Kita terlalu sering disuguhi drama politik busuk, penyelewengan harta Negara dan rakyat, profil-profil pejabat yang ketinggalan hati dan otaknya di rumah, atau teriakan-teriakan pertikaian antara kaum minoritas dan mayoritas. Tapi semalam, Garuda mengepakkan sayapnya ke seluruh antero negeri. Menggetarkan hati manusia merah yang masih memiliki nama Indonesia di dalamnya.

Terimakasih TIMNAS. Kesungguhan perjuangan Anda menggetarkan hati kami. Biarkan saja Malaysia membawa pulang Piala. Toh, kami sudah mendapat Piala yang lebih hebat. Nama Garuda sudah tertera dalam hati dan pastinya di sana ada nama kalian juga. Tetaplah bermain bola. Nikmatilah irama permainannya. Biarkan suara-suara rusak pejabat di organisasi bola kita terus bergaung, kadang-kadang mereka suka lupa tentang teori “Tidak ada yang abadi”, termasuk kesemena-menaan terhadap bangsa sendiri.

Kami menunggumu berlaga lagi. Biarkan suara kami saja yang mengalirkan energi baik untuk kalian. Oya, salam juga untuk manusia hebat yang sering kalian sebut—Opa Riedl. Kami yakin harapan untuk Garuda akan selalu ada ketika Opa Riedl masih bersama kalian.

Dan satu lagi, mau do’akan kami? kadang-kadang manusia merah seperti kami suka labil. Nasionalisme setengah-setengah. Nasionalisme kondisional. Do’akan saja semoga damai dalam nasionalisme bukan milik semalam saja. Saya masih ingin merasakannya esok, esok, dan esoknya lagi. Sampai kita semua tidak mampu lagi menghitung.





PS: Terimakasih untuk teman-teman yang ikut berjuang mengantri tiket, kalian baik sekali! Memberikan kesempatan bagi saya untuk menyeka air mata pertama kali di Stadion Gelora Bung Karno. :')

PPS: Photo Courtesy by Mamet Rockafella and Surya Pratama
read more “Negeri Merah.”

Tuesday, October 5, 2010

Perfectionist (not).


Otak, merupakan fitrah yang diberikan Tuhan kepada makhlukNya, lengkap dengan akal yang kemudian menjadikan kita sederajat lebih tinggi dibanding makhluk penghuni bumi lainnya. Tidak kurang dari 100 juta neuron sebagai ‘nyawa’ di dalamnya juga diberikan secara cuma-cuma. Benda ini yang kemudian bertanggung jawab untuk mengatur kerja kompleks dari tubuh, mulai dari menerima rangsangan dari kelima indera, mengatur metabolisme, tekanan darah, suhu tubuh, sintesis protein, menunjukkan realita berbagai rasa emosional, hingga memproyeksikan mimpi.

Tapi lupakan sejenak dengan neuron dan kinerjanya, karena fungsi dari otak yang paling sering kita gunakan adalah untuk berpikir. Entah untuk berpikir hal-hal yang baik, atau untuk berpikir hal-hal yang tidak ada gunanya, ya, setidaknya demikianlah adanya.

Dan katakan saja dalam berpikir tentunya setiap manusia memiliki preferensi tertentu. Memiliki gaya tersendiri dalam merencanakan sesuatu hingga bagaimana langkah eksekusinya. Ada yang cenderung teratur, runut dari awal sampai akhir, ada yang cenderung spontanitas, ada pula yang cenderung melabrak pakem yang sudah ada, bahkan ada yang bingung dari mana harus memulai.

Dari sekian banyak preferensi gaya berpikir, mungkin tidak asing dengan istilah ini—Perfeksionis, yang katanya merupakan cabang lain dari turunan OCD (Obsessive-Compulsive Disorder).

Bagi orang-orang pengidap perfeksionis, maka kami punya pembelaan tersendiri. Jangan pernah salah tanggap. Perfeksionis bukan gaya berpikiran untuk menjadi sempurna, namun bagaimana caranya agar ketidaksempurnaan itu bisa paling minim dimunculkan. Entah menetapkan standar tertentu, menghindari kesalahan teknis, memberikan perhatian lebih pada detil, membuat catatan panjang tentang hal-hal yang krusial hanya untuk menjamin tidak ada hal yang ‘missed’, mengatur dan memilih dengan cermat segala material yang akan digunakan dalam mencapai tujuan, hingga beberapa kali melakukan revisi atas suatu kerjaan.

Untuk sifat yang terakhir, saya akan memberikan sedikit contoh nyatanya: So, well, pernah melihat seseorang yang sedang drafting atau membuat suatu portofolio atau sedang membuat tulisan/laporan ilmiah tapi setelah jadi malah dibuang? Atau setidaknya ia melakukan adegan Ctrl+A, lalu Ctrl+del berpuluh-puluh kali? Kalau Anda belum pernah menyaksikannya, maka dengan senang hati saya akan menunjukkannya pada Anda sesekali.

Sesekali? Iya. Sesekali. Karena untuk kasus saya, saya pribadi hanya memunculkan sifat ini sesekali dan dipengaruhi oleh rangsangan pada hal-hal tertentu. Khususnya untuk hal-hal yang berhubungan dengan personal passion, hal-hal yang menyangkut cita-cita, dan hal-hal yang menyangkut pekerjaan. Selebihnya? Saya menjadi Procrastinator Perfectionist—Tidak terlalu peduli dan seolah memiliki banyak waktu untuk dibuang-buang.

So, Anda mulai takut dengan saya sekarang? Ouh well, tidak salah juga sih sebenarnya. Tapi setidaknya itu membuktikan bahwa saya mengenal diri sendiri hingga ke bagian yang bersemat ‘disorder’.

Lalu, bagaimana dengan Anda? Seberapa jauh Anda mengenal diri Anda? Apakah setipe dengan saya? Ataukah memiliki personal yang jauh lebih baik? Well, kalau iya, selamat untuk Anda!

Tapi percayalah, sesekali cobalah menjadi Perfeksionis, tidak terlalu buruk kok. Kecuali jika tidak tahan, Anda akan sedikit limbung, karena Perfeksionis kehilangan satu kata dalam kamusnya: kegagalan.






P.S: Apa kalian pikir saya harus mulai membuat janji dengan Psikiater? kalau iya, tolong rekomendasikan psikiater ahli yang pintar, baik, ganteng, dan single. sekian.
read more “Perfectionist (not).”

Sunday, August 1, 2010

Persepsi Pulang.

source: pic

Jangan dulu pulang. Aku sedang menenun selimut rindu. Kau kenakan nanti, biar kau tahu rasanya ketika jauh dariku.

Jangan dulu pulang. Mesin tenun ini sudah tua. Lambat sekali menyambung antar benang. Ku rekatkan warna jingga dan biru, dia berikan hijau.

Jangan dulu pulang. Tempayan di dapur belakang juga belum penuh. Air mataku lambat sekali menetes. Kelak jika sudah, ku buatkan secangkir teh setiap pagi. Rasakan getirnya air mataku di sana.

Jangan dulu pulang. Lukisan tentangmu juga belum selesai. Palet cat di sini masih kosong. Inspirasiku sedang jalan-jalan mengikuti langkahmu.

Jangan dulu pulang. Aku sedang memasak Cookies. Mereka sedang sauna di dalam oven. Mungkin masaknya agak lama, karena aku menyimpan Senyumku di dalam sana. Senyum yang beku karena kamu pergi.

Jangan dulu pulang. Belajarlah lebih lama lagi di luar sana. Resapi rasanya dirimu jika tanpa aku.

Jika sudah, maka kau boleh pulang.
kebetulan juga Selimut Rindu sudah jadi. Tempayan sudah penuh.
Lukisan Dirimu juga sudah selesai.
dan Cookies Senyum pun telah matang.

*****

Aku menunggu.

1 jam,

2 hari,

3 minggu,

1 tahun,

Kenapa kamu tidak jua pulang?

Apa peta hatiku telah hilang?
Apa Kau tertinggal kereta?
Apa waktu menutup penglihatanmu?

Atau...

memang kamu yang tak ingin pulang?


read more “Persepsi Pulang.”

Thursday, June 24, 2010

Semacam Wawancara.


Rindu.
Siapa kemudian yang tak mengenal rindu?
Selalu tak akan pernah habis perkara tentangnya.
Ketika kau mulai berkenalan dengan Cinta, lalu kau jatuh ke dalamnya, hingga saat kau berusaha menyeret dirimu dari lingkaran itu,
rindu akan selalu berada di antaranya.

lalu sebenarnya, apa arti kata rindu?
apakah itu hanya sekedar kecap rasa tanpa perlu diartikan aksara?
atau sebenarnya tidak ada aksara yang mampu mengartikan rasanya?

Orang-orang berikut mungkin akan meracunimu tentang rindu.
Ikuti labirin kata-kata mereka, lalu temukan jalan keluarmu sendiri.
"rindu itu adalah saat aku tidak bisa membaca peta dan kehilangan kompas.
rindu juga ibarat ikan piranha tanpa deretan gigi tajam. menghasilkan lapar tak berkesudahan."
"rindu itu bukan oksigen. tapi karbonmonoksida. pantas saja aku terkena asfiksia." --Nona Pipi Tembem
"ibarat sumur kosong tanpa minyak bumi. ketidakhadirannya mengecewakan sang penambang. itu rindu menurutku."
"dan seperti tumpukan kafein yang menyusup pelan-pelan dan membuatku terjaga semalaman. maka seperti itu juga rindu". --Pria Cokelat
"rindu itu saat pangeran tidak bisa bertemu cinderella di atas jam 12 malam."
"atau rindu adalah ketika tenggorokan Cinderella berteman dengan faringitis. membuatnya akan sulit membisikkan nama Pangeran dalam do'a." --
Ibu Peri Negeri Utara

lain pula kata Sepasang Pengantin Baru tentang Rindu:
"rindu itu saat koneksi internet buruk bersekutu dengan batasan angka pada pulsa. barisan kata ku dan kamu, tak mampu bercinta di udara." --Istri Penyayang
"rindu pun ibarat mata minus 2 dan silinder 1,75 tanpa kacamata. duniaku buram." --Suami Setia
"rindu itu adalah Teori Relativitas Einstein yang terpatahkan. dalam rindu itu Pasti tentang kamu." --Suami Setia
"rindu adalah alter egoku yang lain. tak akan muncul ketika bersamamu." --Istri Penyayang
"rindu itu lupa. lupa untuk tersenyum saat jarak ada di antara kita." --Suami Setia
"rindu itu injeksi progesteron dalam masa menopause. menghadirkan semangat lagi." --Istri Penyayang
"rindu itu bagian dari takdirku dalam mencintaimu." --Suami Setia

Lalu inilah makna rindu dari pejuang cinta yang lain
"rindu itu tabu. karena kau adalah suami dari wanita lain." --Nona Gincu Merah

...dan ini, sebut saja yang memahami rindu dari cara yang tidak biasa; rasa sakit.
"rindu itu adalah yoghurt. sudah basi sejak kamu memilih pergi."
"rindu itu amnesia. sejak hati ku terlalu beku untuk mengenal cinta."
"jadi, tidak ada rindu dalam kamusku. sudah ku buang bersama kata 'mencintaimu'." --Nona Rambut Ikal

"seharusnya. rindu itu paket komplit. bersamaan datangnya Idul Fitri dan perginya 30hari Ramadhan". --Ulama Ternama

pada akhirnya, rindu itu adalah hakiki untukNYA.
saat sebuah otak yang terbungkus rapi dalam rangka kepala, dengan ikhlas bersujud dan menyebut namaNYA. syukur. dan tunduk.


read more “Semacam Wawancara.”

Sunday, June 13, 2010

Lemari Kenangan Bola.


Saya kembali duduk di sini. di barisan penonton.
Tidak mengambil tempat terlalu depan. Tidak juga barisan belakang.
Hanya beberapa meter saja dimana saya masih bisa melihat dengan jelas.
Persis seperti kegiatan membaca jurnal atau menonton film di bioskop,
kali ini saya juga menggunakan kacamata.
Seolah ingin memastikan bahwa tidak ada satupun yang terlewatkan.

dan.. itulah dia!

dia dalam seragam merahnya.
hampir selalu di setiap pertandingan.
pernah saya memprotes supaya dia mengganti seragamnya.
bukannya apa-apa, hanya saja saya merasa kasihan pada seragam itu.
entah sudah berapa kali mengalami siklus "cuci-kering-pakai".
tapi katanya "Seragam Merah itu punya efek semacam plasebo. membuat terlihat sangar dan bersemangat".
ya. memang benar adanya.
dia tampak lebih percaya diri dengan seragam merah.
dan juga.. terlihat lebih tampan ;)

ahh.. sudahlah.
mari kembali ke lapangan hijau.

saya sempat melambaikan tangan beberapa saat sebelum pertandingan mulai.
hanya untuk memberitahunya bahwa saya ada untuk mendukungnya hari ini.
dia hanya membalas dengan senyuman.
sambil memperbaiki ikatan sepatu yang menjadi tempat bersarang kaki kuatnya,
beserta beberapa lipat kaus kaki di dalamnya.

ya. kebiasaannya adalah menggunakan beberapa kaus kaki di kaki kanannya.
alasannya supaya menghasilkan tendangan yang keras,
karena di sanalah bertumpu kekuatan terbesarnya.

dan tidak berapa lama kemudian, pluit dibunyikan tanda permainan dimulai.

kali ini dia kembali menempati posisi "Play Maker".
posisi yang entah ratusan kali dia mainkan.
sebagai "Play Maker" dia punya tanggung jawab cukup besar untuk mengendalikan permainan tim.
kapan harus memberikan bola ke temannya, kapan harus maju atau kapan harus mundur menyelamatkan gawang sendiri.

tapi tidak jarang juga dia berperan sebagai "Striker".
dan jika begini, saya akan menjadi salah satu orang yang akan disuguhi permainan kerennya.

jika kebanyakan pemain bola merasa "nervous dadakan" begitu berhadapan dengan gawang lawan,
menjadi tidak fokus, lantas tendangan melenceng tak tentu arah,
maka dia bukan termasuk orangnya.

dia memiliki fokus yang baik.
tendangan akurat dan kuat.
eksekusi yang tepat.
dan tidak grogi.

kalau sudah begitu, gol-gol cantik pastinya sudah di tangan.

dan pada saat itu, saya hanya tersenyum dari pinggir lapangan.
ikut merasakan aura kebanggaannya.

******

"tolong ambilkan air minum di tasku dong" katanya sesaat pertandingan bola memasuki jeda istirahat.
saya memperhatikannya, tak pelak lagi jika begitu banyak peluh membanjiri wajahnya.
"kamu mainnya keren hari ini" kata saya sambil menyimpan kembali botol minum ke dalam tasnya.
"tetap di sini. dan jangan alihkan pandanganmu" jawabnya sambil berlari lagi kembali ke lapangan.

pertandingan berjalan baik.
semua terkontrol dengan apik.
sampai akhirnya, seorang pemain dari tim lawan men-tackle kakinya.
dia tergulung. nampak kesakitan.

saya seketika bangkit dari tempat duduk.
rasanya ingin berlari ke dalam lapangan dan langsung menariknya keluar.
atau menendang balik si pembuat sakit.

sahabatnya yang kebetulan duduk di samping saya langsung bereaksi "tenang saja, dia baik-baik saja kok. cidera dalam bermain bola sudah biasa"
"iya, tahu. tapi tetap saja kesal. ini permainan olahraga. bukan kekerasan" rutuk saya kemudian.
"hahahaha. benar-benar kamu begitu baik memperhatikannya. tapi percaya deh, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. kamu kembali duduk saja." timpal sahabatnya menenangkan.
dan akhirnya saya kembali duduk menyaksikannya bertanding hingga babak kedua selesai dilalui.

"fyuuhhh"
saya menghela nafas lega.
Tim-nya berhasil menenangkan pertandingan dengan skor gemilang.
dan lebih bersyukurnya lagi adalah dia tidak perlu mengalami cidera kaki.

dan jika sudah begini, saya akan tetap berada di tempat duduk.
memberikannya kesempatan untuk membicarakan kemenangan barusan.
mendiskusikan dengan teman-temannya kapan latihan bola atau futsal lagi.

lalu beberapa saat kemudian dia akan menghampiri saya.
minta diambilkan air minum.
meminta pendapat bagaimana permainan hari ini.
tentunya dalam intonasi yang setengah pamer.

ya ya ya.
duduk di barisan penonton bersama teman-temannya sesungguhnya adalah hal yang sulit.
artinya saya sekaligus akan bertindak sebagai "mata-mata"
merekam pujian rekan-rekannya terhadapnya.
terutama jika dia main sebagus hari ini.
beragam celotehan kagum dari teman-temannya pasti saya masukkan dalam memori.
untuk saya ceritakan kembali kepadanya.
bisa ditebak kemudian bagaimana raut wajahnya.
memerah dan bahagia.

"ahh dasar kamu memang narsis!" kata saya.
"tapi kamu juga seneng kan? hahahahah. ya sudah yuk aku antarkan kamu pulang. terimakasih ya sudah ditemani main bola" balasnya kemudian.

"fyuuhhh"
saya kembali menghela nafas.
memejamkan mata dan sesaat kemudian hiruk pikuk suara lapangan bola semakin samar terdengar.
yang tersisa adalah suara binatang malam di luar sana,
dan suara TV yang menampilkan pertandingan Inggris-Amerika.

dia, dalam seragam merah juga lenyap.
obrolan kami raib.

saya baru menyadari,
saya barusan berbicara dengan kenangan.
saya lupa,
seharusnya saya menutup rapat pintu lemari kenangan di tengah euphoria Piala Dunia ini.

ahh.. semoga esok tidak lupa.

mari kembali menyaksikan aksi Rooney, Lampard dan Gerrard.
kebetulan mereka tidak berseragam merah hari ini.





P.S: "Hei, kamu masih main bola dengan baik kan? jangan lupa jaga pola makanmu ya? jangan sering sakit dada lagi"
read more “Lemari Kenangan Bola.”

Thursday, June 10, 2010

Deposito.


Kali ini bukan karena ritual khusus atau ramalan, tapi sudah 3 kali secangkir Caramel Machiato diaduk berlawanan arah jarum jam oleh wanita itu. Buih-buih krimnya sendiri sudah berpencar ke dinding gelas, sedang uap panasnya, sudah meninggalkan separuh gelas sejak tadi.

Hari memang masih terlalu pagi, bahkan untuk membangunkan seekor gajah di pelupuk mata. Tapi apa daya jika penerbangan pagi harus dijalani. Kantuk dan setengah kesadaran yang tertinggal di rumah tak urung jadi menu utama sarapan kali ini.

Jalanan juga tak bersahabat. Mungkin wanita tadi berharap, akan ada macet dadakan subuh ini. Entah karena Penutupan Jalan, Demo Massal, Kampanye Pilkada atau Si Komo Lewat, yang penting macet! sehingga ia bisa tidur di taksi lebih lama. tapi Jalan memang bersekutu dengan Takdir pagi ini. Dia masih memiliki 2 jam ke depan, sebelum pesawatnya benar-benar terbang.

"Kursi ini masih kosong kan? Tidak keberatan kan jika kita berbagi meja?" kata suara berat di hadapannya.

Wajahnya menengadah. Sepertinya dia hafal suara itu. Tapi karena ada lampu Cafe menyilaukan pandangannya, tanpa memperhatikan lebih lanjut dipersilahkan Lelaki itu untuk duduk satu meja dengannya.

"Sepertinya kita saling kenal. Bukan begitu?" Si Suara Berat kembali melempar percakapan.

Si Wanita menoleh. dan dia mengiyakan sepenuh hati perkataan Lelaki tadi.

Demi Tuhan, bagaimana dia tidak sampai mengenal Lelaki di hadapannya, jika dulu hampir 2 tahun mereka pernah bersama. dan karena cerita akhir yang agak menyakitkan, maka setelah berapa ribu hari, akhirnya mereka bertemu lagi.

"Hei, Kamu. Tidak menyangka malah ketemu di sini. Nampak semakin langsing saja"

"Ya ya ya, benar-benar mengejutkan bisa bertemu denganmu lagi. dan Kau, makin subur saja. nampak makmur rupanya?" canda Lelaki itu.

"So... apa kabarmu?" tanya keduanya hampir bersamaan.

"Hahahaha. oke, kabarku baik. Tidak kekurangan suatu apapun. malahan harus ketambahan 9 kilo lemak yang hampir sepertiganya terdistribusi di Pipi" jawab Wanita itu sambil balik bercanda.

"Kalau untuk bagian itu tak perlu kau katakan dengan jelas, itu terlalu mudah terbaca olehku. hahahaha. by the way, kamu akan berpergian kemana pagi ini?"

"Hmm.... hanya sedikit urusan dinas ke pulau seberang. Err... bukan tempatmu kok"

"Kenapa kau sangat yakin jika aku masih menempati pulau yang sama seperti dugaanmu?" tanya si Lelaki kemudian.

"Katakan saja: Intuisi. dan hampir seluruh Intuisi ku tentang mu selalu berakhir benar. Bukan begitu?" jawab Wanita dengan angkuh.

"Hahahahaha. kau memang tidak berubah. Berasumsi adalah kegemaranmu yang paling utama. Tapi, ya untuk kali ini aku akui kamu benar. Ya. Aku masih menetap di pulau itu." Jawab Lelaki dengan nada pasrah.

Pembicaraan kemudian berlanjut. Tanpa ada paksaan. Sesuatu yang bersandiwara. Atau olesan bibir belaka.

Keduanya lepas dalam tawa. Mungkin selama ini keduanya memendam kerinduan. Kerinduan berbicara, saling berdiskusi, berdebat hingga harus membuka ratusan buku, atau sekedar mempatenkan diri sebagai 'Orang Konyol'.

Caramel Machiato mungkin satu-satunya benda disitu yang paling kesal. Bagaimana tidak, jika setelah 3 kali diaduk paksa. Diteguk tanpa niat. Hingga kali ini benar-benar uap panasnya telah beku seluruhnya, tetap tak membuatnya diminum sampai tuntas.

Terlalu banyak kata-kata yang berlompatan dari bibir mereka. Itu satu-satunya pandangan yang disaksikan oleh Caramel Machiato. "Dasar Manusia!" rutuknya dalam-dalam.

Perlahan, suara gelak tawa itu menghilang, berganti sebuah pertanyaan dengan nada sedikit serius.

"Jadi, kau begitu bahagia sekali rupanya. Baguslah jika demikian. Aku turut bahagia" tegas Lelaki itu.

"Ya. Aku jauh lebih bahagia sekarang. bukan karena aku tidak lagi membencimu, tapi karena aku memang menginginkan bahagia. Bagaimanapun juga adalah hal yang bodoh jika terus memenjarakan hati dengan luka. Dia berhak bahagia."

"Kamu juga bahagia kan?" tanya balik si Wanita.

"Hmm.. Aku akan selalu mencoba bahagia. Untuk itu kamu tenang saja. Lalu.. apa saat ini kau telah menitipkan hatimu pada orang lain?" tanya sang Lelaki dengan hati-hati.

"Pengalaman mengajariku untuk tidak lagi melakukan Simpan-Pinjam tentang Hati, garansinya tidak ada dan riskan pelanggaran, termasuk di dalamnya penarikan secara paksa Hati yang aku pinjam sebelum jatuh tempo. Jadi, sekarang aku hanya bermain Deposito. Mendepositokan cinta, kebaikan dan kebahagiaan pada tempat-tempat yang aku inginkan. Tanpa perlu was-was akan dicuri atau tercampuri punya orang lain. Ketika aku merasa tidak perlu lagi, tinggal aku tarik dan tutup rekeningnya."

"Lalu siapa yang menjadi tempat deposito terbanyak?"

"Sekali-sekali belajarlah menggunakan instuisimu, Bung. Tebak dia siapa orangnya. Karena kali ini aku tidak akan mengatakannya" jawab Wanita itu sambil membereskan barang-barangnya. karena jika dia tinggal lebih lama lagi di sini, niscaya dia akan kehilangan penerbangan paginya.

"Oya, mungkin sebaiknya kita tidak usah bertemu, karena bisa jadi secara tidak sengaja aku membocorkan Siapa Pemilik Deposito Terbanyak ku. dan itu bukan sesuatu yang baik. setidaknya buatku." lanjutnya kemudian.

"Oke. waktunya pergi, semoga penerbanganmu menyenangkan" si Wanita menyelesaikan kalimatnya, menunggu beberapa detik hingga kemudian benar-benar berlalu dari hadapan sang Lelaki.

Entah si Lelaki mengerti atau tidak, jika hingga hari ini, dia adalah penyimpan Deposito Terbesar.

Tapi, sepertinya dia juga tidak peduli.


read more “Deposito.”