Wednesday, September 22, 2010

Kadaver.

Dante, mungkin jadi pengunjung terakhir perpustakaan malam ini. Menatap ulang buku sakti tubuh manusia “Sobotta: Atlas of Human Anatomy”, beberapa jurnal, catatan kuliah, buku praktikum dan informasi lain yang sebanyak mungkin dapat diperoleh mengenai anatomi.

Bukan menghadapi ujian kelas Anatomi, tetapi ujian calon Asisten Lab. Anatomi lebih tepatnya. Dan sudah menjadi konstitusi umum, untuk dapat direkrut sebagai asisten Anatomi bukanlah sesuatu yang mudah. Mereka─Dosen yang turun tangan langsung dalam perekrutan asisten tidak pernah main-main dalam memberikan materi seleksi. Kualitas perekrutan yang tinggi dan aura kompetitif, tidak heran jika gelar asisten Lab.Anatomi menjadi prestise tersendiri di kalangan mahasiswa kedokteran di kampus ini.

Maaf mas, perpustakaan sebentar lagi tutup. Silahkan dibereskan buku-bukunya dan kembalikan ke rak semula” kata petugas perpustakaan mengalihkan perhatian belajarnya.

Oh iya, Bu. Sebentar lagi saya rapikan” jawabnya kemudian.

Setelah mengambil tas di loker, Dante memutuskan tidak pulang. Ruang terbuka antara ruang kelas dan laboratorium Mikrobiologi yang sering disebut selasar oleh para mahasiswa di sini menjadi tempat pemberhentian berikutnya. Tampak di sana, masih ada tiga orang mahasiswa yang sedang berkutat dengan laptop memanfaatkan wi-fi gratis. Dipilihnya satu meja kosong, dan ia kembali tenggelam dalam catatan Anatominya.

Di tengah imajinasinya dengan scalpel yang mengiris lapisan kulit mulai dari epidermis, dermis, lemak subkutis, fasia superfasial, fasia dalam, otot, tiba-tiba suara seorang Bapak membuyarkan konsentrasinya.

Sedang belajar Anatomi? Ujian atau asisten?” sapanya mengawali pembicaraan.

Oh..untuk asisten, Pak” kata Dante sambil membereskan kertas yang berada di kursi sebelahnya supaya bisa diduduki.

Mau belajar bersama saya?” tawarnya kemudian.

Err.. bukan bermaksud tidak menghargai, Pak. Tapi kalau boleh saya tahu, siapa Bapak sebenarnya?” jawab Dante ragu.

Asal muasal saya tidak penting, yang pasti saya cukup mahir dalam Anatomi” yakinnya kemudian.

Dante mengenyahkan segala rasa penasarannya. Karena diskusi anatomi dengan Bapak Misterius ini berjalan menyenangkan. Dari gagasan para ahli anatomi yang menentukan dari mana sebaiknya mempelajari tubuh manusia, lalu ke manubrium, xiphoid process, otot di antara tulang iga, saraf toraks hingga ke jantung─yang menurut Bapak tersebut jantung merupakan ‘jantung’ persoalan dari penyakit.

Akhirnya, diskusi malam itu diakhiri dengan ucapan “Semoga Sukses” dari si Bapak Misterius. Belum sempat mengucapkan terima kasih, lelaki tersebut telah menghilang secepat kepala menoleh.

*
Ujian asisten Anatomi dibagi dalam dua sesi: ujian tulis dan praktik. Dante tidak mengalami kesulitan mengerjakan sesi pertama. Betapa mengejutkan, apa yang menjadi bahan diskusinya semalam benar-benar membantu.

Satu jam kemudian, bersama dosen dan mahasiswa lain, mereka telah berada di dalam lab, masing-masing mengelilingi kadaver.

Kita semua tahu, tubuh-tubuh di sini dulunya adalah manusia yang hidup, bernafas dan memiliki perasaan, dan ketika kematian menghadapi, mereka dengan murah hati mendermakan tubuhnya untuk Ilmu Pengetahuan. Di samping setiap kadaver ada lembar kerja untuk sesi ujian praktik ini. Kerjakan dengan tenang dan penuh hormat” perintah seorang dosen.

Setelah dipersilakan bekerja, Dante memberi hormat kepada kadaver di sampingnya dan memeriksa nama label yang terkait pada ibu jari kakinya. “Seorang Profesor. Luar biasa dedikasinya” batinnya dalam hati. Lalu dibukanya kain penutup wajah. Seketika dia diam. Dia tahu siapa orang ini. Setidaknya sebelas jam yang lalu.


-dan jangan pernah bertanya berapa umur kadaver.








P.S: Kata-kata kedokteran di atas diperoleh dari Sobotta (mengintip sedikit), Doctors karya Erich Segal, dan Google. yup. mesin hampir-tahu-segala-hal kecuali jodoh saya. Sekian.
read more “Kadaver.”

Tuesday, September 21, 2010

Popcorn.

Kau tahu? Hidupku itu tak ubahnya seperti mesin pencipta “popcorn”. Meledak-ledak. Aku sampai begitu hafal dengan pola ledakannya.

Ya. Tiga tahun dalam pekerjaan sebagai pegawai bioskop menjadikanku orang yang cukup akrab dengan popcorn. Mau dengar ceritanya? Saranku, ambillah setumpuk popcorn untuk menemanimu!

Desember 2006
“Anda diterima bekerja di sini. Tugas utama Anda menjadi pelayan CafĂ©. Menyiapkan pesanan minuman dan makanan untuk penonton bioskop. Sebentar lagi, pegawai yang lebih senior akan memberikan pelatihan bagaimana mengoperasikan beberapa alat, termasuk mesin popcorn yang baru saja datang itu” kata Bapak setengah baya yang saat itu resmi menjadi atasanku.

“Baik, Pak. Terimakasih atas kesempatan yang diberikan” jawabku dengan perasaan yang penuh kegembiraan.

Mungkin bagi sebagian besar orang, pekerjaan ini bukanlah suatu pencapaian besar dalam sejarah karir, tapi aku amat bersyukur karena artinya aku dapat hidup mandiri. Tidak lagi menjadi tanggungan Tante Ira─adik kandung Mama yang tidak punya pilihan lain, selain membagi kehidupan pribadi keluarganya denganku─ponakan yang resmi menyandang gelar yatim piatu semenjak 15 tahun yang lalu.

Februari 2007
Aku makin mahir sekarang dalam mengoperasikan berbagai alat makanan dan minuman. Tapi, tetap saja kecintaanku pada mesin popcorn lebih besar dibanding yang lain.

Aroma khas starch terpanggang pada temperatur 180 oC. Bunyi meletup seperti ingin mendobrak pintu panci bertekanan. Rasa gurih dan kriuk yang mengakrabkan hubungan gigi dan lidah. Kandungan non-sugar serta, takdirnya untuk dipilih banyak pengunjung sebagai teman mereka selama pemutaran film, membuatku merasa mendewakan popcorn dalam pekerjaan ini.

Terkadang aku usil, bereksperimen dengan popcorn. Komposisi margarine yang aku main-mainkan. Temperatur yang sedikit aku turunkan dan dibarengi dengan tekanan yang sedikit dinaikkan membuatku seolah patut meraih nobel atau setidaknya ucapan “terima kasih” berkali lipat dari tiap pengunjung. Popcornku rasanya beda!

..dan saat itulah, popcorn mengenalkanku pada Evan.

September 2008
“Hei! Apa kabar? Apa perlu aku menyebutkan apa pesananku? Ku yakin, kau sudah hafal di luar kepala” sapa Evan ramah beberapa menit sebelum film pilihannya akan diputar.

“Ya ya ya, aku tahu pesananmu. Bersabarlah sebentar akan aku kubuatkan”

“Ngomong-ngomong kemana saja kau? Seperti begitu sibuk, tempat ini jarang kau kunjungi lagi” kataku kemudian sambil menyerahkan pesanannya.

“Umm..ya begitulah. Bekerja pada kapitalis tak ubahnya jaman Cultuur Stelsel, kau bernafas di kantor untuk bekerja. Dan jika kau tak keberatan, selepas aku menonton, akan ku ceritakan kemana saja aku pergi selama satu bulan terakhir”

April 2009
Evan sudah seperti sahabatku. Saat ia mengunjungi bioskop secara rutin dan memesan setumpuk popcorn, itulah saat-saat berharga kami ku, dan tebaklah! Hari ini dia mengajakku jalan-jalan keluar.

Oke, aku tidak memiliki keyakinan cukup tinggi untuk menyebutnya sebagai kencan, tapi sebut saja sifat alami wanita, aku membawa baju ganti yang cukup bisa dikategorikan cantik hari ini.

Juni 2009
Bioskop ini telah kokoh berdiri lagi. Semenjak dua bulan lalu, entah bom keparat dari mana datangnya meledakkan bangunan berlantai 7 ini. Aku tahu aku tidak boleh mengutuk sesama, tapi sepertinya itu cukup pantas untuk mereka─yang hobi menyalakan sumbu peledak.

Tapi ya sudahlah, yang penting bioskop ini kembali beroperasi. Pekerja yang dulu, tetap mendapatkan pekerjaannya. Dan aku? Siap dengan mesin popcorn ku.

Tidak. Aku tidak mengoperasikannya. Hanya berdiri di sebelahnya. Mengamati sekeliling. Siapa tahu aku bertemu Evan lagi. Atau mungkin bertemu kalian, pengunjung bioskop baru dan jika kalian melewati mesin popcorn, jangan terlalu cuek. Terkadang aku ingin disapa.

Aku─sosok tak kasat mata akan senang hati menampakkan diri.


read more “Popcorn.”

Monday, September 20, 2010

Sang Pencerah: Nurani Yang Terketuk.


Tidak berlebihan jika saya menyebut film ini sebagai pemilik harmonisasi unsur-unsur sinema yang baik dari karya asli putra-putri Indonesia.

Film bertemakan sejarah budaya dengan setting kolosal yang apik, nyaris membuat saya menikmati setiap alur yang disajikan. Tidak ada penggambaran yang berlebihan, Hanung Bramantyo benar-benar jeli meletakkan dan memilih setiap aktor/aktris, detil setting dan backsound untuk ditampilkan dalam film.

Pilihan tutur kata dalam dialognya juga kuat. "Kiasan yang sederhana"─kira-kira seperti itu saya lebih suka menyebutkannya. Karena pada beberapa dialognya, kita─sebagai penonton memiliki ruang leluasa untuk mengambil kesimpulan tentang maknanya. Tidak ada sesuatu yang menggurui, tapi percayalah mereka berhasil menyentil apa yang disebut keyakinan diri pada Agama.

Namun demikian, film ini─jika saya boleh menambahkan, bukan film Islam. Film ini mampu melintasi berbagai keyakinan. Oke, walaupun tidak dapat ditampik, karena secara gamblang dapat dilihat bahwa kemasan film ini bernamakan "Islam", tapi saya lebih suka melihat jauh di luar─sekedar─kelahiran Muhammadiyah. Tapi lebih kepada perihal kita─sebagai makhluk duogami; yaitu sebagai umat Tuhan dan teman sesama, yang kemudian menyangkut bagaimana kita bisa menempatkan dua fungsi tersebut secara seimbang. Saya yakin, setiap keyakinan manapun memiliki maksud yang sama untuk hal ini, bukan?

Lalu, katakan saja ini bagian favorit saya dari film ini. Seperti sifat alami manusia pada umumnya, kita mungkin makhluk paling cerdas di muka bumi ini dengan disisipi keahlian khusus berupa kepemilikan atas segudang judgement untuk orang lain. Judgement tadi tentunya semakin membuat kita buta. Lalai melihat ke dalam dan menilai diri sendiri secara obyektif.

"padahal manusia berhak salah. Dan manusia berhak berusaha menjadi benar"

...dan maafkan saya, jika kali ini harus membagi sedikit kata-kata yang mungkin akan semakin memperjelas kemana muara film ini menuju. Tapi tolonglah sependapat, siapa yang kemudian tidak menyetujui hal ini:

"Orang untuk tergelincir (dalam memiliki keyakinan) itu gampang, dia yang hanya memakai akal saja atau yang hanya memakai hati saja"

Lalu yang ini:
"memiliki prinsip itu baik. Tapi menjadi fanatik itu adalah ciri-ciri orang bodoh"

Tidak usah paksa saya membeberkan beberapa peristiwa di Negeri kita akhir-akhir ini tentang suatu penyakit bernama "fanatik" dan akibatnya bagi manusia lain─yang terpaksa menerimanya hanya karena mereka mungkin berbeda dalam cara memanjatkan do'a padaNYA.

Kemudian sebagai penutup review ngawur saya ini, saya punya keyakinan yang sama dengan istri Haji Ahmad Dahlan─setidaknya kelak, di saat saya bertemu dengannya─orang yang tulang rusuknya saya curi sebilah, saya berharap kalimat ini yang akan keluar "saya tidak melakukan Istikharah seperti yang dipesankan Bapak. Tapi saya memiliki hajat. Bermunajat kepada Allah bahwa saya yakin terhadap calon suami saya ini"

Saya tahu, itu hadiah terbaik yang pernah diterima oleh calon suami.

Sekali lagi, tolonglah sependapat dengan saya :)







P.S: satu-satunya kekurangan dari film ini yang saya ketahui, hanyalah saya tidak diberikan kesempatan untuk ikut Casting. Sekian.
read more “Sang Pencerah: Nurani Yang Terketuk.”

Saturday, September 18, 2010

Pandora


Simpan kotak ini. Bukalah ketika hidup tak lagi memberikan jawaban” Kata-kata itu yang sempat ditangkap oleh seorang Ibu. Kata-kata yang terdengar samar dari lelaki berjubah hitam.

Arah kedatangannya tak terjamah. Arah kepulangannya pun tak berbekas.

Entah ada maksud apa dari kejadian sore ini. Sang Ibu nyaris tidak menaruh rasa penasaran lagi ketika senja dipecahkan oleh tangis 3 balitanya yang menuntut untuk segera diberi makanan.

Miris.

Hanya gendongan hangat yang mampu diberikan.

*

Gadis itu mungkin berusia 17 tahun. Menangis keras di pinggir sebuah jembatan penyebrangan. Tangan kanannya menggenggam hasil test-pack. Tanda positif diperlihatkan di sana. Tidak hanya dijustifikasi oleh 1 alat, 5 test-pack dari yang paling murah hingga termahal pun menunjukkan hasil yang sama.

Ya. Dia hamil. Hamil sebelum pernikahan.

Simpan kotak ini. Bukalah ketika hidup tak lagi memberikan jawaban” tiba-tiba seorang lelaki berjubah hitam mengalihkannya dari menangis.

Otaknya berputar lambat kala itu, tak ada satupun kata yang mampu terucap. Hingga si jubah hitam tak tertangkap pandangan lagi.

*

Kasus korupsi tidak hanya menyeret mantan pejabat terkenal ke dalam hukuman hotel prodeo. Harta, terkuras habis. Keluarga, melenggang pergi dengan menanggung malu. Dan tubuh? Harus menukarkan sebagian kesadarannya dengan penyakit stroke dan depresi berat.

Ruang 101 adalah rumahnya sekarang. Ruangan bercat putih. Bersprei putih. Tanpa televisi atau AC. Hanya 1 meja dan 1 kursi pelengkap furnitur.

“Mari Pak, bangun dulu. Waktunya minum obat” kata Suster Perawat.

“S-s-saya sudah b-bosan m-mi-minum obat, Sus” jawab si Mantan Pejabat terbata-bata.

“Jangan begitu, Pak. Ini demi kebaikan Bapak juga. Oya, Bapak pasti senang hari ini, karena ada yang mengirimkan hadiah untuk Bapak”

“Sebuah kotak dengan tulisan: “bukalah ketika hidup tak lagi memberikan jawaban” lanjut si suster kemudian.

*

“Ditemukan 3 orang dalam keadaan meninggal. Alasan kematiaannya masih diselidiki hingga saat ini. Yang jelas mereka memiliki waktu kematian yang nyaris mirip satu sama lain.”

“Apa tidak ada tanda lain di tempat kejadian perkara, Pak?” cecar wartawan TV Swasta itu.

“Tidak. Tidak ada. Kecuali sebuah kotak hitam yang terbuka dan bertulis Pandora yang ditemukan di samping tubuh mereka”.



Lelaki jubah hitam mematikan TV. Beranjak pergi sambil membawa serta kotak hitam lainnya.






P.S: Cerita ini saya (iseng) ikut sertakan dalam Ubud Writers Festival. Monggo mampir ke sini, jika suka silahkan di-vote :)
read more “Pandora”