Thursday, August 19, 2010

65.


11 jam 25 menit menuju 65 tahun.
Jika ibu pertiwi mampu bersuara, apa dia sedang menangis tersedu sekarang?
Atau malah diam membisu?

Mungkin ibu pertiwi tidak pernah bermimpi.
Tanah airku aman dan makmur.
"Pulau kelapa yang amat subur"
berganti menjadi KKN yang menjamur.

Terlalu banyak ambisi golongan yang berkedok dalam tameng kepentingan rakyat.
Pun keharmonisan koalisi dalam tameng Stabilitas Nasional.

Padahal waktu terus berputar.
Rakyat sudah tidak bisa menanti.
Kepercayaan mereka sudah hampir tamat.
dan Utang Negara? "biar generasi esok yang menanggung (lagi)".

Kita. dan Hanya kita yang menciderai apa yang telah diwariskan ratusan ribu nyawa pendahulu.
bukan Malaysia. bukan IMF. bukan Amerika. bukan Cina. bukan Mereka.

Lalu, Apa kabar Nasionalisme?
Sudah diperjualbelikan di pasar Koruptor.
Sebagian sudah menciut di hadapan bangsa lain.
Sebagian lagi, menua di buku sejarah.

Media massa pun terkadang ditunggangi kepentingan lain.
Memojokkan salah satu pihak dan mematikan karakternya.
Rakyat? (terus) Terprovokasi.

Harusnya rakyat juga cerdas. Tidak sekedar mengkritisi. Tapi memperbaiki.
Toh Negara sudah memberikan hak super premium: "Kedaulatan di tangan rakyat"

Namun sayang, karena Pemerintah bermain kebijakan.
Rakyat menjadi bidak-bidak caturnya.
maka.. BOOM! Krisis Kepercayaan makin lebar.

Ah.. mengesalkan harus membicarakan hal yang sama beberapa kali.
Indonesia, rupanya lambat belajar.
Kita, terlalu sering berdebat.
Masalah, hampir berkarat.

Tapi, bukannya hidup harus optimis, kan?
Capek kan kalau kerjaannya cuma menyalahkan orang melulu?
Biarkanlah rasa malu kepada Ibu Pertiwi mengisi jiwa.

Sematkan lagi label "Warga Negara Indonesia" dengan bangga.
Gerakkan otak, tangan dan kaki membangun negeri.
Pelan-pelan. Sedikit demi sedikit.

Kembalikan lagi kedaulatan rakyat.
Kembalikan lagi karakter bangsa.
Sudah seharusnya kita segagah burung Garuda, bukan?

Stop provokasi. Stop disintegrasi. Stop kritisi negatif.
Mulailah jadi warga Negara yang cerdas, hingga ketika badan dikandung tanah pertiwi, meninggalkan jejak harum.

Merdeka Indonesiaku. Tunggu kami untuk "Memerdekakan" mu sekali lagi. (Amin)





P.S: ahh... Indonesia, kamu tetap aku cinta kok :*
read more “65.”

Monday, August 9, 2010

Tidak Ada Putih.

source: pic

Hati saya tidak putih. Ada banyak warna. Hijau, biru, kuning, kelabu bahkan hitam.

Penuh juga tambalan di sana sini. Ada yang disulam acak. Ada juga bermotif tisik jelujur.

Saya bukan suka melukis. Tidak juga kelebihan cat air. Hanya saja, setiap kali ada prasangka buruk, ucapan menyakiti, pikiran sesat, atau hal lain hasil persekutuan otak dan teman-temannya, seketika itu pula hati saya berwarna.

Tidak perlu alat pengukur khusus, semakin gelap warnanya, semakin gelap juga apa yang dilakukan otak dan teman-temannya.

Hati saya memang tidak putih. Pernah juga tercemar merah. Merah darah. Terkena belati tajam atas nama kepercayaan. Tentu saja menyakitkan. Ini bukan rasa sakit biasa.

Masih teringat jelas, betapa sakit hati mengkonsumsi glikogen secara berlebihan. Tubuh tidak diberikan porsi yang cukup. Semua glukosa habis untuk memaksa Otak bekerja keras memutar logika. Selebihnya? Dialokasikan untuk Mata. Ya, kerja rodi mengeluarkan air mata. Ah.. sakitnya benar-benar membuat kesal!

Lalu, apa selanjutnya?

Saya tetap membiarkan saja berdarah-darah seperti itu. Menikmati setiap centi sakitnya. Masokis mungkin. Tapi percayalah, ketika kita sangat hafal bagaimana rasa sakit, kelak ketika sekecil apapun bahagia datang, maka kita akan benar-benar bersyukur.

Tapi saya juga tidak ingin berlama-lama pada kondisi ini. Kau tahu kan, memelihara rasa sakit itu tak ubahnya seperti punya bisul besar yang siap bernanah kapan saja dan memberikan infeksi yang jauh lebih parah.

Maka dari itu, berbekal bentuk hati yang ala kadarnya yang dilapisi oleh kulit merah darah, saya membawa hati tersebut ke Dokter. Dokter Terpercaya. Satu-satunya Dokter di dunia ini yang memiliki segala macam jenis obat. Dia, yang Maha membolak-balikkan hati.

Selepas dari sana, saya jadi rajin merawat hati. Minum obat teratur. Menelan pil-pil pikiran positif. Berdamai dengan masa lalu, hingga memaafkan si pemilik belati tajam itu.

Setengah ironis memang. Khasnya manusia, baru rajin merawat ketika sudah sakit. baru rajin mengingat ketika sudah diberikan sentilan. Namun itulah saya, hati saya warnanya memang tidak putih.

...dan kini, setelah beberapa musim silih berganti, pohon jati sudah meranggas dan menumbuhkan daunnya lagi, akhirnya saya dan pemilik belati tajam itu bertemu. Bukan pertemuan biasa, sesungguhnya hanya kata-kata kami yang bertemu. Bukan untuk menghakimi, tapi bertukar kabar dan cerita. Kebahagiaan pastinya. Tidak banyak yang berubah, kecuali kata Maaf yang terdengar lebih ramah di gendang telinga.

Tidak ada lagi dendam yang tersisa. Untuk apa lagi? toh itu bukan Deposito Baik.

Saya sudah sembuh.
Dia juga bahagia.
Apalagi yang lebih melegakan dibanding ini?

Ya. Seharusnya hati memang lapang. Berikan tempat luas untuk memaafkan.
Karena setiap dari kita, memiliki hati yang berwarna.






P.S: Time goes fast. but finally, we know how to talk to each other again. Cheers! :)
read more “Tidak Ada Putih.”

Thursday, August 5, 2010

Kau Mau?

source: pic

Mungkin saat ini, kamu tengah sibuk di luar sana. Berkutat dengan para klien, belajar dengan buku setumpuk, atau melakukan hal serupa yang membuat dahimu berkerut hingga tidak ada waktu mencukur jambang di kedua pipi.


Kalau begitu, ku kenalkan saja diriku.

Aku adalah 1 wanita dari triliyun wanita di dunia ini,
dan Aku adalah satu-satunya wanita yang membawa kabur sebelah tulang rusukmu.

Eits..! Jangan dulu protes!
Sebelum kau menuntut pengabdian seumur hidup atas aksi pencurian tulang rusukmu itu, akan aku ceritakan sedikit rahasia kecilku.
Rahasia yang menyenangkan kok.

Kau siap?

*****

Mungkin aku bukan wanita yang seutuhnya sempurna.

Aku diberi faring yang cukup rentan terkena faringitis, berikut dengan tonsil kanan dan kiri yang terkadang meradang membuatku susah makan dan demam.
Padahal aku senang bersenandung, aku bermimpi di setiap kau berulang tahun nanti, akan selalu ada aku yang menyenandungkan rangkaian kata dan melodi indah untukmu.
Tentu saja tidak bergaya seperti diva, tapi dari senandungku, kau akan tahu jika aku memujamu di setiap tangga nada.

Lalu, jika di awal perjumpaan kita kelak, kau datang membawa cokelat dan bunga. Percayalah, bukan aku tidak menyukai buah tanganmu. Tapi tonsil kananku menolak cokelat. Dia amat sensitif. Sedikit terpancing, batuk-batuklah hadiahnya.

Jangan tersinggung juga jika suatu saat kau mengajakku kencan di pinggir jalan, dan aku menolak gorengan yang kau belikan, percayalah sayang, itu faringku yang berbicara. Dia sudah memasang papan larangan besar untuk menolak masuknya gorengan. Tapi sesekali tentu tak apa, terkadang aku bisa menang mencurangi faring kok.

Tapi yang paling penting adalah aku akan mencintaimu melebihi cintaku dari makhluk bernama Es Krim. Kau tahu kan? Jika sudah berhadapan dengan makanan ini, bagai tak kenal panas terik atau hujan deras, jika otakku memiliki keinginan menyantapnya, maka faring dan tonsil akan mundur teratur. Namun, sepertinya beberapa waktu ke depan, aku akan berpuasa menjauh darinya. Jadi, kau tidak usah cemas, saingan terberatmu sudah aku bereskan.

Oya, maafkan juga jika kelak masakanku sedikit hambar. Kurang greget pedasnya. Kau tahu kan? Ini lagi-lagi karena faring dan tonsilku. Senyawa pedas hanya akan membuat mereka menjadi luka. Lagipula jika tak banyak membeli cabai, artinya aku tidak akan menghabiskan uang belanja kan? Terlebih lagi, saat ini harga cabai mahal. Betul kan?

Jadi, mungkin aku akan sedikit monoton. Tak banyak pilihan makanan yang bisa aku leluasa sajikan. Hanya akan berkutat seputar rebus dan kukus. Tapi kurasa itu menyehatkan. Dengan sedikit menghindari kenikmatan-kenikmatan itu, aku yakin kita masih bisa saling melihat rambut yang memutih bersama.

Kau mau?





P.S: Yup. Say no to spicy, fried foods, chocolate, and ice cream. Please be nice heart and brain. Control my body well. :'(

P.P.S: and Puhleeaaseee don't suggest to take Surgery. It scares me.
read more “Kau Mau?”

Sunday, August 1, 2010

Persepsi Pulang.

source: pic

Jangan dulu pulang. Aku sedang menenun selimut rindu. Kau kenakan nanti, biar kau tahu rasanya ketika jauh dariku.

Jangan dulu pulang. Mesin tenun ini sudah tua. Lambat sekali menyambung antar benang. Ku rekatkan warna jingga dan biru, dia berikan hijau.

Jangan dulu pulang. Tempayan di dapur belakang juga belum penuh. Air mataku lambat sekali menetes. Kelak jika sudah, ku buatkan secangkir teh setiap pagi. Rasakan getirnya air mataku di sana.

Jangan dulu pulang. Lukisan tentangmu juga belum selesai. Palet cat di sini masih kosong. Inspirasiku sedang jalan-jalan mengikuti langkahmu.

Jangan dulu pulang. Aku sedang memasak Cookies. Mereka sedang sauna di dalam oven. Mungkin masaknya agak lama, karena aku menyimpan Senyumku di dalam sana. Senyum yang beku karena kamu pergi.

Jangan dulu pulang. Belajarlah lebih lama lagi di luar sana. Resapi rasanya dirimu jika tanpa aku.

Jika sudah, maka kau boleh pulang.
kebetulan juga Selimut Rindu sudah jadi. Tempayan sudah penuh.
Lukisan Dirimu juga sudah selesai.
dan Cookies Senyum pun telah matang.

*****

Aku menunggu.

1 jam,

2 hari,

3 minggu,

1 tahun,

Kenapa kamu tidak jua pulang?

Apa peta hatiku telah hilang?
Apa Kau tertinggal kereta?
Apa waktu menutup penglihatanmu?

Atau...

memang kamu yang tak ingin pulang?


read more “Persepsi Pulang.”