Showing posts with label Story. Show all posts
Showing posts with label Story. Show all posts

Sunday, March 18, 2012

Tujuh Musim.


Saya adalah orang yang begitu mencintai angkasa. Alasannya sederhana, karena ia mampu menampung semua kata-kata, impian dan entah berapa ratus perasaan lain yang sering kali singgah dalam kepala atau hati.

Mungkin terkesan konyol, tapi saya percaya bahwa angkasa adalah tempat penyimpanan paling hebat. Lihat saja, sampai sekarang belum ada data empiris yang menyatakan tentang nilai luasnya angkasa. Jadi, kamu bisa bayangkan, berapa banyak data yang bisa kamu titipkan ke angkasa.

Dulu, dulu sekali. Di tengah ribuan data-data saya di angkasa, saya pernah mencatutkan satu hal; hidup di luar Indonesia. Pikir saya waktu itu, saya ingin membuat boneka salju super besar yang berbahan asli dari butir-butir es dari langit Tuhan. Karena hingga saat ini, Indonesia masih merupakan negara yang tropis, satu-satunya solusi untuk membuat boneka salju super besar adalah, hanya dengan tinggal di negara empat musim. Tidak untuk selamanya tentu saja karena saya terlalu cinta Indonesia. Tapi setidaknya cukup satu atau bulan ketika musim salju tiba.

Lalu, masih di waktu yang sama. Pada jaman dulu, dulu sekali.
Saya juga menyimpan kata-kata ini di angkasa; mau berbicara bahasa Inggris setiap hari. Alasan saya sederhana, karena nilai Bahasa Indonesia saya sejak SMP hingga SMA, tidak pernah lebih baik jika dibandingkan dengan nilai Bahasa Inggris. Bahasa Inggris mungkin jauh lebih sederhana. Setidaknya ia tidak memiliki majas personifikasi, metonimia, litotes, totem prototo atau pras proparte. Jangan pernah tanyakan bagaimana perbedaan di antaranya. Yang masih jelas di kepala, hanya majas personifikasi saja.

Berikutnya, saya pernah menuliskan kata-kata ini juga; terlibat lagi dalam pendidikan formil, merasakan kembali masa-masa begadang mengerjakan tugas atau persiapan ujian di perkuliahan, mendaratkan kaki di lebih dari separuh negara-negara di Eropa dengan tanpa mengeluarkan biaya sedikitpun, lalu jatuh cinta.

Hingga pada akhirnya, tanggal 31 Januari 2012 tiba. Pada saat itu, saya merasakan romantisme luar biasa dengan angkasa. Langit tentu saja tidak sedang hujan strawberry, dia hanya menjatuhi saya dengan sederetan kata yang pernah saya titipkan di sana. Tentu saja Tuhan yang menjatuhkannya.

Dalam hampir enam belas jam perjalanan mengarungi angkasa, saya hanya tersenyum dan menangis haru. Karena sesungguhnya, ada banyak kata yang saya benar-benar sudah lupa jika pernah menitipkannya di langit, tapi pada hari itu sepertinya hujan kata-kata saya, turun dengan derasnya.

Tuhan begitu baik. Dia memberikan kesempatan kepada saya untuk menjejakkan kata-kata tadi ke bumi. Yang lebih hebat lagi, Dia menjatuhkannya dalam waktu yang luar biasa tepat. Tidak satu tahun yang lalu, atau tidak tiga tahun kemudian.

Ah.. Tuhan memang selalu baik.

Saat ini, hampir dua bulan saya menginjakkan kaki di Belanda. Waktu yang masih singkat tapi sudah dipenuhi dengan ratusan peristiwa yang mengejutkan. Lagi-lagi, Tuhan selalu penuh misteri kan? Saya tidak hanya diberi hujan, tapi terkadang gemuruh, awan hitam tebal bahkan rentetan pelangi. Saya hampir lupa jika saat ini saya hanya punya empat musim. Tapi Tuhan, sekali lagi memberikan banyak bonus; empat musim normal, ditambah lagi tiga musim spesial; musim hujan kata, musim kemarau, lalu musim rindu. Moga-moga kepala dan hati saya selalu sanggup menerima banyak bonus ini.

Oya, untuk kamu, atau kamu, dan kamu. Jangan pernah khawatir mengucapkan kata-kata ke angkasa. Karena kita tidak pernah tahu bagaimana cara Tuhan mengembalikannya ke bumi. Tapi kalau bisa, jangan pernah lupa ajak selalu tangan, kaki, kepala, dan hati untuk bekerja sama. Lalu jemputlah kejutanmu.
read more “Tujuh Musim.”

Sunday, January 16, 2011

Bertemu Tabib.

 Empat tahun yang lalu, bukan di pantai yang eksotik, bukan di ujung senja, bukan juga di bawah dekapan hangat hujan deras, kita—aku dan kamu—pertama kalinya bersua wajah.
Sebuah kota kecil yang asri, yang masih dikelilingi banyak sawah hijau dan pohon-pohon kapas yang menjulang tinggi menjadi saksi awal kisah kita.
Pada saat itu kau menyapaku dengan hangat, sangat hangat malah.
Seolah-olah kau sudah mengenaliku lebih dulu, sudah mengumpulkan banyak informasi tentangku, sudah hafal gerak-gerikku, bahkan seperti sudah mengerti isi kepalaku, padahal kita baru saja bertemu.

Aku, baru benar-benar ketemu kamu.

Tapi, ya begitulah kamu. Terlalu berpengalaman dalam hal bagaimana membina hubungan pertemanan. Hingga tak heran jika selanjutnya kita menjadi sahabat karib.
Teman seiring sejalan.

Kau pun royal memberiku hadiah. Dari kupu-kupu, bunga mawar, injeksi adrenalin gratis, hingga kekuatan tambahan untuk otot-otot pipi supaya tidak pegal ketika harus terus-menerus tersenyum sepanjang hari.
Kau juga terkadang sangat iseng. Menghadiahiku pelangi.
Jika sudah begitu, aku pasti akan marah-marah.
“Aku suka pelangi. Sungguh suka. tapi kalau Tuhan marah bagaimana? Salah satu keindahanNya kan sedang dicuri olehmu”
“Kalau manusia lain juga iri bagaimana? Apa aku harus membagi-baginya?” Kataku kemudian.
“Tenang saja.. itu hadiah dari Tuhan kok” jawabmu santai sambil tak lupa tersenyum simpul.

Jawaban ini pula yang aku dapatkan ketika suatu waktu aku pernah bertanya dari mana asalmu.
Jujur, kau begitu misterius. Sangat misterius.
Kau begitu mengerti aku, kau begitu memahamiku. Sedangkan aku? Sama sekali tidak mengenalmu.
Setiap kali aku bertanya, kau pasti akan selalu menjawab “Dari Tuhan”.
Setiap kali aku berkeluh kesah dalam memahamimu, kau pun akan selalu bilang “Tanyalah pada Tuhan”
Setiap kali pertanyaan lain muncul, kau tetap menjawab “Coba cari tahu sendiri. Itu pekerjaan rumah dari Tuhan”

Sampai akhirnya, kita diuji.
Lebih tepatnya, aku yang diuji.
Dua tahun di umur pertemanan kita, aku meledak.
Aku marah besar.
Aku sedang dalam kesulitan, dan kau yang selama ini mengaku sebagai sahabatku cuma bisa diam dan melihat saja.
Tidak ada lagi komunikasi berarti.
Karena semua perkataanku akan mendapat reaksi yang sama darimu.
Kau seperti robot yang hanya terprogram untuk bisa bilang “Itu dari Tuhan”.

Aku-pada-saat-itu-benci-sekali-padamu.

Hingga kemudian aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan pertemanan ini.
Kau berpetualang sendiri.
Dan aku hidup sendiri dengan…. penyakit.
Ya!
Entah kenapa semenjak kita berpisah, penyakit itu datang.
Aku didera penyakit ganas.
Namanya Nosophobia*.
Entah kau mencampurkan virus apa selama ini dalam setiap hadiah yang kau beri, sampai-sampai aku semenderita ini.
Aku selalu ketakutan. Aku selalu marah. Aku selalu merasa benci. Aku selalu ingin berontak.
Aku lupa kata damai. Sungguh lupa.

Dan anehnya, ketika aku semakin tak mempercayaimu, semakin aku membencimu, maka semakin menyebar pula penyakit itu. Tak ubahnya seperti tumor yang bermetastatis ke seluruh tubuh.
Dan sungguh tidak mudah mengobati penyakit ini.
Segala hal ku lakukan. Segala hal. Sampai-sampai aku tidak sanggup menghitungnya lagi.
Segala hal, tanpa mencoba memasukkan nama tabib terhebat di muka bumi ini yang selalu kau sebut dulu.
Ya. Kau tahu kan? Aku benci dan tidak percaya lagi padamu, lalu kenapa aku harus percaya perkataanmu dulu? Aku gengsi!
Tapi karena entah kenapa nama itu terus bergema di telinga, akhirnya ku langkahkan kaki ke sana. Ku tundukkan wajah ke hadapannya.
Berusaha berkunjung kepadanya.
Dan kau benar. Kau sungguh benar. Dia sungguh tabib yang hebat.
Iya. Tuhan, tabib terhebat yang pernah ada.

Dia menyembuhkan setiap luka dengan perlahan.
Penuh kasih. Penuh sayang.
Dia tak memarahiku yang pada saat itu datang terlambat.
Dia masih tersenyum padaku.
Dia hangat merengkuhku.
Bahkan Dia membuat kita rujuk kembali.
Ya, Aku mungkin terlalu terlambat menyadarinya, tapi kau memang sahabat yang baik.

Kau, yang bernama Cinta adalah sahabat yang baik.

Aku baru menyadari bahwa luka dalam bercinta bukanlah karena ulahmu.
Tapi karena manusia bengis yang suka melakukan sesuatu yang keji dengan meminjam namamu.
Membuat manusia yang awam tentang cinta seperti ku ini langsung membabi buta menyerangmu.

Ah Cinta, maafkan aku.

Kelak jika ada lagi ketidakbahagiaan dalam cinta, mungkin akan ku anggap itu bonus.
Untuk lebih bermurah hati dan melatih memaafkan.
Untuk lebih mencintai kebahagiaan dan mensyukuri setiap senyuman yang tercipta.
Untuk lebih menghargai lagi setiap tetes air mata.
Untuk lebih berterimakasih akan anugerahNya.
Iya, kau yang bersematkan nama Cinta.

Aku,
Dewi Srikandi.



PS: Bisa kau katakan kepada Arjuna jika kali ini aku sedang tidak menulis tentangnya. Katakan saja, aku memimpikannya semalam.
PPS: Oh ya Cinta, terimakasih kau datang lagi kali ini. :)




*Nosophobia = istilah dramatis yang berarti ketakutan yang irrasional terhadap suatu penyakit, misal: jatuh cinta atau patah hati lagi. Istilah ini diambil dari buku Doctors-Erich Seagal
read more “Bertemu Tabib.”

Wednesday, December 29, 2010

Cerita Kedua.

Saat itu, senja hampir menukik ke pelataran terakhir sebelum gelap gulita mengambil posisinya. Waktu kembali bermain api. Meletakkan dengan manis cerita lama dalam secarik percakapan rindu. Percakapan dua pecinta dari masa lalu dengan dua cangkir caffe latte.

"Jadi, ada apa denganmu dan kota ini?" sapa si Nona dalam kesibukannya meniupkan udara dingin ke kopi panasnya.
"Menurutmu?" jawab lawan bicaranya dengan tenang.
"Percayalah, Tuan.. Aku tidak serta merta demikian penasaran untuk menebak alasannya. Karena rasa penasaranku hampir habis tersita oleh penelitian gene expression regulator"
"Hahahaha. Kau sama sekali belum berubah! Sampai kapan kau akan terus mendekam di Laboratorium? Tak heran jika kulitmu pucat. Hampir dapat dipastikan kau jarang menengok matahari"
"Lalu, apa usulmu, Tuan?" tanya si Nona setengah sebal.
"Pergilah besok makan siang denganku. Jangan pernah menolak atau kau akan ku seret keluar dari Lab."
"Nah, sekarang ijinkan aku pamit lebih dulu." lanjutnya kemudian. "Jangan kembali bekerja, lingkar hitam di matamu sudah cukup menandakan bahwa kau butuh tempat tidur, bukan Laboratorium." sahutnya hangat sembari mengusap lembut kepala Nona.

Bagai double-helix DNA, percakapan di kedai kopi itu tak ubahnya sebagai prekursor —unsur pemantik perjumpaan lain yang saling bertautan. Tuan dan Nona rupanya begitu larut. Sepakat untuk mabuk bersama. Menengguk sisa-sisa jamuan cinta masa lalu. Jamuan cinta yang sama manisnya atau mungkin lebih manis. Entah mana yang lebih benar. Karena siapa lagi yang kelak peduli? jika sepenggal kisah terdahulu, datang lagi dan melengkapi?

Ya, Mereka bersepakat atas nama kesempatan kedua.

*
"Kenapa mobilnya berhenti, Tuan?" tanya Nona saat mobil yang mereka kendarai diberhentikan oleh lelaki di sampingnya.
"Entah. Sepertinya ada ban yang kempes" jawabnya setengah panik. "Aku bisa minta tolong? Selagi aku memeriksa bagian yang bermasalah, tolong ambilkan alat pendongkrak di bagasi ya"

Wanita itu menurut. Turun dari mobil tanpa banyak tanya dan berjalan ke belakang, tempat bagasi berada. Alih-alih setumpuk alat dongkrak, di sana ia hanya menemukan satu bouquet mawar merah yang cantik. Entah jumlahnya berapa, yang pasti lebih dari 20 tangkai.

"Mana dongkraknya? Kok malah diam?" kata Tuan setengah berteriak.
"Sejak kapan sekarang alat dongkrak diganti dengan bunga mawar?" sahut Nona dengan suara tak kalah kerasnya.
"Sejak jaman Hippocrates, sayang. Sejak beberapa eksperimennya menunjukkan perulangan yang sama. Bahwa ternyata hormon endorfin seorang wanita bisa didongkrak dengan cinta dalam persatuan beberapa kuntum bunga mawar merah" jelasnya ngawur.
"Boleh kita jalan lagi? Aku sudah lapar" tawar Nona, yang sekarang pipinya sudah merah padam.
"Happy Anniversary, Nona".

*
Musim semi berikutnya, bukan perjalanan mudah bagi Nona. Penelitiannya mengalami masa suram. Fakta-fakta yang dihasilkan membalikkan hipotesis dengan telak. Sementara penyebab utama kegagalan masih terasa samar untuk dipastikan. Tak heran jika laboratorium kembali memenuhi semua waktunya selama 4 bulan terakhir. Tidak siang, tidak malam, semua hampir terasa sama saja. Satu-satunya tanggal yang ia ingat hanyalah kapan penelitian itu harus menemui eksekusi akhirnya.

Tak beda jauh dengan Tuan. Tugas beberapa kali ke luar kota menjadi agenda wajibnya. Entah planet mana yang sedang berputar dekat dengan bumi, gravitasinya terasa lebih kecil dari 9,8 m/s. Ia sering merasa lemah lunglai tak berdaya begitu tiba di rumah. Hitungan 3 jam sehari benar-benar jadi keberuntungan untuknya jika dapat dilalui dengan tidur tenang.

Praktis, Tuan dan Nona jarang bersua wajah. Bahkan kata-katanya sendiri enggan bercinta di udara.

"Hai, apa aku membangunkanmu?" sapa Nona melalui telepon pagi itu.
"Err.. mungkin bisa dibilang begitu" jawabnya sambil memperhatikan jarum jam yang ternyata baru saja menunjukkan waktu 30 menit setelah ia benar-benar terlelap.
"Maafkan aku, Tuan. Hanya saja aku tidak bisa menahan kabar gembira ini lebih lama. Penyusunan tesisku sudah selesai dan tanggal oral examination thesis-ku sudah ditetapkan, yang artinya aku minggu depan akan berperang besar. Entah, meskipun aku sering presentasi, tentu saja kali ini membuat hati tidak karuan, Sepertinya kau harus menjadi supervisorku lagi. Kapan kau ada waktu? Latihlah aku cara presentasi yang baik!" jelas Nona panjang lebar tanpa jeda sedikitpun.
"Tuan? Tuan? kau masih mendengarkanku?"

Nyatanya, Nona hanya berbicara pada udara pagi.
Bahkan ketika uap air kembali dipeluk malam, tidak ada satupun SMS atau e-mail atau telepon permintaan maaf.
Nona kembali diam dalam sejuta praduga.

*
Katakan saja, ini adalah hari Nona. Ketika keberhasilannya mempertahankan segala macam teori, hipotesis dan hasil penelitiannya di depan beberapa profesor berbuah nilai A. Waktu rasanya berjalan lambat di dalam ruang sidang, entah berapa jam sebenarnya ia di dalam tadi.
Hanya jika kau ingin mengetahui, hari ini aku sudah lulus sidang tesis. Tidak, ini bukan dalam rangka mengemis ucapan selamat darimu. Katakan saja, hanya kabar selingan di balik pekerjaan kantormu.
E-mail sent.

Tiga hari berselang sejak Nona tinggal selangkah lagi menuju gelas Masternya. Masih tidak ada balasan e-mail. Tidak juga SMS. Apalagi sebuah telepon.

Taman kota juga sepi. Hanya tersisa samar-samar bayangan Tuan yang sedang duduk di kursi panjang sambil membaca buku. Entah sudah berapa lama mereka tidak bertemu. Sepertinya adegan mawar merah kemarin yang terakhir.

*
Senja kembali menukik ke pelataran terakhir sebelum gelap gulita mengambil posisinya. Tidak ada secangkir caffe latte. Tidak ada degupan jantung yang keras. Tidak ada tatapan hangat mata cokelat. Tidak ada cinta di udara.

Hanya udara dingin teman setia Nona hingga tiba di Amsterdam Airport Schiphol. Entah sudah berapa kali kepalanya menoleh ke belakang dan layar telepon genggamnya. Bergantian. Sampai-sampai ia membiasakan alam bawah sadar untuk melakukannya.
"Aku mencoba menapaki setiap bayanganmu. Mencoba berpacu dengan waktu meraihmu. Entah sahabat mana lagi yang aku datangi. Semua menjawab "tak tahu". Kau terlampau misterius bagiku. Sayangnya, aku bukan wanita misterius untukmu. Berkelanalah semaumu. Dan akan ku biarkan takdir menyinggungkan waktu kita kembali, dengan semua jawaban darimu menjadi hadiah untuk rinduku selama ini"
Email sent.
Airplane flight.
*
"British Airways plane crash caused by 'unknown' ice buildup"
Selanjutnya, hanya berita ini yang beberapa waktu sempat menghiasi daratan Eropa.
Waktu, (mungkin) meredupkan api antara Tuan dan Nona.







Source news
Source pic
read more “Cerita Kedua.”

Wednesday, September 22, 2010

Kadaver.

Dante, mungkin jadi pengunjung terakhir perpustakaan malam ini. Menatap ulang buku sakti tubuh manusia “Sobotta: Atlas of Human Anatomy”, beberapa jurnal, catatan kuliah, buku praktikum dan informasi lain yang sebanyak mungkin dapat diperoleh mengenai anatomi.

Bukan menghadapi ujian kelas Anatomi, tetapi ujian calon Asisten Lab. Anatomi lebih tepatnya. Dan sudah menjadi konstitusi umum, untuk dapat direkrut sebagai asisten Anatomi bukanlah sesuatu yang mudah. Mereka─Dosen yang turun tangan langsung dalam perekrutan asisten tidak pernah main-main dalam memberikan materi seleksi. Kualitas perekrutan yang tinggi dan aura kompetitif, tidak heran jika gelar asisten Lab.Anatomi menjadi prestise tersendiri di kalangan mahasiswa kedokteran di kampus ini.

Maaf mas, perpustakaan sebentar lagi tutup. Silahkan dibereskan buku-bukunya dan kembalikan ke rak semula” kata petugas perpustakaan mengalihkan perhatian belajarnya.

Oh iya, Bu. Sebentar lagi saya rapikan” jawabnya kemudian.

Setelah mengambil tas di loker, Dante memutuskan tidak pulang. Ruang terbuka antara ruang kelas dan laboratorium Mikrobiologi yang sering disebut selasar oleh para mahasiswa di sini menjadi tempat pemberhentian berikutnya. Tampak di sana, masih ada tiga orang mahasiswa yang sedang berkutat dengan laptop memanfaatkan wi-fi gratis. Dipilihnya satu meja kosong, dan ia kembali tenggelam dalam catatan Anatominya.

Di tengah imajinasinya dengan scalpel yang mengiris lapisan kulit mulai dari epidermis, dermis, lemak subkutis, fasia superfasial, fasia dalam, otot, tiba-tiba suara seorang Bapak membuyarkan konsentrasinya.

Sedang belajar Anatomi? Ujian atau asisten?” sapanya mengawali pembicaraan.

Oh..untuk asisten, Pak” kata Dante sambil membereskan kertas yang berada di kursi sebelahnya supaya bisa diduduki.

Mau belajar bersama saya?” tawarnya kemudian.

Err.. bukan bermaksud tidak menghargai, Pak. Tapi kalau boleh saya tahu, siapa Bapak sebenarnya?” jawab Dante ragu.

Asal muasal saya tidak penting, yang pasti saya cukup mahir dalam Anatomi” yakinnya kemudian.

Dante mengenyahkan segala rasa penasarannya. Karena diskusi anatomi dengan Bapak Misterius ini berjalan menyenangkan. Dari gagasan para ahli anatomi yang menentukan dari mana sebaiknya mempelajari tubuh manusia, lalu ke manubrium, xiphoid process, otot di antara tulang iga, saraf toraks hingga ke jantung─yang menurut Bapak tersebut jantung merupakan ‘jantung’ persoalan dari penyakit.

Akhirnya, diskusi malam itu diakhiri dengan ucapan “Semoga Sukses” dari si Bapak Misterius. Belum sempat mengucapkan terima kasih, lelaki tersebut telah menghilang secepat kepala menoleh.

*
Ujian asisten Anatomi dibagi dalam dua sesi: ujian tulis dan praktik. Dante tidak mengalami kesulitan mengerjakan sesi pertama. Betapa mengejutkan, apa yang menjadi bahan diskusinya semalam benar-benar membantu.

Satu jam kemudian, bersama dosen dan mahasiswa lain, mereka telah berada di dalam lab, masing-masing mengelilingi kadaver.

Kita semua tahu, tubuh-tubuh di sini dulunya adalah manusia yang hidup, bernafas dan memiliki perasaan, dan ketika kematian menghadapi, mereka dengan murah hati mendermakan tubuhnya untuk Ilmu Pengetahuan. Di samping setiap kadaver ada lembar kerja untuk sesi ujian praktik ini. Kerjakan dengan tenang dan penuh hormat” perintah seorang dosen.

Setelah dipersilakan bekerja, Dante memberi hormat kepada kadaver di sampingnya dan memeriksa nama label yang terkait pada ibu jari kakinya. “Seorang Profesor. Luar biasa dedikasinya” batinnya dalam hati. Lalu dibukanya kain penutup wajah. Seketika dia diam. Dia tahu siapa orang ini. Setidaknya sebelas jam yang lalu.


-dan jangan pernah bertanya berapa umur kadaver.








P.S: Kata-kata kedokteran di atas diperoleh dari Sobotta (mengintip sedikit), Doctors karya Erich Segal, dan Google. yup. mesin hampir-tahu-segala-hal kecuali jodoh saya. Sekian.
read more “Kadaver.”

Tuesday, September 21, 2010

Popcorn.

Kau tahu? Hidupku itu tak ubahnya seperti mesin pencipta “popcorn”. Meledak-ledak. Aku sampai begitu hafal dengan pola ledakannya.

Ya. Tiga tahun dalam pekerjaan sebagai pegawai bioskop menjadikanku orang yang cukup akrab dengan popcorn. Mau dengar ceritanya? Saranku, ambillah setumpuk popcorn untuk menemanimu!

Desember 2006
“Anda diterima bekerja di sini. Tugas utama Anda menjadi pelayan Café. Menyiapkan pesanan minuman dan makanan untuk penonton bioskop. Sebentar lagi, pegawai yang lebih senior akan memberikan pelatihan bagaimana mengoperasikan beberapa alat, termasuk mesin popcorn yang baru saja datang itu” kata Bapak setengah baya yang saat itu resmi menjadi atasanku.

“Baik, Pak. Terimakasih atas kesempatan yang diberikan” jawabku dengan perasaan yang penuh kegembiraan.

Mungkin bagi sebagian besar orang, pekerjaan ini bukanlah suatu pencapaian besar dalam sejarah karir, tapi aku amat bersyukur karena artinya aku dapat hidup mandiri. Tidak lagi menjadi tanggungan Tante Ira─adik kandung Mama yang tidak punya pilihan lain, selain membagi kehidupan pribadi keluarganya denganku─ponakan yang resmi menyandang gelar yatim piatu semenjak 15 tahun yang lalu.

Februari 2007
Aku makin mahir sekarang dalam mengoperasikan berbagai alat makanan dan minuman. Tapi, tetap saja kecintaanku pada mesin popcorn lebih besar dibanding yang lain.

Aroma khas starch terpanggang pada temperatur 180 oC. Bunyi meletup seperti ingin mendobrak pintu panci bertekanan. Rasa gurih dan kriuk yang mengakrabkan hubungan gigi dan lidah. Kandungan non-sugar serta, takdirnya untuk dipilih banyak pengunjung sebagai teman mereka selama pemutaran film, membuatku merasa mendewakan popcorn dalam pekerjaan ini.

Terkadang aku usil, bereksperimen dengan popcorn. Komposisi margarine yang aku main-mainkan. Temperatur yang sedikit aku turunkan dan dibarengi dengan tekanan yang sedikit dinaikkan membuatku seolah patut meraih nobel atau setidaknya ucapan “terima kasih” berkali lipat dari tiap pengunjung. Popcornku rasanya beda!

..dan saat itulah, popcorn mengenalkanku pada Evan.

September 2008
“Hei! Apa kabar? Apa perlu aku menyebutkan apa pesananku? Ku yakin, kau sudah hafal di luar kepala” sapa Evan ramah beberapa menit sebelum film pilihannya akan diputar.

“Ya ya ya, aku tahu pesananmu. Bersabarlah sebentar akan aku kubuatkan”

“Ngomong-ngomong kemana saja kau? Seperti begitu sibuk, tempat ini jarang kau kunjungi lagi” kataku kemudian sambil menyerahkan pesanannya.

“Umm..ya begitulah. Bekerja pada kapitalis tak ubahnya jaman Cultuur Stelsel, kau bernafas di kantor untuk bekerja. Dan jika kau tak keberatan, selepas aku menonton, akan ku ceritakan kemana saja aku pergi selama satu bulan terakhir”

April 2009
Evan sudah seperti sahabatku. Saat ia mengunjungi bioskop secara rutin dan memesan setumpuk popcorn, itulah saat-saat berharga kami ku, dan tebaklah! Hari ini dia mengajakku jalan-jalan keluar.

Oke, aku tidak memiliki keyakinan cukup tinggi untuk menyebutnya sebagai kencan, tapi sebut saja sifat alami wanita, aku membawa baju ganti yang cukup bisa dikategorikan cantik hari ini.

Juni 2009
Bioskop ini telah kokoh berdiri lagi. Semenjak dua bulan lalu, entah bom keparat dari mana datangnya meledakkan bangunan berlantai 7 ini. Aku tahu aku tidak boleh mengutuk sesama, tapi sepertinya itu cukup pantas untuk mereka─yang hobi menyalakan sumbu peledak.

Tapi ya sudahlah, yang penting bioskop ini kembali beroperasi. Pekerja yang dulu, tetap mendapatkan pekerjaannya. Dan aku? Siap dengan mesin popcorn ku.

Tidak. Aku tidak mengoperasikannya. Hanya berdiri di sebelahnya. Mengamati sekeliling. Siapa tahu aku bertemu Evan lagi. Atau mungkin bertemu kalian, pengunjung bioskop baru dan jika kalian melewati mesin popcorn, jangan terlalu cuek. Terkadang aku ingin disapa.

Aku─sosok tak kasat mata akan senang hati menampakkan diri.


read more “Popcorn.”

Saturday, September 18, 2010

Pandora


Simpan kotak ini. Bukalah ketika hidup tak lagi memberikan jawaban” Kata-kata itu yang sempat ditangkap oleh seorang Ibu. Kata-kata yang terdengar samar dari lelaki berjubah hitam.

Arah kedatangannya tak terjamah. Arah kepulangannya pun tak berbekas.

Entah ada maksud apa dari kejadian sore ini. Sang Ibu nyaris tidak menaruh rasa penasaran lagi ketika senja dipecahkan oleh tangis 3 balitanya yang menuntut untuk segera diberi makanan.

Miris.

Hanya gendongan hangat yang mampu diberikan.

*

Gadis itu mungkin berusia 17 tahun. Menangis keras di pinggir sebuah jembatan penyebrangan. Tangan kanannya menggenggam hasil test-pack. Tanda positif diperlihatkan di sana. Tidak hanya dijustifikasi oleh 1 alat, 5 test-pack dari yang paling murah hingga termahal pun menunjukkan hasil yang sama.

Ya. Dia hamil. Hamil sebelum pernikahan.

Simpan kotak ini. Bukalah ketika hidup tak lagi memberikan jawaban” tiba-tiba seorang lelaki berjubah hitam mengalihkannya dari menangis.

Otaknya berputar lambat kala itu, tak ada satupun kata yang mampu terucap. Hingga si jubah hitam tak tertangkap pandangan lagi.

*

Kasus korupsi tidak hanya menyeret mantan pejabat terkenal ke dalam hukuman hotel prodeo. Harta, terkuras habis. Keluarga, melenggang pergi dengan menanggung malu. Dan tubuh? Harus menukarkan sebagian kesadarannya dengan penyakit stroke dan depresi berat.

Ruang 101 adalah rumahnya sekarang. Ruangan bercat putih. Bersprei putih. Tanpa televisi atau AC. Hanya 1 meja dan 1 kursi pelengkap furnitur.

“Mari Pak, bangun dulu. Waktunya minum obat” kata Suster Perawat.

“S-s-saya sudah b-bosan m-mi-minum obat, Sus” jawab si Mantan Pejabat terbata-bata.

“Jangan begitu, Pak. Ini demi kebaikan Bapak juga. Oya, Bapak pasti senang hari ini, karena ada yang mengirimkan hadiah untuk Bapak”

“Sebuah kotak dengan tulisan: “bukalah ketika hidup tak lagi memberikan jawaban” lanjut si suster kemudian.

*

“Ditemukan 3 orang dalam keadaan meninggal. Alasan kematiaannya masih diselidiki hingga saat ini. Yang jelas mereka memiliki waktu kematian yang nyaris mirip satu sama lain.”

“Apa tidak ada tanda lain di tempat kejadian perkara, Pak?” cecar wartawan TV Swasta itu.

“Tidak. Tidak ada. Kecuali sebuah kotak hitam yang terbuka dan bertulis Pandora yang ditemukan di samping tubuh mereka”.



Lelaki jubah hitam mematikan TV. Beranjak pergi sambil membawa serta kotak hitam lainnya.






P.S: Cerita ini saya (iseng) ikut sertakan dalam Ubud Writers Festival. Monggo mampir ke sini, jika suka silahkan di-vote :)
read more “Pandora”

Wednesday, June 9, 2010

Detik Waktu. Saksi Bisu.

Wanita itu terpekur. membacakan mantra. khusyu'.
Sementara detik jam turut was-was menunggu.
Akan ada percikan api kah?
Ledakan dahsyat?
atau.... bulan tiba-tiba hilang?

Wanita itu tetap terpekur.
Melakukan gerakan aneh.
Memutar. Membungkuk. dan sesekali Berdiri Tegak.
sementara dari bibir mungilnya masih tergumam sejumlah kata.
Kata yang terdengar samar. Berbahasa aneh, yang entah artinya apa.

Lalu diambilnya segumpal kain yang telah dibentuk sebuah boneka.
Lengkap dengan 2 mata dari kancing baju,
1 hidung dan 1 mulut yang dibentuk dengan menggunakan jahitan benang.
Ditusukkan kepadanya sebuah peniti.
Peniti yang rupanya sedari tadi digenggam sewaktu ia melakukan gerakan aneh.

Pola tusukannya tidak acak.
Satu kali di kepala.
Berlanjut ke bagian dada, kedua tangan,
Dan Kaki.

Detik jam masih menunggu.
Apakah setelah ini baru akan terjadi ledakan?
Atau sesuatu lebih dahsyat dibanding itu?
Tapi suasana tetap hening.
Ya. begitu saja. Wanita itu berjalan mendekat, Lilin dimatikan.
Air kembang, kartu-kartu Remi, foto, sehelai rambut juga dibereskan,
Lampu kamar berbentuk Lampion lalu dinyalakan.
Lalu dia beranjak tidur.

“Ahh… payah!” detik jam mendesah.
Percuma ia menunggui wanita itu selama 1 jam jika hanya berakhir pada kegiatan tidur di malam hari seperti biasa.
Padahal ia menunggu sesuatu yang berbeda malam ini.
Entah bulan tiba-tiba hilang.
Atau mungkin 1 bintang berkunjung ke kamar malam ini.
Tapi nihil!

Keesokan harinya,
“Hai. Hari ini ada acara? Aku mau ngomong sesuatu sama kamu. Ada waktu?” kata Pria dari seberang sana.
Wanita itu kemudian tersenyum.

dan sejak saat itu, si Pria selalu menurut setiap titah sang Wanita.
ketika sedikit efek menghilang, maka ia akan melakukan hal yang sama.
Gerakan aneh, gumaman tidak jelas dan kegiatan tusuk-menusuk boneka.

Si Detik Jam, akan selalu jadi saksi bisu untuk hal ini.
Selalu.





P.S: In any kind of Realtionship, don't be her/his Voodoo. but be their Voodoo Controller! :)) #ngawurpuol
read more “Detik Waktu. Saksi Bisu.”

Tuesday, April 20, 2010

Arti Sebuah Nama.


What's in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet.
-William Shakespeare-

Entahlah jika ada yang peduli atau tidak.
Atau kemudian ada yang menaruh cap besar di dahi saya sebagai "orang kurang kerjaan"


Satu yang pasti,

Ada kekuatan magis tersendiri dalam 2 Kata ini.

Dewi Srikandi.


Kekuatan plasebo.

Sugestivitas.
Dan unsur-unsur semacamnya,

Yang kali ini, saya bebaskan untuk memasuki diri saya, begitu jauh.
Begitu dalam.


Saya biarkan 2 Kata itu menggaung terus menerus.
Saya biarkan pula segala teritori sejarahnya membius.

Bahkan saya enggan memperdebatkan jenis kelaminnya yang misterius.


Lalu kemana perginya sebutan Queeniie Angela?


Saya hendak menyimpannya dalam sebuah wadah.
Tak lain dan tak bukan bernama kenangan.

Bukannya bosan.

Hanya saja, ceritanya sudah lewat jaman.

Sebuah nama yang diputuskan lahir dari kisah "Tom&Angela"
Kisah dari dua manusia yang terpenjara cinta.

Yang sempat berteman tawa.

Dan berargumen luka.

Nampaknya, sudah saatnya kini untuk ditamatkan riwayatnya.


Entah kenapa, saya terlanjur akrab dengan sebutan "Dewi Srikandi"

Yang sukses menyihir nadi.

Atau semangat tiap pagi.

Tapi.....


Ahh.. sudahlah.

Toh, ini bukan berita maha penting nan mewah.

Terimakasih, Queeniie.

Kali ini, saatnya Dewi Srikandi berada di sini.




read more “Arti Sebuah Nama.”

Sunday, January 10, 2010

Mimpi Rusa dan Macan.


di sebuah hutan terpencil, hiduplah seekor anak rusa yg riang gembira. bertungkai kurus dan bergerak lincah. berbulu lembut dan berdaging sedikit.

sang Rusa gemar merumput di pagi hari, ketika embun masih membasahi makanannya.
siang hari, Rusa bermain bersama anak burung Parkit, anak Kucing Hutan, dan anak Musang. mereka gembira sekali. menjelajahi sudut-sudut hutan, mereka bermain hingga sore hari. kemudian mereka pulang ke induk masing-masing.

keesokan harinya, mereka bermain kembali. begitulah seterusnya.

Suatu hari, Rusa terpisah dari teman-temannya. Dia berjalan sendirian dalam hutan. si Rusa sepertinya tersesat. kemudian, dia bertemu makhluk yg belum pernah dia lihat sebelumnya.

"Wahai binatang kecil, makhluk apakah kau ini?" tanya Rusa dengan polos kepada makhluk di hadapannya.

"Kau tidak tahu aku ini apa?" sang binatang asing balik bertanya.

"Aku belum pernah melihat binatang sepertimu sebelumnya," jawab Rusa.

"Aku ini anak Macan," jawab si binatang asing sambil beringsut.

"Macan? Dimanakah teman-temanmu? O iya, namaku Rusa," katanya dengan menyunggingkan senyum.

"Mereka tidak ada di sini," kata Macan. "Kamu tidak takut denganku?" tanyanya dengan heran.

"Kamu tidak tampak menakutkan, Macan. Kamu sepertinya suka bermain," jawab Rusa.

"Aku senang bermain. Menemukan hal-hal baru," jawab Macan.

"Hal baru? Seperti apa itu?" tanya Rusa dengan antusias.

"Hal-hal yg memperkaya hidup, wahai anak Rusa. Berlarian dengan anak-anak macan lain, misalnya, untuk memperkuat kakiku," jawab Macan.

"Berjalan ke sisi hutan yg lain, utk melatih ketajaman mataku," lanjutnya.

"Memandangi bintang dan bulan. Menjaga mimpiku utk menjadi besar."

"Wow! Aku ingin bermain bersama kalian!" seru sang Rusa dg mata berbinar.

"Tidak mungkin," potong Macan. "Kenapa tidak?" Rusa pun penasaran.

"Karena kamu bukan macan. Kamu harus menjalani hidupmu sebagai rusa," bisik Macan di telinga Rusa.

"Tidak akan tahu mungkin atau tidak sebelum dicoba, Macan," Rusa ganti membisiki Macan.

"Kamu memang anak Rusa yang keras kepala dan penasaran," kata Macan. "Mungkin," jawab Rusa.

"Aku ingin berteman denganmu, Macan," kata Rusa.

"Tapi kau tidak bisa bermain dengan teman-temanku. Anak-anak macan lainnya," Macan mengingatkan.

"Dirimu sudah lebih dari cukup," kata Rusa.

"Baiklah, kita berteman. Kita bermain setelah tengah hari sampai senja," Macan menyanggupi.

Mereka pun menghabiskan setengah dari setiap hari bersama-sama.

Berlomba lari, menyeberang sungai, atau sekedar bercengkerama di bawah pohon. Permainan favorit mereka adalah mangsa-dan-pemangsa. Macan mengejar Rusa, yg paling cepat yg menang.

Kadang Macan berhasil menangkap Rusa. Tapi seringkali, Rusa yg menang.

Seiring dengan hari, otot kaki mereka semakin kuat. Mereka tumbuh. Mereka belajar banyak hal.

Waktu berlalu, musim berganti. Suatu sore, Macan dan Rusa bercengkerama.

"Apa mimpimu, Rusa?" tanya Macan.

"Mimpi?" Rusa nampak heran.

"Sesuatu yg paling kau inginkan. Hal pertama yg kau pikirkan ketika kau bangun tidur. Hal terakhir yg kau pikirkan sebelum kau tidur."

Rusa terdiam. "Kalau aku, aku ingin menjadi macan yg tercepat sehingga aku selalu mendapatkan mangsaku," kata Macan.

"Kamu harus punya mimpi, Rusa. Kamu harus hidup untuk mimpi itu," kata Macan sambil meletakkan pipinya di punggung Rusa.

Mereka pulang ke induk masing2. Sejak hari itu, Rusa terus memikirkan kata-kata Macan.

Dia berusaha mendefinisikan mimpinya.

Keesokan harinya, mereka bermain lagi. "Macan!" seru Rusa. "Aku sudah tahu apa mimpiku," katanya dengan semangat.

"Aku ingin menjadi rusa tercepat, sehingga tidak ada yg bisa memangsaku dan aku tetap bisa bermain denganmu."

Mereka tersenyum bersama dan kembali bermain. Kemudian bercengkerama lagi.

"Macan, kamu tahu apa itu takdir?" tanya Rusa tiba-tiba. "Takdir?" Macan mengangkat alisnya.

"Kata Burung Dara, takdir itu sesuatu yg tidak bisa dikejar ataupun dibendung. Aku juga tidak terlalu paham," kata Rusa.

"Kira-kira apa ya takdir kita?" tanya Rusa. Macan hanya tersenyum.

Hari berganti, musim berlalu. Rusa dan Macan terus berkembang. Sampai tibalah Hari-yang-Tidak-Bisa-Dicegah-ataupun-Dikejar.

perburuan besar-besaran dimulai. Macan melewati sekelompok macan lain yg sedang memperebutkan mangsa. Mata Macan terbelalak melihat apa yg ada di hadapannya. Refleks, dia menyerang semua macan di situ. Dia dikeroyok.

Macan kalah, terluka, tercabik. Dia diseret ke tengah lingkaran para macan, digabungkan bersama mangsa tadi.

"Macan, kamukah itu?" suara lirih dari samping si Macan.

"Ini aku...," Macan menjawab lirih.

di samping Macan, teronggok mangsa dg dada terkoyak, kaki tercabik, berdarah-darah. Suaranya tidak asing bagi Macan.

"Aku gagal, Macan. Aku gagal menjadi rusa tercepat," kata si mangsa dg tersengal-sengal.

"Kamu sudah berusaha keras... Rusa. Mungkin ini yg dulu kamu sebut takdir," Macan berusaha mendekatkan kepalanya.

Mereka sama-sama terkoyak dan sekarat. Mungkin ini perbincangan terakhir mereka.

"Aku tidak menyesali ini, Macan. Aku puas sudah belajar banyak," kata Rusa dg napas terputus-putus.

"Aku punya satu mimpi lagi, Macan."

"Katakan, Rusa."

"Aku ingin terlahir lagi sebagai seekor anak macan," kata Rusa. suaranya semakin menghilang.

"Atau aku saja yg nanti terlahir sebagai anak rusa," suara Macan juga melemah.

Macan menggerakkan tubuhnya dengan sisa nyawa yg ada. Dia letakkan kepalanya di punggung Rusa.

Tidak ada suara lagi. Kecuali sorak macan-macan lain.

********


[terimakasih kepada teman saya yang telah membagi cerita ini]
read more “Mimpi Rusa dan Macan.”