Showing posts with label Tuhan. Show all posts
Showing posts with label Tuhan. Show all posts

Friday, February 18, 2011

Hei Putri, Kau Bahagia?

"Dia sudah menulis berbagai impiannya dalam hidup, Mbak. Mulai dari kursus bahasa, target kerja, kuliah hingga cita-citanya untuk menikah di umur 25 tahun. Kadang saya sering bilang "kok kamu ngoyo banget tho, Nduk? Bercita-cita dan berusaha boleh tapi jangan terlalu. Sisakan juga untuk menyenangkan diri sendiri" Ibu itu mengambil jeda sejenak sambil melanjutkan lagi pembicaraannya. Kali ini bukan cerita tentang putrinya, tapi beliau bertanya pada saya.

"Mbak, umurnya berapa? Mirip sekali dengan putri saya"

"Oh.. saya kelahiran 86, Bu. Jadi, sekarang masih 24 tahun" jawab saya.

"Ah..persis sekali seperti putri saya. Dia juga 24 tahun sekarang. Dia suka sekali ilmu kimia, Mbak. Makanya waktu kuliah kemarin, dia mengambil jurusan Kimia Analis"

"Ini kebetulannya banyak sekali ya, Bu. Saya.. uhm.. mungkin bisa dibilang kelainan. Terkadang perfeksionis tentang perencanaan. Sama seperti putri Ibu. Saya juga sangat menggilai Kimia. dulu kuliah juga ambil jurusan Kimia. Alhamdulillah.. sekarang pun punya pekerjaan yang hampir sesuai keinginan, tidak begitu jauh dari ilmu Kimia"

"Hahaha... iya, saya tahu persis bagaimana rasanya Mbak. Waktu putri saya dulu diterima menjadi Kimia Analis juga, rasanya membahagiakan sekali. Idealismenya menjadi kenyataan. Semangat dan kerja kerasnya selama ini membuahkan hasil yang manis"

"Putri Ibu masih bekerja sebagai analis sekarang? Dimana? Sepertinya kapan-kapan kalau saya bisa bertemu dan ngobrol dengannya sepertinya akan seru sekali!"

"Putri saya sudah nggak ada, Mbak. Kecelakaan motor satu setengah tahun lalu, mengambil dia dari saya. Padahal impiannya masih banyak. Cita-citanya belum tercapai. Kursus bahasa, kuliah lagi dan pergi ke luar negeri. Kamarnya hingga sekarang masih sama sejak terakhir dia tinggalkan. Jejak-jejak semangatnya, gigihnya bekerja hingga larut malam. Saya masih benar-benar mengingatnya. Tapi... memang hidup tidak bisa ditebak kan, Mbak?"

Saya diam.
Hai, kamu yang di atas sana. Tidak keberatan kan kalau aku panggil Putri?
Apa kabar di sana? Semoga kamu selalu bahagia.
Err... ralat!
Aku yakin kamu pasti selalu bahagia, karena Tuhan begitu dekat denganmu kan?
Ngomong-ngomong, kau punya Ibu yang hebat.
Dan sama seperti sebelumnya, kali ini aku yakin, jika semua untaian do'anya terkirim padamu.
Tetaplah bahagia di sana. Jangan pikirkan mimpimu yang belum tercapai.
karena Tuhan begitu sayang dirimu.

read more “Hei Putri, Kau Bahagia?”

Sunday, January 16, 2011

Bertemu Tabib.

 Empat tahun yang lalu, bukan di pantai yang eksotik, bukan di ujung senja, bukan juga di bawah dekapan hangat hujan deras, kita—aku dan kamu—pertama kalinya bersua wajah.
Sebuah kota kecil yang asri, yang masih dikelilingi banyak sawah hijau dan pohon-pohon kapas yang menjulang tinggi menjadi saksi awal kisah kita.
Pada saat itu kau menyapaku dengan hangat, sangat hangat malah.
Seolah-olah kau sudah mengenaliku lebih dulu, sudah mengumpulkan banyak informasi tentangku, sudah hafal gerak-gerikku, bahkan seperti sudah mengerti isi kepalaku, padahal kita baru saja bertemu.

Aku, baru benar-benar ketemu kamu.

Tapi, ya begitulah kamu. Terlalu berpengalaman dalam hal bagaimana membina hubungan pertemanan. Hingga tak heran jika selanjutnya kita menjadi sahabat karib.
Teman seiring sejalan.

Kau pun royal memberiku hadiah. Dari kupu-kupu, bunga mawar, injeksi adrenalin gratis, hingga kekuatan tambahan untuk otot-otot pipi supaya tidak pegal ketika harus terus-menerus tersenyum sepanjang hari.
Kau juga terkadang sangat iseng. Menghadiahiku pelangi.
Jika sudah begitu, aku pasti akan marah-marah.
“Aku suka pelangi. Sungguh suka. tapi kalau Tuhan marah bagaimana? Salah satu keindahanNya kan sedang dicuri olehmu”
“Kalau manusia lain juga iri bagaimana? Apa aku harus membagi-baginya?” Kataku kemudian.
“Tenang saja.. itu hadiah dari Tuhan kok” jawabmu santai sambil tak lupa tersenyum simpul.

Jawaban ini pula yang aku dapatkan ketika suatu waktu aku pernah bertanya dari mana asalmu.
Jujur, kau begitu misterius. Sangat misterius.
Kau begitu mengerti aku, kau begitu memahamiku. Sedangkan aku? Sama sekali tidak mengenalmu.
Setiap kali aku bertanya, kau pasti akan selalu menjawab “Dari Tuhan”.
Setiap kali aku berkeluh kesah dalam memahamimu, kau pun akan selalu bilang “Tanyalah pada Tuhan”
Setiap kali pertanyaan lain muncul, kau tetap menjawab “Coba cari tahu sendiri. Itu pekerjaan rumah dari Tuhan”

Sampai akhirnya, kita diuji.
Lebih tepatnya, aku yang diuji.
Dua tahun di umur pertemanan kita, aku meledak.
Aku marah besar.
Aku sedang dalam kesulitan, dan kau yang selama ini mengaku sebagai sahabatku cuma bisa diam dan melihat saja.
Tidak ada lagi komunikasi berarti.
Karena semua perkataanku akan mendapat reaksi yang sama darimu.
Kau seperti robot yang hanya terprogram untuk bisa bilang “Itu dari Tuhan”.

Aku-pada-saat-itu-benci-sekali-padamu.

Hingga kemudian aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan pertemanan ini.
Kau berpetualang sendiri.
Dan aku hidup sendiri dengan…. penyakit.
Ya!
Entah kenapa semenjak kita berpisah, penyakit itu datang.
Aku didera penyakit ganas.
Namanya Nosophobia*.
Entah kau mencampurkan virus apa selama ini dalam setiap hadiah yang kau beri, sampai-sampai aku semenderita ini.
Aku selalu ketakutan. Aku selalu marah. Aku selalu merasa benci. Aku selalu ingin berontak.
Aku lupa kata damai. Sungguh lupa.

Dan anehnya, ketika aku semakin tak mempercayaimu, semakin aku membencimu, maka semakin menyebar pula penyakit itu. Tak ubahnya seperti tumor yang bermetastatis ke seluruh tubuh.
Dan sungguh tidak mudah mengobati penyakit ini.
Segala hal ku lakukan. Segala hal. Sampai-sampai aku tidak sanggup menghitungnya lagi.
Segala hal, tanpa mencoba memasukkan nama tabib terhebat di muka bumi ini yang selalu kau sebut dulu.
Ya. Kau tahu kan? Aku benci dan tidak percaya lagi padamu, lalu kenapa aku harus percaya perkataanmu dulu? Aku gengsi!
Tapi karena entah kenapa nama itu terus bergema di telinga, akhirnya ku langkahkan kaki ke sana. Ku tundukkan wajah ke hadapannya.
Berusaha berkunjung kepadanya.
Dan kau benar. Kau sungguh benar. Dia sungguh tabib yang hebat.
Iya. Tuhan, tabib terhebat yang pernah ada.

Dia menyembuhkan setiap luka dengan perlahan.
Penuh kasih. Penuh sayang.
Dia tak memarahiku yang pada saat itu datang terlambat.
Dia masih tersenyum padaku.
Dia hangat merengkuhku.
Bahkan Dia membuat kita rujuk kembali.
Ya, Aku mungkin terlalu terlambat menyadarinya, tapi kau memang sahabat yang baik.

Kau, yang bernama Cinta adalah sahabat yang baik.

Aku baru menyadari bahwa luka dalam bercinta bukanlah karena ulahmu.
Tapi karena manusia bengis yang suka melakukan sesuatu yang keji dengan meminjam namamu.
Membuat manusia yang awam tentang cinta seperti ku ini langsung membabi buta menyerangmu.

Ah Cinta, maafkan aku.

Kelak jika ada lagi ketidakbahagiaan dalam cinta, mungkin akan ku anggap itu bonus.
Untuk lebih bermurah hati dan melatih memaafkan.
Untuk lebih mencintai kebahagiaan dan mensyukuri setiap senyuman yang tercipta.
Untuk lebih menghargai lagi setiap tetes air mata.
Untuk lebih berterimakasih akan anugerahNya.
Iya, kau yang bersematkan nama Cinta.

Aku,
Dewi Srikandi.



PS: Bisa kau katakan kepada Arjuna jika kali ini aku sedang tidak menulis tentangnya. Katakan saja, aku memimpikannya semalam.
PPS: Oh ya Cinta, terimakasih kau datang lagi kali ini. :)




*Nosophobia = istilah dramatis yang berarti ketakutan yang irrasional terhadap suatu penyakit, misal: jatuh cinta atau patah hati lagi. Istilah ini diambil dari buku Doctors-Erich Seagal
read more “Bertemu Tabib.”

Monday, September 20, 2010

Sang Pencerah: Nurani Yang Terketuk.


Tidak berlebihan jika saya menyebut film ini sebagai pemilik harmonisasi unsur-unsur sinema yang baik dari karya asli putra-putri Indonesia.

Film bertemakan sejarah budaya dengan setting kolosal yang apik, nyaris membuat saya menikmati setiap alur yang disajikan. Tidak ada penggambaran yang berlebihan, Hanung Bramantyo benar-benar jeli meletakkan dan memilih setiap aktor/aktris, detil setting dan backsound untuk ditampilkan dalam film.

Pilihan tutur kata dalam dialognya juga kuat. "Kiasan yang sederhana"─kira-kira seperti itu saya lebih suka menyebutkannya. Karena pada beberapa dialognya, kita─sebagai penonton memiliki ruang leluasa untuk mengambil kesimpulan tentang maknanya. Tidak ada sesuatu yang menggurui, tapi percayalah mereka berhasil menyentil apa yang disebut keyakinan diri pada Agama.

Namun demikian, film ini─jika saya boleh menambahkan, bukan film Islam. Film ini mampu melintasi berbagai keyakinan. Oke, walaupun tidak dapat ditampik, karena secara gamblang dapat dilihat bahwa kemasan film ini bernamakan "Islam", tapi saya lebih suka melihat jauh di luar─sekedar─kelahiran Muhammadiyah. Tapi lebih kepada perihal kita─sebagai makhluk duogami; yaitu sebagai umat Tuhan dan teman sesama, yang kemudian menyangkut bagaimana kita bisa menempatkan dua fungsi tersebut secara seimbang. Saya yakin, setiap keyakinan manapun memiliki maksud yang sama untuk hal ini, bukan?

Lalu, katakan saja ini bagian favorit saya dari film ini. Seperti sifat alami manusia pada umumnya, kita mungkin makhluk paling cerdas di muka bumi ini dengan disisipi keahlian khusus berupa kepemilikan atas segudang judgement untuk orang lain. Judgement tadi tentunya semakin membuat kita buta. Lalai melihat ke dalam dan menilai diri sendiri secara obyektif.

"padahal manusia berhak salah. Dan manusia berhak berusaha menjadi benar"

...dan maafkan saya, jika kali ini harus membagi sedikit kata-kata yang mungkin akan semakin memperjelas kemana muara film ini menuju. Tapi tolonglah sependapat, siapa yang kemudian tidak menyetujui hal ini:

"Orang untuk tergelincir (dalam memiliki keyakinan) itu gampang, dia yang hanya memakai akal saja atau yang hanya memakai hati saja"

Lalu yang ini:
"memiliki prinsip itu baik. Tapi menjadi fanatik itu adalah ciri-ciri orang bodoh"

Tidak usah paksa saya membeberkan beberapa peristiwa di Negeri kita akhir-akhir ini tentang suatu penyakit bernama "fanatik" dan akibatnya bagi manusia lain─yang terpaksa menerimanya hanya karena mereka mungkin berbeda dalam cara memanjatkan do'a padaNYA.

Kemudian sebagai penutup review ngawur saya ini, saya punya keyakinan yang sama dengan istri Haji Ahmad Dahlan─setidaknya kelak, di saat saya bertemu dengannya─orang yang tulang rusuknya saya curi sebilah, saya berharap kalimat ini yang akan keluar "saya tidak melakukan Istikharah seperti yang dipesankan Bapak. Tapi saya memiliki hajat. Bermunajat kepada Allah bahwa saya yakin terhadap calon suami saya ini"

Saya tahu, itu hadiah terbaik yang pernah diterima oleh calon suami.

Sekali lagi, tolonglah sependapat dengan saya :)







P.S: satu-satunya kekurangan dari film ini yang saya ketahui, hanyalah saya tidak diberikan kesempatan untuk ikut Casting. Sekian.
read more “Sang Pencerah: Nurani Yang Terketuk.”

Monday, March 1, 2010

suaraMU.


Subhanallah, begitu banyak tanda - tanda kebesaran-nya di alam semesta ini.

Adzan telah dikumandangkan dari beribu surau dan masjid

Dunia memiliki perbedaan waktu antara satu wilayah dengan wilayah lain.

Sebelum Adzan subuh sempat berkumandang di wilayah terbarat benua Afrika,

Adzan Dhuhur pun siap berkumandang menjelajah belahan dunia lainnya.

Sementara kumandang Adzan Dhuhur belum sempat terdengar kembali di bagian timur Indonesia,

Adzan Ashar telah siap menjelajah belahan dunia lainnya.


Saat gema Adzan Ashar belum selesai,

Adzan maghrib telah merambah Bumi ini.

Selang beberapa saat Adzan Isya’ pun siap melanjutkan.

Ketika gema Adzan Isya’ belum selesai di benua Amerika,

Adzan Subuh sudah kembali terdengar di sebagian wilayah Indonesia.

Seiring bergantinya siang dan malam ternyata Adzan akan selalu berkumandang di bumi ini.

Tanpa kita sadari, para muadzin di seluruh penjuru dunia ini,


tak henti - hentinya bersahutan mengumandangkan adzan.

Insya Allah gema Adzan akan terus mengawal dunia berputar hingga akhir zaman.





P.S: Kata-kata di atas merupakan renungan Adzan Maghrib di Metro TV.
read more “suaraMU.”

Tuesday, February 9, 2010

3 Words.




Idealism. Passion. Dedication.

tiga kata itu terus-menerus berlarian dalam pikiran saya beberapa hari terakhir. kata-kata yang terkadang saya bisa memeluknya dengan optimisme yang tinggi. namun terkadang menghilang tanpa jejak bagai anak itik yang kehilangan induknya. linglung. pasrah. bagai pecundang.


di antara ketiga kata di atas yang memiliki makna kekuatan luar biasa. ada pula kata-kata "let it flow" yang juga tak kalah bahayanya.

kata-kata ini yang terkadang membuat saya selalu merasa baik-baik saja untuk berada di zona aman. zona yang didalamnya terdapat unsur magis, yang seolah menyatakan bahwa kita diperbolehkan untuk menyerahkan langkah hidup hanya bergantung pada takdir. "semua sudah ada yang mengatur" "kalau rejeki nggak akan kemana" dan segudang kalimat-kalimat serupa yang intinya adalah "excuse untuk tidak berjuang".


dan jika sudah begini, saya benar-benar merasa menjadi orang yang linglung. pasrah. bagai pecundang.


kemana perginya peta hidup yang saya agung-agungkan?

kemana perginya impian?


kemana perginya cita-cita?

saya rasa hanya terejawantahkan sebagai mimpi di siang hari.


padahal sesungguhnya saya sadar sepenuhnya, bahwa waktu sama sekali tidak pernah berhenti. perkembangan ilmu sama sekali tidak akan menanti. bahkan kesempatan pun (mungkin) akan enggan datang 2 kali.


ya, hal-hal inilah yang kemudian terus saya dengungkan. berharap dapat menjadi cambukan ampuh untuk selalu menggenggam kata-kata "Idealism. Passion. Dedication" dengan penuh semangat perjuangan.

Idealism untuk mengerahkan seluruh kemampuan sesuai tupoksi amanah yang ada.

Passion untuk selalu memiliki konsisten otak agar terus haus akan ilmu.

Dedication untuk sesuatu yang dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya.

dan tolong jangan bantah apapun tentang mimpi yang besar ini. jangan pula bangunkan saya dari mimpi yang besar ini. karena dengan begitu saya akan merasa sia-sia karena pernah diberikan berbagai macam karunia olehNYA.


hmm... bagaimana kalau begini saja; mari kita sama-sama saling mengingatkan? sama-sama saling menguatkan? sama-sama memberikan masukan positif?


sungguh. sepertinya itu sesuatu yang luar biasa.


jadi, tetaplah hidup dengan "sesuatu yang terus ingin diperjuangkan". dan biarkan hidup menjadi benar-benar hidup.


jatuh dan bangun adalah hal yang wajar untuk suatu mimpi. yang terpenting bukannya setelah jatuh adalah bisa bangun lagi?





P.S: Jangan lupa jaga kesehatan, karena itu juga modal ampuh untuk berjuang ^^
read more “3 Words.”

Thursday, February 4, 2010

Suami dan Istri.


Pernikahan akan menyingkap tabir rahasia , bahwa istri yang kau nikahi tidak seindah yang kau impikan , istrimu bukanlah semulia Khadijah , setaqwa Aisyah , setabah Fatimah , secantik Zulaikha . Tetapi istrimu, istri akhir zaman yang akan melahirkan anak yang sholeh dari rahimnya .


Pernikahan akan menginsyafkan kita akan perlunya iman dan taqwa , karena memiliki suami tak searif Abubakar , seberani Umar bin Khottob , sekaya Usman bin Affan , segagah Ali bin Abi Thalib. Suamimu adalah suami akhir zaman yang insyaAllah akan membimbingmu menempuh jalan yang diridhoi Allah.




P.S:
(again) I found a great-texts to be shared :)
read more “Suami dan Istri.”

Thursday, November 12, 2009

Sang Maha


"Saya dan David bertemu ketika dia bermain dalam sandiwara yang berdasarkan cerita pendek yang saya tulis. Perkenalan selanjutnya, membuat saya akhirnya begitu tergantung padanya.

Ketergantungan yang luar biasa merupakan gejala dari orang yang sedang dimabuk cinta. Semua bermula ketika objek yang kita puja memberikan kepada kita sesuatu yang tidak pernah berani kita akui bahwa kita menginginkannya - yang membuat kepala pusing, dan menimbulkan halusinasi - mungkin suatu gejolak emosi, cinta yang membara dan kegembiraan yang menjengkelkan. Tidak lama kita akan mengidam-idamkan perhatian yang intens itu, dengan kehausan pecandu narkotika yang untuk memiliki.

Jika candu itu tidak diberikan, kita mungkin akan menjadi sakit, gila dan menjadi lemah. Langkah selanjutnya kita akan menjadi kurus dan berdiri dengan gemetar di suatu sudut, yang ada dalam pikiran hanyalah kita mau menjual diri kita atau merampok tetangga kita untuk mendapatkan barang tersebut sekali lagi."
-Liz, Eat Pray Love-


Sama seperti Liz dan David, saya dan Tom kurang lebih pernah mengalami hal yang sama. Oke, katakan saja, saya lah yang lebih pantas disebut kecanduan dibanding Tom. kecanduan akan perhatian yang belum-pernah-saya-dapatkan dari seorang makhluk bernama Adam. kecanduan akan rasa yang tidak pernah habis ditawarkan. kecanduan akan dilingkupi rasa bahagia selayaknya putri dalam dongeng ber-genre fairy tale.

ya. rasa yang mungkin sebelumnya tidak pernah terbayang. dan begitu sekalinya mengetahui kebahagiaan di dalam sana, jadilah candu untuk saya.

Sama halnya ketika Tom harus meninggalkan saya. meninggalkan semua candu yang begitu intens dia berikan. pernahkah saya membayangkannya? tentu tidak. bahkan terlintas sedikitpun tidak pernah. yang saya sadari adalah tiba-tiba saja saya sudah diantarkan pada jalan yang berbeda dengan Tom, jalan yang tidak nyaman untuk dilewati karena rasa kelelahan akibat perseteruan yang alot selalu menemani.

Saya limbung. Saya jatuh. Saya merasa terguncang.

namun pada saat yang bersamaan pula, saya belajar banyak. belajar bangun lebih tepatnya.

peristiwa ini mengantarkan saya pada pertanyaan dasar yang sering sekali saya lupakan. "sebenarnya dalam hidup ini saya butuh siapa?"

kasih sayang Tom? cinta tulus orang tua? atau perhatian dari para sahabat terkasih?

jika hanya butuh kasih sayang seorang seperti Tom, orang tua atau sahabat, lantas mengapa Liz (dalam Eat Pray Love, red) tetap merasa gamang ketika hampir semua elemen kebahagiaan berada dalam genggamannya? elemen yang hampir diidamkan semua orang? materi cukup, suami yang setia, karir yang melejit dan kehidupan sosial yang semarak. tapi ternyata tidak bisa dipungkiri, Liz tetap merasa ada ruang kosong dalam hatinya yang tidak bisa diisi oleh elemen-elemen tadi.

dengan demikian, jawaban dari pertanyaan tadi bukan dalam elemen-elemen tersebut, kan?

ya. dan begitulah fitrah dari seorang manusia, dengan natural dia akan mencari pegangan hidup lainnya yang jauh memberikan ketenangan dan kenyamanan yang hakiki.

Jika ditinjau dari insan yang beragama, tentu sudah selayaknya bahwa jawaban dari pertanyaan siapa-yang-paling-pantas-kita-butuhkan dalam hidup adalah Dia.

Dia, yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Dia, yang berkuasa atas segalanya. Dia, yang tidak pernah mampu digambarkan. Dia, yang akan tampak nyata ketika diyakini. dan Dia yang kita sebut dengan nama Tuhan.

tapi terkadang, kita lupa melibatkan Tuhan dalam hidup. terkadang kita hanya lebih fokus pada pelaksanaan kewajiban. kita juga lebih fokus pada saya-ingin-surga dan saya-takut-neraka. dibanding makna pelaksanaan dari kewajiban itu.

hal ini juga berlaku pada saya. keberanian untuk bertanya pada diri sendiri "sesungguhnya sejauh apa saya melibatkan Tuhan dalam hidup? sejauh apa Tuhan mendarah daging dalam diri hembusan nafas saya?"

kenapa lantas saya harus limbung ketika seorang Tom meninggalkan saya?

bukannya saya harus jauh lebih limbung ketika Tuhan yang meninggalkan saya? Iya kan? seharusnya begitu kan?

saya benar-benar masih teringat jelas, ketika begitu banyak rasa sakit di hati yang kemudian terefleksikan sebagai uraian air mata kesedihan. saya berbicara padaNYA dalam bahasa yang-entah-lebih-mirip-percakapan, saya ungkapkan semua tanpa tersisa, semua marah, kecewa, kesal, ketidakberdayaan dan "ketersesatan" yang saya rasakan, hingga saya (kalau boleh dikatakan) merasakan hal yang luar biasa.

yup! saya merasa, sakit di hati disembuhkan. tangis saya dihentikan. saya jauh lebih bahagia dan tenang. Momen ini pula yang lantas menjadi langkah awal saya untuk mengenal Tuhan (lagi) dengan lebih intens dan dekat. untuk kemudian berharap, bahwa saya selalu dilingkupi oleh ketenangan seperti ini. ketenangan yang tidak kosong. ketenangan yang benar.

maka dari itu, jika saya harus bertemu dengan seseorang seperti Tom ataupun yang berbeda dari Tom sekalipun, saya hanya ingin bertemu karena saya mencintaiNYA. bukan lagi atas dasar rasa yang dangkal. Pun demikian halnya untuk cinta yang lain, kecintaan pada harta benda, orang tua ataupun sahabat, semoga mampu mengantarkan saya kepada cintaNYA. hingga hati ini senantiasa penuh dengan rasa tenang yang hakiki. tidak semu. dan selalu terjaga.

selalu terjaga untuk tetap ingin mengenal dan melibatkanNYA dalam setiap sendi kehidupan. (dan saya yakin bagian ini tidak pernah mudah).
read more “Sang Maha”

Friday, September 25, 2009

Hadiah Lebaran Tuhan


Bulan itu telah meninggalkanku. Meninggalkanmu. Meninggalkan kita semua.

Baru kemarin rasanya begitu banyak ritual pagi dan malam hari yang dilakukan untuk bermunajat kepadaNYA. ritual yang jika benar dilakukan maka kedekatannya padaNYA seperti hanya sejengkal saja. dan tentunya untuk berjalan ke arah sana, tidak akan pernah mudah sama sekali. Ya. Kemenangan di bulan itu sesungguhnya susah diraih.

Terlempar akan ingatanku tentang coletahan sepupu kecil yang menginginkan hadiah tertentu jika puasanya penuh selama bulan ramadhan kali ini. Ya. Tradisi lama untuk memberikan iming-iming kepada buah hati agar tertarik untuk belajar berpuasa. Baju baru lah. Sepeda baru lah. Jalan-jalan ke tempat eyang. Ahh..sepertinya sepupu kecilku itu punya banyak permintaan sebagai hadiahnya. Namun tak apa, membahagiakannya atas prestasi yang dicapainya kali ini, dapat diberikan batas toleransi yang sedikit lebih lebar dibanding biasanya.

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang mungkin secara finansial berada dalam kondisi kurang beruntung di luar sana. Apa yang mereka inginkan di penghujung bulan itu? Baju Baru? Kue Lebaran? Atau sesuatu yang kasat mata? Keberkahan sesungguhnya?

Sepertinya mereka bahkan tidak perlu meminta. Karena Tuhan telah menggariskan bahwa bulan itu adalah berkah untuk mereka. Beberapa kewajiban baik di bulan itu memang dikhususkan untuk mereka. Atas nama berbagi. Maka berharap bahagia akan dirasakan bersama. Yang memberi dan menerima.

Dan tahukah kalian? bulan itu memang selalu menyisakan cerita yang luar biasa. Entah kenapa sepertinya roda hidup berputar dalam jalur yang lebih harmonis. Ya. Atas nama sedang berpuasa maka kemarahan akan teredam, tangis akan tertunda, benci akan melamur, dan sakit akan terlebur. Karena jika tidak, maka esensi puasa hanya terbatas pada menahan lapar dan haus. dan sesungguhnya bukan sedangkal itu kan entitas berpuasa?

Dan baiklah. Mari bercerita tentangku sekarang.

Apa yang kemudian aku inginkan pada bulan yang luar biasa itu.

Aku ingin.. Hati Yang Baru.

Hati yang mampu melanjutkan hidup dengan kepala tegak. kaki yang tidak lagi pincang, dan luka yang sudah tertambal. Berharap tidak ada lagi umpatan kekecewaan tentang tuntutan atas janji-janjinya, marah atas ketidakadilan akan konsep cinta yang tulus atau perjuangan tanpa batas. Tidak! Tidak! Sudah cukup semuanya kemarin sayang... Aku ingin kembali berdiri tegak dan memenangkan atas perang melawan sesuatu yang paling aku sayangi. Lelah mu untuk menabuh genderang perang, sama lelahnya seperti aku mendengar suara gemuruhnya. Sudahlah sayang.. mari kita memulai semuanya dengan hati yang baru. Aku berjanji akan menepiskan segala benciku padamu. dan berjanji akan menarik sedikit demi sedikit segala tuntutan padamu, agar kau segera bebas dari cap sebagai makhluk Adam yang tak berhati yang suka menyakiti.

Dan apa kata Tuhan mendengar pintaku yang ini dan pintaku lainnya?

Hmm....maafkan kawan, aku tidak akan membaginya di sini ^^

Yang aku tahu, bersyukur padaNYA setiap detikpun tidak akan pernah cukup.


[Tuhan, terimakasih....]


******



-Untuk para kawanku, Selamat Idul Fitri 1430 H. Mohon Maaf Lahir Bathin. Semoga KeberkahanNYA akan selalu menemani mu setiap langkah-
read more “Hadiah Lebaran Tuhan”