Akhir pekan ini, saya ingin sedikit menjauhkan diri dari hiruk-pikuk ibukota. Bukan untuk "berlari" lagi, hanya sekedar ingin mengistirahatkan pikiran dari ruwetnya persaingan hidup di jakarta.
Jogja. Saya pilih sebagai tempat untuk berisitirahat sejenak. "Lumayan" pikir saya. Walaupun hanya hari sabtu dan minggu saja, tapi cukup untuk mendapatkan warna baru sebagai semangat sepekan mendatang. Entah kenapa ketika saya menapakkan kaki di Jogja, seolah-olah hidup berada pada fasa
slow motion. Tenang, kalem, tidak banyak gejolak dan selalu terasa
homy. Ya ya ya, belum ada kota lain yang sukses membuat saya jatuh cinta padanya seperti saya jatuh cinta pada Jogja.
Selain itu, kedatangan saya ke Jogja juga ingin mendapatkan jawaban atas segudang pertanyaan saya tentangnya. Pertanyaan yang terlanjur terrefleksikan sebagai amarah dan benci. Pertanyaan yang sudah terlanjur membuat banyak salah paham terjadi. Saya akui, bahwa saya selama ini terlalu diliputi oleh pikiran sendiri yang justru semakin mengantarkan pada pikiran bahwa Dia--orang yang saya cintai adalah orang yang hanya suka menyakiti. Tidak adil tentunya bagi dirinya jika saya terus-menerus memposisikan dirinya sebagai manusia salah. Maka dari itu, saya ingin menghentikan semuanya. semua sakit, dendam, marah dan benci yang ada. Dan begitulah, saya datang ke sana, bertemu dengannya, berbicara dengannya.
Saya tiba di bandara Adi Sutjipto sekitar jam 7 malam, setelah pesawat delay 40 menit. Tidak berharap banyak bahwa dia akan menjemput, karena sebelumnya dia berkata akan ada latihan futsal jam 7 malam. dan baginya, futsal adalah harga mati yang tidak bisa ditawar atau digantikan dengan kegiatan lain. Namun, ternyata dia menjemput saya. Saya sempat Ge-eR jika dia 'mengorbankan' latihan futsalnya demi menjemput saya, padahal ternyata futsalnya diundur jam 9 malam. Hahahaha! sepertinya karena cinta yang besar padanya sampai bisa berpikir seperti itu, padahal jika ditelisik lebih jauh, saya masih dalam kondisi yang begitu marah padanya lho.. Tapi entah kenapa saya bisa-bisanya berpikir seperti itu. Mudah sekali tersentuh dengan apa yang dia lakukan untuk saya.
Kalimat pertama saya ketika melihatnya kembali setelah 4 bulan berselang adalah "Kok kamu berantakan sekali? Is that you?"
ya. saya tidak bisa menyembunyikan keheranan ketika melihat dia yang dulu-begitu-rapi sekarang benar-benar berantakan. Rambutnya lebih panjang (walaupun tidak sampai melebihi tengkuk sih..), badan yang jauh lebih kurus, baju yang sepertinya nampak asal dia ambil dari lemari pakaian, dan wajah yang kuyu. Tidak ada semangat di sana. Sangat berbeda dengan 4 bulan yang lalu atau selama 2 tahun saya menemaninya. Walaupun tidak begitu bisa dikategorikan pria yang cakep luar biasa, tapi dia selalu tampil rapi. Rambut tidak pernah dibiarkan memanjang dengan berlebihan, kaos atau baju yang dikenakan pun tidak asal, jambang yang terkadang dibiarkan sedikit tumbuh di kedua pipinya memberikan kesan bahwa dia orang yang tegas. Tapi kali ini? dia jauh dari itu semua. Dua kata untuknya "kamu berantakan"
Obrolan kami kemudian berlanjut di sebuah resto
steak favourit kami. Ya. Obrolan yang dimulai dengan "Apa kabar?". Kalimat pembuka yang
wagu, seperti saya bertemu orang asing. padahal dulu kami begitu dekat. Berceritalah dia tentang kuliah S2 yang sedang dijalaninya. Kehidupannya sehari-hari. Sampai akhirnya pada "kami". Apa yang terjadi antara saya dan dia, apa yang membuat saya begitu terasa disakiti. dan mengapa dia begitu berubah.
"Ceritakan padaku. Ada apa denganmu Tom? kenapa kamu menjadi orang yang sama sekali aku tidak kenal? kenapa kamu begitu tega menkhianati janjimu sendiri? kenapa kamu bahkan tega mengkhianati pelajaran hidup yang pernah kamu berikan padaku dulu? Lihat dirimu sekarang. Apakah kamu masih memikirkan tentang makna hidup?" tanya saya seperti tidak sabar mendapatkan semua penjelasannya.
"Aku tidak tahu, mungkin benar katamu. Aku sudah lupa. Aku sudah lupa bahwa aku dulu adalah orang yang pernah punya pandangan hidup yang lebih tentang menjalani kehidupan yang berkualitas. Aku lupa bagaimana rasanya aku menggebu-gebu untuk berjuang dalam hidup. Aku lupa bahwa dulu aku pernah begitu dekat dengan keluargaku, sahabat-sahabatku, dan aku lupa bahwa aku dulu pernah mencintaimu dengan luar biasa. Yang aku tahu sekarang adalah aku sudah terjebak dalam kehidupan yang tak lagi berpikir tentang makna hidup. pun aku dikelilingi oleh orang serupa yang tidak terlalu mengambil pusing tentang kehidupan esok. bersama mereka aku merasa
fun, tidak lagi penting dan peduli mengenai kata orang. hanya ada aku."
"Apa kamu juga sudah lupa bahwa kamu punya Tuhan?" tanya saya dengan hati-hati.
"Ya" jawaban singkat darinya yang membuat saya pada saat itu langsung meneteskan air mata. Betapa saya terlempar akan kenangan setahun lalu, ketika dia menanyakan tentang Tuhan. Walaupun saya bukan orang yang sepenuhnya paham, tapi kami kemudian berdiskusi, belajar dan berproses bersama, sampai akhirnya Tuhan berkenan menyentuh hatinya dan kami bisa berdoa dengan menyebut nama Tuhan yang sama. Di atas semua kenangan saya tentangnya, di atas bagaimana dia mencintai saya, momen "pencarian Tuhan" lah yang paling menyentuh saya hingga kini. Namun kini, apa yang saya temui? dia kembali kehilangan Tuhan. Saya begitu merasa bersedih. Sampai saya tidak peduli lagi jika pada saat itu saya berada di tempat ramai. Dan saya yakin, beberapa pasang mata melihat ke arah kami.
"Sudah. cukup. berhentilah, Angela. apa yang kamu lakukan padaku selama 4 bulan ini sudah lebih dari cukup. Katakan saja, aku sekarang sedang terperosok dalam jurang. tidak hanya kamu tapi semua orang mencoba membantuku keluar dari jurang itu. Bahkan hingga akhirnya yang bertahan cuma dirimu dan sampai kamu pun ingin loncat ke dalam jurang itu untuk menarikku keluar. tapi entah kenapa itu malah menggangguku. karena aku merasa nyaman di jurang itu. Aku tahu betapa celakanya aku. Tapi aku tidak tahu bagaimana keluar dan aku tidak tahu kenapa aku merasa nyaman di sana."
Saya terdiam lama. Benar sudah dugaan saya selama ini. Mungkin inilah mengapa kemudian dia kemudian mengkhianati janjinya, menyakiti saya dengan kata-katanya, menyakiti saya dengan pelajaran hidup yang akhirnya dia pungkiri sendiri, atau menyakiti saya dengan bersama wanita lain. Mungkin memang inilah sebabnya.
"Aku sudah mengira sebelumnya. semua perubahan pada dirimu. dan semua usaha untuk membuatmu kembali. bukan semata-mata mencintaiku kembali. Tidak! tapi lebih dari itu. Apa lagi yang akan kamu lepaskan dalam hidupmu, Tom? semua hal yang berharga sudah hampir pergi meninggalkanmu. sahabat-sahabat terbaikmu, keluargamu, kuliahmu, kepercayaan dariku, bahkan kamu meninggalkan Tuhan. dan jika begini, memang bukan lagi ranahku. Aku akan berhenti. Saatnya aku untuk memikirkan tentang hidupku yang 4 bulan ini sering aku lupakan karena aku begitu konsen terhadap hidupmu. Sudah cukup apa yang aku lakukan. Sudah cukup energi yang aku berikan untuk berjuang melihatmu menjadi lebih baik dan diantara semua itu sudah cukup pula aku marah padamu. Aku berhenti, Tom."
"Ya. itulah yang memang harus kamu lakukan. berhentilah berjuang untukku. biarkan aku menemukan jalan kembali sendiri. biarkan aku mempelajari bagian hidup yang ini dengan caraku sendiri. sudah cukup banyak yang kamu lakukan untukku. sudah cukup banyak pula orang-orang yang mengingatkan aku jika mungkin suatu saat aku akan begitu menyesal dengan ini semua. tapi aku siap menerima resikonya. toh, aku yang akan menanggungnya. bukan kamu. bukan orang lain."
"Tapi itulah mungkin sedikit makna mencintaimu, Tom. aku mencintaimu bukan hanya sekedar perasaan antara wanita kepada pria. Aku mencintaimu bukan karena kelebihan yang melekat padamu. Aku mencintaimu tanpa batasan. Aku mencintaimu karena memang ingin mencintaimu. jika aku masih memiliki waktu untuk mendampingimu, akan aku dampingi Tom. dan biarkan kita berproses sekali lagi dalam hidup. karena bagaimanapun aku begitu ingin melihat orang yang aku cintai mendapat tempat yang paling baik di sisi-NYA. tapi pilihan mundur, mungkin memang yang terbaik sekarang."
"Aku tahu bagaimana kamu mencintaiku, Angela. Aku sadar bahwa mungkin suatu saat aku yang akan menyesal seumur hidup pernah melepaskan orang sepertimu. Tapi sayangnya, aku tidak tahu bagaimana cara kembali sekarang. Dan aku mohon kamu jangan salah sangka. wanita yang saat ini sedang bersama ku sekarang, bukan penggantimu. Tidak! mungkin aku hanya merasa
fun saja bersamanya."
Saya hanya tersenyum mendengarnya berkata seperti itu. tidak ingin lagi merasa percaya diri dengan perkataannya seperti itu. Yang ingin saya lakukan sekarang, hanyalah ingin berpasrah diri saja padaNYA--sang Sutradara Hidup. Saya hanya ingin punya Tuhan sekarang. Mengobati hati yang terlanjur terkoyak dan tetap memenuhi bibir ini dengan rasa syukur padaNYA. karena sekali lagi saya diberikan kesempatan menjalani episode kehidupan yang luar biasa, memahami (sedikit) arti mencintai yang tulus, pernah berbahagia dengan begitu luar biasa ketika merasa menemukan orang yang tepat, mengetahui salah dan benarnya dari cara saya mencintai, termasuk di sana adalah berproses bersamanya. Dan biarkan Tuhan yang kali ini bertindak apa yang terbaik untuk saya dan dia. Apakah saya akan tetap mempertahankan cinta ini? Atau kemudian langsung membumihanguskan? Apakah saya akan tetap punya harapan bersamanya? Apakah dia menjadi orang yang lebih baik lagi dan kemudian meminta saya kembali? Atau dia akan benar-benar terlepas selamanya? Tidak ada yang tahu. Biarkan Tuhan yang menentukan. Dan memang hanya DIA yang tahu apa yang terbaik untuk hambaNYA.
*****
[SMS delivered. 06.45 PM]
"hanya ingin kasih kabar, kalau aku sudah sampai di Jakarta. Alhamdulillah dengan selamat...
Selamat hidup yg bahagia. Selamat menjadi lebih baik lagi. Doakan aku jg ya, supaya bisa hidup bahagia, sabar, ikhlas, dan kuat."
[1 New Message Received. Tom. 6.50 PM]
"Alhamdulillah... semoga km jg bisa menemukan kebahagiaanmu. Maaf atas semuanya dan terimakasih untuk semua hal yang kamu lakukan buat aku. Sampai jumpa."
*****
[dan kini, biarkan aku mencintaimu dalam Do'a]