Thursday, December 30, 2010

Negeri Merah.


Apa rasanya melebur bersama 96.000 manusia berbalut busana merah? Apa rasanya ketika 96.000 manusia ini tiba-tiba diam bersamaan dan menyanyikan dengan lantang lagu Indonesia Raya secara serentak? Apa rasanya memiliki satu suara bersama 96.000 manusia yang terus-menerus mengucap satu kata: Indonesia?

Percayalah, itu surga kecil yang saya rasakan kemarin.

Duduk bersama manusia merah lainnya. Adrenalin terpicu seperti dua kali lipat dibandingkan sebelumnya. Riuh rendah terompet atau teriakan—yang bahkan kau, tidak bisa lagi mendengar suaramu sendiri. Gemetar hebat sewaktu tanpa dikomando, 96.000 manusia ini memiliki gerakan yang sama. Merinding saat seluruh 96.000 manusia ini mengerahkan semangatnya untuk Firman Utina ketika tidak mampu mengeksekusi kesempatan emas pinalti. Semua berteriak. Semua bersuara. Membuncah ke seluruh sudut stadion Gelora Bung Karno.

Ini gila kawan! Ternyata untuk malam ini persatuan mudah diciptakan. Ternyata kedamaian penuh sesak membanjiri Negara ini. Kau tidak lagi memandang The Jak, Bonek, atau sematan-sematan simbol lainnya. Kau tidak perlu lagi rusuh tolol untuk hal yang sesungguhnya kita sebut permainan: sepakbola.

Ini memang gila kawan! sungguh gila! Karena untuk pertama kalinya, saya—dan mungkin semua manusia merah, tidak lagi peduli masalah Piala. Tidak begitu peduli lagi masalah Juara. Semua sudah terbayar dengan kesungguhan perjuangan dari para punggawa Garuda dan semangat suportivitas pendukung. Semua tercipta sebagai satu bingkisan akhir tahun yang tak ternilai.

Sebut saja saya norak. Tapi mungkin inilah setitik oase. Penawar baik untuk semua rindu selama ini. Rindu pada prestasi, berita baik, martabat bangsa yang kuat, atau—sebut saja—kedamaian. Kita terlalu sering disuguhi drama politik busuk, penyelewengan harta Negara dan rakyat, profil-profil pejabat yang ketinggalan hati dan otaknya di rumah, atau teriakan-teriakan pertikaian antara kaum minoritas dan mayoritas. Tapi semalam, Garuda mengepakkan sayapnya ke seluruh antero negeri. Menggetarkan hati manusia merah yang masih memiliki nama Indonesia di dalamnya.

Terimakasih TIMNAS. Kesungguhan perjuangan Anda menggetarkan hati kami. Biarkan saja Malaysia membawa pulang Piala. Toh, kami sudah mendapat Piala yang lebih hebat. Nama Garuda sudah tertera dalam hati dan pastinya di sana ada nama kalian juga. Tetaplah bermain bola. Nikmatilah irama permainannya. Biarkan suara-suara rusak pejabat di organisasi bola kita terus bergaung, kadang-kadang mereka suka lupa tentang teori “Tidak ada yang abadi”, termasuk kesemena-menaan terhadap bangsa sendiri.

Kami menunggumu berlaga lagi. Biarkan suara kami saja yang mengalirkan energi baik untuk kalian. Oya, salam juga untuk manusia hebat yang sering kalian sebut—Opa Riedl. Kami yakin harapan untuk Garuda akan selalu ada ketika Opa Riedl masih bersama kalian.

Dan satu lagi, mau do’akan kami? kadang-kadang manusia merah seperti kami suka labil. Nasionalisme setengah-setengah. Nasionalisme kondisional. Do’akan saja semoga damai dalam nasionalisme bukan milik semalam saja. Saya masih ingin merasakannya esok, esok, dan esoknya lagi. Sampai kita semua tidak mampu lagi menghitung.





PS: Terimakasih untuk teman-teman yang ikut berjuang mengantri tiket, kalian baik sekali! Memberikan kesempatan bagi saya untuk menyeka air mata pertama kali di Stadion Gelora Bung Karno. :')

PPS: Photo Courtesy by Mamet Rockafella and Surya Pratama
read more “Negeri Merah.”

Wednesday, December 29, 2010

Cerita Kedua.

Saat itu, senja hampir menukik ke pelataran terakhir sebelum gelap gulita mengambil posisinya. Waktu kembali bermain api. Meletakkan dengan manis cerita lama dalam secarik percakapan rindu. Percakapan dua pecinta dari masa lalu dengan dua cangkir caffe latte.

"Jadi, ada apa denganmu dan kota ini?" sapa si Nona dalam kesibukannya meniupkan udara dingin ke kopi panasnya.
"Menurutmu?" jawab lawan bicaranya dengan tenang.
"Percayalah, Tuan.. Aku tidak serta merta demikian penasaran untuk menebak alasannya. Karena rasa penasaranku hampir habis tersita oleh penelitian gene expression regulator"
"Hahahaha. Kau sama sekali belum berubah! Sampai kapan kau akan terus mendekam di Laboratorium? Tak heran jika kulitmu pucat. Hampir dapat dipastikan kau jarang menengok matahari"
"Lalu, apa usulmu, Tuan?" tanya si Nona setengah sebal.
"Pergilah besok makan siang denganku. Jangan pernah menolak atau kau akan ku seret keluar dari Lab."
"Nah, sekarang ijinkan aku pamit lebih dulu." lanjutnya kemudian. "Jangan kembali bekerja, lingkar hitam di matamu sudah cukup menandakan bahwa kau butuh tempat tidur, bukan Laboratorium." sahutnya hangat sembari mengusap lembut kepala Nona.

Bagai double-helix DNA, percakapan di kedai kopi itu tak ubahnya sebagai prekursor —unsur pemantik perjumpaan lain yang saling bertautan. Tuan dan Nona rupanya begitu larut. Sepakat untuk mabuk bersama. Menengguk sisa-sisa jamuan cinta masa lalu. Jamuan cinta yang sama manisnya atau mungkin lebih manis. Entah mana yang lebih benar. Karena siapa lagi yang kelak peduli? jika sepenggal kisah terdahulu, datang lagi dan melengkapi?

Ya, Mereka bersepakat atas nama kesempatan kedua.

*
"Kenapa mobilnya berhenti, Tuan?" tanya Nona saat mobil yang mereka kendarai diberhentikan oleh lelaki di sampingnya.
"Entah. Sepertinya ada ban yang kempes" jawabnya setengah panik. "Aku bisa minta tolong? Selagi aku memeriksa bagian yang bermasalah, tolong ambilkan alat pendongkrak di bagasi ya"

Wanita itu menurut. Turun dari mobil tanpa banyak tanya dan berjalan ke belakang, tempat bagasi berada. Alih-alih setumpuk alat dongkrak, di sana ia hanya menemukan satu bouquet mawar merah yang cantik. Entah jumlahnya berapa, yang pasti lebih dari 20 tangkai.

"Mana dongkraknya? Kok malah diam?" kata Tuan setengah berteriak.
"Sejak kapan sekarang alat dongkrak diganti dengan bunga mawar?" sahut Nona dengan suara tak kalah kerasnya.
"Sejak jaman Hippocrates, sayang. Sejak beberapa eksperimennya menunjukkan perulangan yang sama. Bahwa ternyata hormon endorfin seorang wanita bisa didongkrak dengan cinta dalam persatuan beberapa kuntum bunga mawar merah" jelasnya ngawur.
"Boleh kita jalan lagi? Aku sudah lapar" tawar Nona, yang sekarang pipinya sudah merah padam.
"Happy Anniversary, Nona".

*
Musim semi berikutnya, bukan perjalanan mudah bagi Nona. Penelitiannya mengalami masa suram. Fakta-fakta yang dihasilkan membalikkan hipotesis dengan telak. Sementara penyebab utama kegagalan masih terasa samar untuk dipastikan. Tak heran jika laboratorium kembali memenuhi semua waktunya selama 4 bulan terakhir. Tidak siang, tidak malam, semua hampir terasa sama saja. Satu-satunya tanggal yang ia ingat hanyalah kapan penelitian itu harus menemui eksekusi akhirnya.

Tak beda jauh dengan Tuan. Tugas beberapa kali ke luar kota menjadi agenda wajibnya. Entah planet mana yang sedang berputar dekat dengan bumi, gravitasinya terasa lebih kecil dari 9,8 m/s. Ia sering merasa lemah lunglai tak berdaya begitu tiba di rumah. Hitungan 3 jam sehari benar-benar jadi keberuntungan untuknya jika dapat dilalui dengan tidur tenang.

Praktis, Tuan dan Nona jarang bersua wajah. Bahkan kata-katanya sendiri enggan bercinta di udara.

"Hai, apa aku membangunkanmu?" sapa Nona melalui telepon pagi itu.
"Err.. mungkin bisa dibilang begitu" jawabnya sambil memperhatikan jarum jam yang ternyata baru saja menunjukkan waktu 30 menit setelah ia benar-benar terlelap.
"Maafkan aku, Tuan. Hanya saja aku tidak bisa menahan kabar gembira ini lebih lama. Penyusunan tesisku sudah selesai dan tanggal oral examination thesis-ku sudah ditetapkan, yang artinya aku minggu depan akan berperang besar. Entah, meskipun aku sering presentasi, tentu saja kali ini membuat hati tidak karuan, Sepertinya kau harus menjadi supervisorku lagi. Kapan kau ada waktu? Latihlah aku cara presentasi yang baik!" jelas Nona panjang lebar tanpa jeda sedikitpun.
"Tuan? Tuan? kau masih mendengarkanku?"

Nyatanya, Nona hanya berbicara pada udara pagi.
Bahkan ketika uap air kembali dipeluk malam, tidak ada satupun SMS atau e-mail atau telepon permintaan maaf.
Nona kembali diam dalam sejuta praduga.

*
Katakan saja, ini adalah hari Nona. Ketika keberhasilannya mempertahankan segala macam teori, hipotesis dan hasil penelitiannya di depan beberapa profesor berbuah nilai A. Waktu rasanya berjalan lambat di dalam ruang sidang, entah berapa jam sebenarnya ia di dalam tadi.
Hanya jika kau ingin mengetahui, hari ini aku sudah lulus sidang tesis. Tidak, ini bukan dalam rangka mengemis ucapan selamat darimu. Katakan saja, hanya kabar selingan di balik pekerjaan kantormu.
E-mail sent.

Tiga hari berselang sejak Nona tinggal selangkah lagi menuju gelas Masternya. Masih tidak ada balasan e-mail. Tidak juga SMS. Apalagi sebuah telepon.

Taman kota juga sepi. Hanya tersisa samar-samar bayangan Tuan yang sedang duduk di kursi panjang sambil membaca buku. Entah sudah berapa lama mereka tidak bertemu. Sepertinya adegan mawar merah kemarin yang terakhir.

*
Senja kembali menukik ke pelataran terakhir sebelum gelap gulita mengambil posisinya. Tidak ada secangkir caffe latte. Tidak ada degupan jantung yang keras. Tidak ada tatapan hangat mata cokelat. Tidak ada cinta di udara.

Hanya udara dingin teman setia Nona hingga tiba di Amsterdam Airport Schiphol. Entah sudah berapa kali kepalanya menoleh ke belakang dan layar telepon genggamnya. Bergantian. Sampai-sampai ia membiasakan alam bawah sadar untuk melakukannya.
"Aku mencoba menapaki setiap bayanganmu. Mencoba berpacu dengan waktu meraihmu. Entah sahabat mana lagi yang aku datangi. Semua menjawab "tak tahu". Kau terlampau misterius bagiku. Sayangnya, aku bukan wanita misterius untukmu. Berkelanalah semaumu. Dan akan ku biarkan takdir menyinggungkan waktu kita kembali, dengan semua jawaban darimu menjadi hadiah untuk rinduku selama ini"
Email sent.
Airplane flight.
*
"British Airways plane crash caused by 'unknown' ice buildup"
Selanjutnya, hanya berita ini yang beberapa waktu sempat menghiasi daratan Eropa.
Waktu, (mungkin) meredupkan api antara Tuan dan Nona.







Source news
Source pic
read more “Cerita Kedua.”

Hilangnya Sarang Laba-Laba.

Ada waktu yang berjeda sejak terakhir kali meninggalkan cerita.
Katakan saja dua bulan. Tidak lama sebenarnya.
Namun tetap saja, itu... Jeda!

Dan kalian tahu?
Akhir-akhir ini waktu sungguh curang.
Anak-anak waktu yang kita sebut: Detik dan berjumlah banyak itu, mulai membuat ulah.
Mereka berlompatan keluar dari jam pasir dengan beringas,
katanya di sana terlalu sempit.
Tidak cukup menampung semangat mereka untuk mengganti hari.
Merobek kalender.
Mengubah bulan.
Hingga nyaris mengganti tahun.

Untung saja matahari masih berbaik hati.
Memakai gincu paling merah untuk mengecup dahiku.
Bangunkan segera dari kehidupan monokrom
Tanpa hela nafas hanya untuk bekerja.

"Lihatlah otakmu, dia seperti ingin menari-nari dalam kata.
Lihat pula hatimu, sudah bersemu merah jambu tentang cinta yang baru.
Lihat juga tanganmu, sudah enggan menulis laporan penelitian.
Lihat tubuh kurusmu, menginginkan surga lain selain makanan hasil seminar atau rapat"

Ya ya ya.
Matahari, sepanjang pagi ini cerewet sekali.
Ngomel tidak jelas.
Membuat pesan macam-macam.
Sampai-sampai menitipkan pesan juga pada angin atau sekotak permen gulali.

Tapi bagaimanapun aku tidak akan marah padanya.
Hanya dia yang mengecupku dengan super hangat!
Hingga sarang laba-laba di sini juga ikut lenyap.
Sutera tipis pembangunnya terurai satu-satu.
Kembali membuka pintu cerita yang telah lama ditutupinya.

Iya. Sarang laba-laba di sini sudah mulai hilang.
Hatiku... juga hangat! :)





read more “Hilangnya Sarang Laba-Laba.”