Friday, February 25, 2011

Diam-diam.


Ada detak yang kembali terdengar. Detak yang sama siang itu, saat kupu-kupu pertama kali berterbangan di dalam perut. Detak yang juga sama, yang mengirimi sinyal-sinyal ke syaraf pipi membuatnya semerah tomat. Detak yang sama pada beberapa hari lalu, saat jarak hanya sepenggalan, namun kata-kata terlalu dalam tercekat. Menguarkan penyesalan tentang keberanian, yang pada saat itu menjadi zat paling volatil yang pernah ada.

Iya. Bodoh!

Untuk kali ini tidak apa-apa menjadi bodoh. Sesekali keluar dari fatwa makhluk Aries. Sesekali tidak sesumbar tentang keberanian. Sesekali tidak mencemooh kaum-kaum penakut. Karena aku sudah terlanjur bersimpuh. Menurut lunglai pada detak itu, yang membunuh sementara keberanian dan menghidupkan rasa malu berkali-kali lipat kuatnya.

Ini bukan tentang gengsi. Bukan juga tentang tabu. Sungguh, aku tidak pernah kenal dua kata itu. Ini hanya tentang menguapnya keberanian. Ini hanya tentang kepasrahan, yang terlanjur dilahirkan sebelum ada perjuangan.

Ini... tentang jatuh dalam diam.
Kepada kamu yang sama sekali tak pernah direncanakan oleh hati dan otak.

Kamu, boleh saja mengejekku. Menertawakan sepuasnya.
Ketika yang berkata dengan lincah hanya sepuluh jari.
Ketika yang mengungkap dengan jujur hanya deretan alinea panjang, surat-surat yang tak terkirim, atau secuil kenangan. Sepersekian detik dari waktu kita yang diijinkan bersinggungan.
Selebihnya, aku berkencan dengan detak, kupu-kupu yang berterbangan, dan secangkir kopi.
Yang asapnya mengepul rindu, menampar-nampar alam bawah sadar tentang rindu yang terlanjur penuh sesak di dalam sana.
Di dekat sumber detak keparat itu.

Kamu, apa kamu masih tertawa sekarang?
Teruskan saja! Rayakan kebodohanku.
Asal kau tahu, jika esok masih ada, jangan pernah marah.
Karena rindu untukmu belum tamat.
Meski aku selalu diam—dan mungkin akan selalu diam. 


 
read more “Diam-diam.”

Friday, February 18, 2011

Hei Putri, Kau Bahagia?

"Dia sudah menulis berbagai impiannya dalam hidup, Mbak. Mulai dari kursus bahasa, target kerja, kuliah hingga cita-citanya untuk menikah di umur 25 tahun. Kadang saya sering bilang "kok kamu ngoyo banget tho, Nduk? Bercita-cita dan berusaha boleh tapi jangan terlalu. Sisakan juga untuk menyenangkan diri sendiri" Ibu itu mengambil jeda sejenak sambil melanjutkan lagi pembicaraannya. Kali ini bukan cerita tentang putrinya, tapi beliau bertanya pada saya.

"Mbak, umurnya berapa? Mirip sekali dengan putri saya"

"Oh.. saya kelahiran 86, Bu. Jadi, sekarang masih 24 tahun" jawab saya.

"Ah..persis sekali seperti putri saya. Dia juga 24 tahun sekarang. Dia suka sekali ilmu kimia, Mbak. Makanya waktu kuliah kemarin, dia mengambil jurusan Kimia Analis"

"Ini kebetulannya banyak sekali ya, Bu. Saya.. uhm.. mungkin bisa dibilang kelainan. Terkadang perfeksionis tentang perencanaan. Sama seperti putri Ibu. Saya juga sangat menggilai Kimia. dulu kuliah juga ambil jurusan Kimia. Alhamdulillah.. sekarang pun punya pekerjaan yang hampir sesuai keinginan, tidak begitu jauh dari ilmu Kimia"

"Hahaha... iya, saya tahu persis bagaimana rasanya Mbak. Waktu putri saya dulu diterima menjadi Kimia Analis juga, rasanya membahagiakan sekali. Idealismenya menjadi kenyataan. Semangat dan kerja kerasnya selama ini membuahkan hasil yang manis"

"Putri Ibu masih bekerja sebagai analis sekarang? Dimana? Sepertinya kapan-kapan kalau saya bisa bertemu dan ngobrol dengannya sepertinya akan seru sekali!"

"Putri saya sudah nggak ada, Mbak. Kecelakaan motor satu setengah tahun lalu, mengambil dia dari saya. Padahal impiannya masih banyak. Cita-citanya belum tercapai. Kursus bahasa, kuliah lagi dan pergi ke luar negeri. Kamarnya hingga sekarang masih sama sejak terakhir dia tinggalkan. Jejak-jejak semangatnya, gigihnya bekerja hingga larut malam. Saya masih benar-benar mengingatnya. Tapi... memang hidup tidak bisa ditebak kan, Mbak?"

Saya diam.
Hai, kamu yang di atas sana. Tidak keberatan kan kalau aku panggil Putri?
Apa kabar di sana? Semoga kamu selalu bahagia.
Err... ralat!
Aku yakin kamu pasti selalu bahagia, karena Tuhan begitu dekat denganmu kan?
Ngomong-ngomong, kau punya Ibu yang hebat.
Dan sama seperti sebelumnya, kali ini aku yakin, jika semua untaian do'anya terkirim padamu.
Tetaplah bahagia di sana. Jangan pikirkan mimpimu yang belum tercapai.
karena Tuhan begitu sayang dirimu.

read more “Hei Putri, Kau Bahagia?”

Friday, February 11, 2011

Tolong Kirimkan ke Rotterdam

Kepada @syamsuria
Sahabatku,
Pemain bola idolaku.

Hai,
Apa kabarnya Belanda?
Apa suhu masih menggigit persendianmu?
Atau musim dingin sudah lama berlalu?
Ah entah sudah berapa lama kita tidak pernah lagi mendiskusikan perbedaan musim antara Rotterdam dan Jakarta.
Tapi satu yang pasti, ketika aku menulis surat ini sekarang (9.17 PM), kau masih diselimuti langit sore.
Kira-kira pukul empat di Rotterdam.
Benar kan? :)

Oya, apa kau masih berada di perpus sekarang?
Jangan terlalu giat belajar, makanlah sepiring pancake atau spaghetti dulu.
Katamu, di arah jalan pulang menuju apartemenmu ada resto spaghetti enak dengan harga sesuai kantong mahasiswa Indonesia.

Ahh.. Andai kita bisa rebutan sepiring spagetti berdua. Tentu akan seru!

Masih ingat kan dulu.. Entah berapa tahun yang lalu, kita berebut satu mangkuk mie ayam.
Kau curang sekali, mengambil dengan sumpit lalu menggulungnya berkali-kali sampai terbentuk bulatan besar.

Kau tahu? Itu hampir 3/4 dari seluruh porsi yang ada.
Tentu saja pada akhirnya kau yang akan lebih kenyang daripada aku!

Lalu, apa kau ingat juga ketika kita saling membantu saat skripsi? Ya ampun.. Kau guruku yang paling galak!
Mengajariku cara presentasi yang baik tapi dengan nada marah-marah. Padahal kau tahu, aku tidak mungkin bisa sepertimu.
Kamu.. Uhmm.. Dilahirkan dengan bakat alami sebagai presenter! Sedangkan aku, uhmm.. Peneliti sejati mungkin. Terkadang kikuk harus berhadapan dengan banyak orang.

Namun sebagai sahabat kita juga tidak luput dari ujian.
Aku hampir pastikan bahwa kau tidak akan lupa bagaimana kita pernah bertengkar sangat hebat!
Kita pernah tak saling bertegur sapa dalam waktu yang cukup lama. Kita membiarkan aura benci membutakan rasa kasih yang sesungguhnya hidup di antara kita. Kita menumbuhkan egoisme dan gengsi untuk menuturkan kata maaf.

Tapi aku sungguh bersyukur pada Sang Pemilik Waktu. Dia memang perencana paling hebat. Memberikan saat yang tepat untuk kita bertegur sapa kembali. Menyelipkan banyak pelajaran pada saat kita saling berjauhan. Sampai akhirnya, aku kembali bertemu kamu.

Iya, sesaat sebelum kau meninggalkan Indonesia.

Kau harusnya tahu, jangan lama-lama marah padaku. Karena itu artinya kau melewatkan banyak kejadian penting dalam hari-hariku.

Akhirnya terbukti kan? Semenjak bertemu denganmu lagi, aku bercerita tanpa henti. Aku seolah-olah punya ribuan buku untuk dibacakan padamu. Sampai-sampai kau terlelap tidur saking lelahnya mendengarkanku! Hahaha.

Tapi meskipun begitu, aku tetap suka berbicara denganmu. Kau menempatkanku pada level yang sama denganmu. Kau sungguh mengerti bagaimana memperlakukan orang berkarakter Aries, yang tidak suka diperintah, didikte, atau disalahkan. Yah.. walaupun pada akhirnya aku meng-amin-i nasehat-nasehatmu sih, tapi setidaknya untuk tiba di sana, kita melalui tahapan diskusi yang panjang. Hahaha!

Oke. Sepertinya jika aku terus meracau di sini, pasti aku tidak akan selesai. Lagipula nanti kau bisa ge-er berlebihan, seolah-olah rasa sayangku padamu begitu menggunung, melebihi rasa sayangmu padaku.

Enak saja!

Aku,
Sahabatmu,
Salah satu tempat terpercayamu. :p







PS: Jangan mengajakku chatting akhir pekan ini. Aku sibuk persiapan Rakor Kedeputian.
PPS: Sebagai gantinya, tulis saja surat balasan. Entah kau hubungi Tukang Pos Cinta, atau alamat emailku! :p
read more “Tolong Kirimkan ke Rotterdam”