Friday, September 30, 2011

Delapanpuluh Batu

Mungkin aku hanyalah lakon kecil dari sederetan nama besar yang gaung hikayatnya telah menembus dimensi waktu kekinian. Aku pun tidak ingat namaku. Namun yang aku ingat dengan seyakin-yakinnya adalah, aku akan menjadi satu-satunya pengantar cerita ini kepada kaum kalian. Kaum yang memiliki tata semestanya sendiri. Tata semesta yang disebut hati―yang ku dengar lebih rumit dibanding pertanyaan Kresna pada Gusti Agung tentang "Apakah titisan dewa tidak bisa mati?"―yang ku perkirakan juga lebih rumit dari segala alasan yang menjadikan pertikaian antara Pandawa dan Kurawa benar adanya.

Aku adalah bagian yang tidak perlu diingat. Pun keberadaanku pada malam itu tidak istimewa sama sekali. Namun cukup sudah malam itu mengajariku tentang arti kehilangan yang dalam. Arti harapan yang terburai sia-sia. Atau arti cinta yang menutupi mata.

Kisah ini dimulai ketika seorang kawan mengabarkan adanya lowongan pekerjaan di suatu tempat yang mengagumkan―setidaknya mungkin ini istilah yang paling mendekati dengan keadaan jaman dulu, karena sesungguhnya kaum kami tidak mengenal sebutan "kawan" atau "lowongan pekerjaan".

Pekerjaan yang ditawarkan sebenarnya sangat mudah. Tidak memerlukan keterampilan khusus. Kami hanya mengikuti perintah tentang bagaimana dan dimana kami harus menumpuk-numpuk batu agar terbentuk suatu bangunan. Sejauh ini memang tidak ada yang aneh, namun jika kalian melihat berapa jumlah pekerja yang dikumpulkan malam itu, mungkin kalian akan merinding. Entah berapa ribu bala bantuan yang dihadirkan dari seluruh pelosok negeri.

Aku bertanya-tanya pada kawanku, "Sebenarnya ada apa semua dengan semua ini?"
"Sama seperti dirimu. Aku juga tidak tahu. Kau mengerti kan, pekerja seperti kita tidak pernah punya hak mewah, bahkan untuk sekedar mengetahui tujuan setiap pekerjaanpun, kita tidak punya" Jawab kawanku yang kemudian membuatku diam.

Tidak berapa lama kemudian, seluruh pekerja dibagi beberapa kelompok, atau mungkin ratusan kelompok. Sungguh, aku tidak tahu pasti. Malam itu gelap dan aku tak bisa leluasa memperhatikan sekeliling karena setiap kelompok kerja diawasi Mandor. Sayup-sayup ku dengar dari obrolan para mandor yang entah berarti apa, namun ada kata-kata berikut ini: "1000 bagian", "terbit fajar", dan "cinta".

Aku mungkin pekerja yang paling tidak bisa tenang waktu itu―karena demi seluruh Dewa Dewi yang ada di langit―aroma teka-teki yang tidak biasa ini tercium keras. Mungkin sama kerasnya dengan perintah-perintah yang memaksa kami untuk bekerja lebih cepat lagi dan lagi. Tanpa ada kegagalan sebelum fajar tiba.

Tunggu! Apakah tadi aku mendengar kalimat "tanpa ada kegagalan sebelum fajar tiba?"
Benarkah?

Ah.. akhirnya aku setidaknya mengetahui berapa lama lagi aku harus selesai bekerja. Yang menurut perkiraanku saat itu, hanya tinggal beberapa saat lagi sampai fajar menyingsing.

Namun tidak, sampai terjadi hal ini...

Entah apa yang ku lakukan, aku menumpuk batu yang salah sedari tadi. Ini karena aku yang terlalu sibuk menelaah semua keanehan malam ini. Ini karena aku selalu tidak ingin menerima mentah-mentah setiap perintah. Ini karena.. aku melakukan kesalahan fatal!

Ada 80 tumpukan batu yang menempati tempat yang tidak semestinya, yang lewat dari kesadaranku bekerja atau yang sama sekali lalai dari pengamatan mandor.

Aku melakukan usaha tercepat yang pernah aku lakukan. Ku robohkan dengan tergesa kedelapan puluh tumpukan batu yang berpenampilan abstrak itu. Aku bisa merasakan tatapan cemoohan ribuan pekerja lainnya, tapi sungguh aku tak peduli. Aku lebih peduli pada monster mengerikan yang berada di belakang punggungku, monster yang bernama "fajar menyingsing" yang semakin berlari mendekat.

Tidak. Jangan harap ampunan dari Sing Mbahu Rekso. Bahkan ku pastikan tidak akan ada seorang mandorpun yang akan memaafkan kesalahanku kali ini. Tidak ada.

Sampai akhirnya, masih ada duabelas batu lagi yang harus aku susun, kemudian kami semua dikejutkan oleh ayam jantan dari kampung seberang yang berkokok dengan lantangnya. Bukan seekor ayam jantan, mungkin ada satu kampung ayam jantan yang sedang berkokok bersahutan berbarengan. Belum lagi bunyi ibu-ibu petani yang memukul lesung padi yang menandakan pekerjaan manusia telah dimulai. Saat itu, semua bebunyian itu menyatu menjadi iirama yang paling meradang di gendang telinga.

Fajar sudah menyingsing. Fajar sudah terbit.
Sedang pekerjaan belum berakhir.

"Tidak! Tolong Dewa, jangan kau bilang hari ini sudah subuh. Aku paham benar kapan waktu pagi dan dini hari. Tidak. Ini belum waktunya mataharimu menerangi bumi. Tidak sampai aku selesaikan duabelas batu lagi, untuk menggenapi 1000 bangunan yang diminta. Tidak, Dewa! Tidak!" teriakku dalam batin.

Seketika Sing Mbahu Rekso―Pangeran yang Agung, menggelegarkan amarah yang membuncah angkasa. Sungguh, aku pikir kali itu adalah masa terakhirku. Aku sepertinya sangat pantas apabila dihabisi saat itu juga. Namun, tidak!

Pangeran justru murka pada Putri. Ia berteriak keras bahwa sang Putri telah berbuat curang. Memanggil pagi lebih dahulu, semata-mata demi menggagalkan pembuatan 1000 bangunan dalam semalam. Semata-mata menggagalkan keinginannya untuk bersanding dengan Putri selamanya.

Pangeran marah. Ini amarah terbesarnya. Amarah yang tidak main-main.
Tidak ada seorangpun dari kami yang berani mengangkat wajah. Tidak ada seorangpun yang dengan bodohnya berani bergerak.

"Putri.. sesungguhnya kecantikan paras dan hatimu lah yang mengantarkanku kemari. Yang mengantar ribuan pekerja untuk melengkapi 1000 bangunan prasyaratmu. Yang dengan lugunya ku amini sebagai harapan nyata bahwa kita dapat bersama. Namun kali ini biarlah pengkhianatanmu sendiri yang mengantarkanmu pada akhir cerita hidupmu, Putri. Janji sudah terlanjur terkoyak oleh kelakuanmu"

" Andai cinta yang sesungguhnya sempat singgah di hatimu, Pangeran. Maka kau akan paham bagaimana aku rela kembali ke tanah, dibanding memuja lelaki yang tak pernah ku cintai sepanjang hayat"

"Kau benar-benar menghinaku, Putri! Pergilah. Lengkapilah prasyaratmu dengan tubuhmu!"

Seketika itu pula, langit subuh dihiasi cahaya biru yang menyilaukan mata. Mengakhiri segala amarah dan harapan yang pernah meletup-letup dalam dada Pangeran. Mengakhiri kisah cinta yang tak pernah menemukan muaranya.

Pangeran tetap terluka. Sedang Putri hidup kekal―dalam jelmaannya sebagai bangunan ke-seribu.
Di suatu tempat yang kalian kini menyebutnya sebagai Candi Prambanan.



read more “Delapanpuluh Batu”

Thursday, August 18, 2011

Lihat Nanti.


Mungkin nanti ada saatnya semesta bercerita
Menyenandungkan setiap kata dari melodi pengharapan
Melodi satir yang lagi-lagi bernada cinta
Atas nama tak berbalas atau tak sempat terucap lisan

Mungkin nanti ada saatnya alam astral mentasbihkan pertanyaan
Penyambung lidah dari rasa di sanubari
Yang terlanjur dibentengi oleh sikapmu
Yang tidak memberi kunci pada pintu kesempatan

Mungkin nanti ada saatnya
Kau terhanyut dalam kembang api monokrom
Yang warnanya luruh oleh cinta yang kau tolak
Yang tak kau dengarkan
Yang kau acuhkan

Mungkin nanti akan ada saatnya
Kau berjalan menuju rumah
Dengan bayangan sebagai pasangan setia

Dan bila saat itu tiba,
Jangan berusaha mengingatku
Karena jatuh cinta padamu cukup sekali
Dan sudah berakhir sejak sehari lalu


read more “Lihat Nanti.”

Wednesday, April 20, 2011

Anomali.


"Sedang baca apa sih? Serius begitu wajahnya" tanya suara berat di sampingnya.
"Penggalan surat Kartini yang ditulis untuk Nyonya Abendanon. Beliau adalah salah satu sahabat pena Ibu Kartini. Coba dengarkan sebentar, biar ku bacakan"
Lelaki itu nampak ingin protes, namun wanita di sampingnya sudah terlanjur bersuara.

Pasti tiba saat di mana aku akan disandingkan dengan seorang suami yang belum kukenal. Di Jawa, cinta hanya sebuah khayalan. Orang Jawa yang sangat beradab bisa dihitung dengan jari, tapi budaya dan pendidikan belum diperhitungkan dalam hal immoralitas. Carilah dan mintalah sesuatu dari dunia aristokrasi laki-laki itu tapi bukan ini, moralitas, karena akan sia-sia. Aku benci. Aku memandang rendah mereka semua.

"Hmm.. sudah selesai?"
"Iya"
"Lalu.. apa kau sekarang akan memandang rendah kaum kami?"
"Tidak. Kecuali kaum kalian masih tidak mau belajar moralitas. Hal yang sama yang kaum kami minta sejak dulu. Setidaknya sejak jaman Ibu Kartini"
"Hmm.. apa yang membuatmu berpikir bahwa kami tidak belajar moralitas?"
"Jangan pura-pura kau tak mengetahui, hidup seperti apa yang sedang kita jalani saat ini. Angka KDRT yang tinggi, perdagangan wanita, eksploitasi kehormatan wanita, bahkan sexual harassment di angkutan publik. Demi Tuhan, entah dimana letaknya hati kalian"
"Oh wow! Nampaknya anda sedang masuk dalam ranah generalisasi, Nona!"
"Hahaha.. Biar kuberi tahu ya Tuan, mau generalisasi atau tidak, faktanya susah betul jaman sekarang untuk bisa bertemu dengan laki-laki baik. Kecuali kau tentunya, harus ku akui kalau aku cukup beruntung"

"Lalu.. apa pendapatmu tentang cinta? Apa kau akan seperjuangan dengan Ibu Kartini?"
"Oh C'mon.. kau jangan meledek begitu! Tapi memang harus ku akui, aku setuju dengan beliau. Cinta itu impian harga mahal. Khayalan paripurna dari sosok Cinderella atau Putri Tidur. Mungkin hanya eksis sebagai teori, selayaknya teori hukum gas ideal. Pengingat bahwa kita semua bermimpi untuk memiliki hal sesempurna itu, karena kenyataannya tidak"

"Ah kau terlalu berlebihan, cinta itu natural. Hadiah gratis dari Tuhan yang akan diberikan untuk setiap umatnya. Cinta itu yang menghangatkan hatimu, yang menyentuh jiwamu untuk berbuat baik"

"Begitukah menurutmu? Aku fikir ketika kau berbuat baik, lebih dikarenakan oleh isi otakmu yang sedang berfikir baik. Logikamu berjalan bahwa kebaikan akan memberikan manfaat bagi banyak orang, sedang sebaliknya tidak"

"Lalu teori apa lagi yang bisa kau jelaskan dari dua manusia yang menikah? Menurutmu apa itu ditentukan juga oleh otak yang berfikir baik?"

"Entahlah.. tapi ku rasa mereka telah memproklamirkan diri untuk menghamba pada impian mahal tadi—Cinta. Entah untuk merasakan utopia atau mencoba membuktikan bahwa suatu yang sempurna itu ada"

"Entah apa isi kepalamu hingga sedemikian skeptisnya. Tapi.. coba sekali-sekali kau berlogika seperti ini, kau akan butuh pasangan. Sebagai tempat kau berbagi rasa, bercerita dan menjalani hidup bersama"

"Satu, aku sudah punya Tuhan. Dia Maha Cukup sebagai tempatku berbagi dan bercerita. Bahkan segala solusi terbaik dimiliki olehNya. Kedua, aku punya sahabat—kau salah satunya, yang setia menjalani kegilaan sehari-hari bersamaku. Tiga, aku punya diriku. Itu yang paling penting. Karena kau tahu, ketika orang lain datang dan pergi dalam kehidupanmu, dirimu sendiri adalah satu-satunya makhluk yang akan tersisa yang akan menemani tubuhmu. So, apa lagi yang aku butuhkan?"

"Eh aku turun di sini aja deh. Baru ingat tadi Edo nitip dibeliin makan siang. Salam buat Nayla ya, sorry gak bisa lihat pentasnya"

Iya, hari ini sudah dua kali lelaki kehilangan kesempatan untuk berbicara lebih dulu. Entah berapa lama ia terpaku di tempat parkir, walau bayang wanita tadi—ia yang bernama Kandi, telah jauh memunggungi mobilnya.

*****

"Ayah! Aku deg-degan! Aku takut gak hafal lagu Ibu Kita Kartini!" teriak bocah berumur 7 tahun bernama Nayla itu sesaat setelah Sang Ayah menampakkan wajahnya.

"Bidadari gak pernah takut, sayang. Apalagi sudah sering latihan kan? Pokoknya kalau bisa gak gugup tampilnya, sabtu ini kita jalan-jalan ke Dufan deh! Terus kita makan yang enak-enak. Bagaimana?"

"Ayah, aku mau hadiahnya Tante Kandi jadi Mama Nayla! Bisa kan, Yah?"

"Nayla.. sini yuk sama baris sama teman-temannya yang lain, sebentar lagi kalian tampil loh"

"Dah, Ayah!" Kecup Nayla cepat segera berkumpul dengan teman lainnya.

Tiga kali.
Tiga kali dalam sehari ini ia kalah dalam adu cepat dalam berbicara. Namun, tidak untuk yang ketiga.
Ia merasa diselamatkan.






PS: Penggalan surat Kartini diambil dari sini
read more “Anomali.”

Friday, February 25, 2011

Diam-diam.


Ada detak yang kembali terdengar. Detak yang sama siang itu, saat kupu-kupu pertama kali berterbangan di dalam perut. Detak yang juga sama, yang mengirimi sinyal-sinyal ke syaraf pipi membuatnya semerah tomat. Detak yang sama pada beberapa hari lalu, saat jarak hanya sepenggalan, namun kata-kata terlalu dalam tercekat. Menguarkan penyesalan tentang keberanian, yang pada saat itu menjadi zat paling volatil yang pernah ada.

Iya. Bodoh!

Untuk kali ini tidak apa-apa menjadi bodoh. Sesekali keluar dari fatwa makhluk Aries. Sesekali tidak sesumbar tentang keberanian. Sesekali tidak mencemooh kaum-kaum penakut. Karena aku sudah terlanjur bersimpuh. Menurut lunglai pada detak itu, yang membunuh sementara keberanian dan menghidupkan rasa malu berkali-kali lipat kuatnya.

Ini bukan tentang gengsi. Bukan juga tentang tabu. Sungguh, aku tidak pernah kenal dua kata itu. Ini hanya tentang menguapnya keberanian. Ini hanya tentang kepasrahan, yang terlanjur dilahirkan sebelum ada perjuangan.

Ini... tentang jatuh dalam diam.
Kepada kamu yang sama sekali tak pernah direncanakan oleh hati dan otak.

Kamu, boleh saja mengejekku. Menertawakan sepuasnya.
Ketika yang berkata dengan lincah hanya sepuluh jari.
Ketika yang mengungkap dengan jujur hanya deretan alinea panjang, surat-surat yang tak terkirim, atau secuil kenangan. Sepersekian detik dari waktu kita yang diijinkan bersinggungan.
Selebihnya, aku berkencan dengan detak, kupu-kupu yang berterbangan, dan secangkir kopi.
Yang asapnya mengepul rindu, menampar-nampar alam bawah sadar tentang rindu yang terlanjur penuh sesak di dalam sana.
Di dekat sumber detak keparat itu.

Kamu, apa kamu masih tertawa sekarang?
Teruskan saja! Rayakan kebodohanku.
Asal kau tahu, jika esok masih ada, jangan pernah marah.
Karena rindu untukmu belum tamat.
Meski aku selalu diam—dan mungkin akan selalu diam. 


 
read more “Diam-diam.”

Friday, February 18, 2011

Hei Putri, Kau Bahagia?

"Dia sudah menulis berbagai impiannya dalam hidup, Mbak. Mulai dari kursus bahasa, target kerja, kuliah hingga cita-citanya untuk menikah di umur 25 tahun. Kadang saya sering bilang "kok kamu ngoyo banget tho, Nduk? Bercita-cita dan berusaha boleh tapi jangan terlalu. Sisakan juga untuk menyenangkan diri sendiri" Ibu itu mengambil jeda sejenak sambil melanjutkan lagi pembicaraannya. Kali ini bukan cerita tentang putrinya, tapi beliau bertanya pada saya.

"Mbak, umurnya berapa? Mirip sekali dengan putri saya"

"Oh.. saya kelahiran 86, Bu. Jadi, sekarang masih 24 tahun" jawab saya.

"Ah..persis sekali seperti putri saya. Dia juga 24 tahun sekarang. Dia suka sekali ilmu kimia, Mbak. Makanya waktu kuliah kemarin, dia mengambil jurusan Kimia Analis"

"Ini kebetulannya banyak sekali ya, Bu. Saya.. uhm.. mungkin bisa dibilang kelainan. Terkadang perfeksionis tentang perencanaan. Sama seperti putri Ibu. Saya juga sangat menggilai Kimia. dulu kuliah juga ambil jurusan Kimia. Alhamdulillah.. sekarang pun punya pekerjaan yang hampir sesuai keinginan, tidak begitu jauh dari ilmu Kimia"

"Hahaha... iya, saya tahu persis bagaimana rasanya Mbak. Waktu putri saya dulu diterima menjadi Kimia Analis juga, rasanya membahagiakan sekali. Idealismenya menjadi kenyataan. Semangat dan kerja kerasnya selama ini membuahkan hasil yang manis"

"Putri Ibu masih bekerja sebagai analis sekarang? Dimana? Sepertinya kapan-kapan kalau saya bisa bertemu dan ngobrol dengannya sepertinya akan seru sekali!"

"Putri saya sudah nggak ada, Mbak. Kecelakaan motor satu setengah tahun lalu, mengambil dia dari saya. Padahal impiannya masih banyak. Cita-citanya belum tercapai. Kursus bahasa, kuliah lagi dan pergi ke luar negeri. Kamarnya hingga sekarang masih sama sejak terakhir dia tinggalkan. Jejak-jejak semangatnya, gigihnya bekerja hingga larut malam. Saya masih benar-benar mengingatnya. Tapi... memang hidup tidak bisa ditebak kan, Mbak?"

Saya diam.
Hai, kamu yang di atas sana. Tidak keberatan kan kalau aku panggil Putri?
Apa kabar di sana? Semoga kamu selalu bahagia.
Err... ralat!
Aku yakin kamu pasti selalu bahagia, karena Tuhan begitu dekat denganmu kan?
Ngomong-ngomong, kau punya Ibu yang hebat.
Dan sama seperti sebelumnya, kali ini aku yakin, jika semua untaian do'anya terkirim padamu.
Tetaplah bahagia di sana. Jangan pikirkan mimpimu yang belum tercapai.
karena Tuhan begitu sayang dirimu.

read more “Hei Putri, Kau Bahagia?”

Friday, February 11, 2011

Tolong Kirimkan ke Rotterdam

Kepada @syamsuria
Sahabatku,
Pemain bola idolaku.

Hai,
Apa kabarnya Belanda?
Apa suhu masih menggigit persendianmu?
Atau musim dingin sudah lama berlalu?
Ah entah sudah berapa lama kita tidak pernah lagi mendiskusikan perbedaan musim antara Rotterdam dan Jakarta.
Tapi satu yang pasti, ketika aku menulis surat ini sekarang (9.17 PM), kau masih diselimuti langit sore.
Kira-kira pukul empat di Rotterdam.
Benar kan? :)

Oya, apa kau masih berada di perpus sekarang?
Jangan terlalu giat belajar, makanlah sepiring pancake atau spaghetti dulu.
Katamu, di arah jalan pulang menuju apartemenmu ada resto spaghetti enak dengan harga sesuai kantong mahasiswa Indonesia.

Ahh.. Andai kita bisa rebutan sepiring spagetti berdua. Tentu akan seru!

Masih ingat kan dulu.. Entah berapa tahun yang lalu, kita berebut satu mangkuk mie ayam.
Kau curang sekali, mengambil dengan sumpit lalu menggulungnya berkali-kali sampai terbentuk bulatan besar.

Kau tahu? Itu hampir 3/4 dari seluruh porsi yang ada.
Tentu saja pada akhirnya kau yang akan lebih kenyang daripada aku!

Lalu, apa kau ingat juga ketika kita saling membantu saat skripsi? Ya ampun.. Kau guruku yang paling galak!
Mengajariku cara presentasi yang baik tapi dengan nada marah-marah. Padahal kau tahu, aku tidak mungkin bisa sepertimu.
Kamu.. Uhmm.. Dilahirkan dengan bakat alami sebagai presenter! Sedangkan aku, uhmm.. Peneliti sejati mungkin. Terkadang kikuk harus berhadapan dengan banyak orang.

Namun sebagai sahabat kita juga tidak luput dari ujian.
Aku hampir pastikan bahwa kau tidak akan lupa bagaimana kita pernah bertengkar sangat hebat!
Kita pernah tak saling bertegur sapa dalam waktu yang cukup lama. Kita membiarkan aura benci membutakan rasa kasih yang sesungguhnya hidup di antara kita. Kita menumbuhkan egoisme dan gengsi untuk menuturkan kata maaf.

Tapi aku sungguh bersyukur pada Sang Pemilik Waktu. Dia memang perencana paling hebat. Memberikan saat yang tepat untuk kita bertegur sapa kembali. Menyelipkan banyak pelajaran pada saat kita saling berjauhan. Sampai akhirnya, aku kembali bertemu kamu.

Iya, sesaat sebelum kau meninggalkan Indonesia.

Kau harusnya tahu, jangan lama-lama marah padaku. Karena itu artinya kau melewatkan banyak kejadian penting dalam hari-hariku.

Akhirnya terbukti kan? Semenjak bertemu denganmu lagi, aku bercerita tanpa henti. Aku seolah-olah punya ribuan buku untuk dibacakan padamu. Sampai-sampai kau terlelap tidur saking lelahnya mendengarkanku! Hahaha.

Tapi meskipun begitu, aku tetap suka berbicara denganmu. Kau menempatkanku pada level yang sama denganmu. Kau sungguh mengerti bagaimana memperlakukan orang berkarakter Aries, yang tidak suka diperintah, didikte, atau disalahkan. Yah.. walaupun pada akhirnya aku meng-amin-i nasehat-nasehatmu sih, tapi setidaknya untuk tiba di sana, kita melalui tahapan diskusi yang panjang. Hahaha!

Oke. Sepertinya jika aku terus meracau di sini, pasti aku tidak akan selesai. Lagipula nanti kau bisa ge-er berlebihan, seolah-olah rasa sayangku padamu begitu menggunung, melebihi rasa sayangmu padaku.

Enak saja!

Aku,
Sahabatmu,
Salah satu tempat terpercayamu. :p







PS: Jangan mengajakku chatting akhir pekan ini. Aku sibuk persiapan Rakor Kedeputian.
PPS: Sebagai gantinya, tulis saja surat balasan. Entah kau hubungi Tukang Pos Cinta, atau alamat emailku! :p
read more “Tolong Kirimkan ke Rotterdam”

Sunday, January 16, 2011

Bertemu Tabib.

 Empat tahun yang lalu, bukan di pantai yang eksotik, bukan di ujung senja, bukan juga di bawah dekapan hangat hujan deras, kita—aku dan kamu—pertama kalinya bersua wajah.
Sebuah kota kecil yang asri, yang masih dikelilingi banyak sawah hijau dan pohon-pohon kapas yang menjulang tinggi menjadi saksi awal kisah kita.
Pada saat itu kau menyapaku dengan hangat, sangat hangat malah.
Seolah-olah kau sudah mengenaliku lebih dulu, sudah mengumpulkan banyak informasi tentangku, sudah hafal gerak-gerikku, bahkan seperti sudah mengerti isi kepalaku, padahal kita baru saja bertemu.

Aku, baru benar-benar ketemu kamu.

Tapi, ya begitulah kamu. Terlalu berpengalaman dalam hal bagaimana membina hubungan pertemanan. Hingga tak heran jika selanjutnya kita menjadi sahabat karib.
Teman seiring sejalan.

Kau pun royal memberiku hadiah. Dari kupu-kupu, bunga mawar, injeksi adrenalin gratis, hingga kekuatan tambahan untuk otot-otot pipi supaya tidak pegal ketika harus terus-menerus tersenyum sepanjang hari.
Kau juga terkadang sangat iseng. Menghadiahiku pelangi.
Jika sudah begitu, aku pasti akan marah-marah.
“Aku suka pelangi. Sungguh suka. tapi kalau Tuhan marah bagaimana? Salah satu keindahanNya kan sedang dicuri olehmu”
“Kalau manusia lain juga iri bagaimana? Apa aku harus membagi-baginya?” Kataku kemudian.
“Tenang saja.. itu hadiah dari Tuhan kok” jawabmu santai sambil tak lupa tersenyum simpul.

Jawaban ini pula yang aku dapatkan ketika suatu waktu aku pernah bertanya dari mana asalmu.
Jujur, kau begitu misterius. Sangat misterius.
Kau begitu mengerti aku, kau begitu memahamiku. Sedangkan aku? Sama sekali tidak mengenalmu.
Setiap kali aku bertanya, kau pasti akan selalu menjawab “Dari Tuhan”.
Setiap kali aku berkeluh kesah dalam memahamimu, kau pun akan selalu bilang “Tanyalah pada Tuhan”
Setiap kali pertanyaan lain muncul, kau tetap menjawab “Coba cari tahu sendiri. Itu pekerjaan rumah dari Tuhan”

Sampai akhirnya, kita diuji.
Lebih tepatnya, aku yang diuji.
Dua tahun di umur pertemanan kita, aku meledak.
Aku marah besar.
Aku sedang dalam kesulitan, dan kau yang selama ini mengaku sebagai sahabatku cuma bisa diam dan melihat saja.
Tidak ada lagi komunikasi berarti.
Karena semua perkataanku akan mendapat reaksi yang sama darimu.
Kau seperti robot yang hanya terprogram untuk bisa bilang “Itu dari Tuhan”.

Aku-pada-saat-itu-benci-sekali-padamu.

Hingga kemudian aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan pertemanan ini.
Kau berpetualang sendiri.
Dan aku hidup sendiri dengan…. penyakit.
Ya!
Entah kenapa semenjak kita berpisah, penyakit itu datang.
Aku didera penyakit ganas.
Namanya Nosophobia*.
Entah kau mencampurkan virus apa selama ini dalam setiap hadiah yang kau beri, sampai-sampai aku semenderita ini.
Aku selalu ketakutan. Aku selalu marah. Aku selalu merasa benci. Aku selalu ingin berontak.
Aku lupa kata damai. Sungguh lupa.

Dan anehnya, ketika aku semakin tak mempercayaimu, semakin aku membencimu, maka semakin menyebar pula penyakit itu. Tak ubahnya seperti tumor yang bermetastatis ke seluruh tubuh.
Dan sungguh tidak mudah mengobati penyakit ini.
Segala hal ku lakukan. Segala hal. Sampai-sampai aku tidak sanggup menghitungnya lagi.
Segala hal, tanpa mencoba memasukkan nama tabib terhebat di muka bumi ini yang selalu kau sebut dulu.
Ya. Kau tahu kan? Aku benci dan tidak percaya lagi padamu, lalu kenapa aku harus percaya perkataanmu dulu? Aku gengsi!
Tapi karena entah kenapa nama itu terus bergema di telinga, akhirnya ku langkahkan kaki ke sana. Ku tundukkan wajah ke hadapannya.
Berusaha berkunjung kepadanya.
Dan kau benar. Kau sungguh benar. Dia sungguh tabib yang hebat.
Iya. Tuhan, tabib terhebat yang pernah ada.

Dia menyembuhkan setiap luka dengan perlahan.
Penuh kasih. Penuh sayang.
Dia tak memarahiku yang pada saat itu datang terlambat.
Dia masih tersenyum padaku.
Dia hangat merengkuhku.
Bahkan Dia membuat kita rujuk kembali.
Ya, Aku mungkin terlalu terlambat menyadarinya, tapi kau memang sahabat yang baik.

Kau, yang bernama Cinta adalah sahabat yang baik.

Aku baru menyadari bahwa luka dalam bercinta bukanlah karena ulahmu.
Tapi karena manusia bengis yang suka melakukan sesuatu yang keji dengan meminjam namamu.
Membuat manusia yang awam tentang cinta seperti ku ini langsung membabi buta menyerangmu.

Ah Cinta, maafkan aku.

Kelak jika ada lagi ketidakbahagiaan dalam cinta, mungkin akan ku anggap itu bonus.
Untuk lebih bermurah hati dan melatih memaafkan.
Untuk lebih mencintai kebahagiaan dan mensyukuri setiap senyuman yang tercipta.
Untuk lebih menghargai lagi setiap tetes air mata.
Untuk lebih berterimakasih akan anugerahNya.
Iya, kau yang bersematkan nama Cinta.

Aku,
Dewi Srikandi.



PS: Bisa kau katakan kepada Arjuna jika kali ini aku sedang tidak menulis tentangnya. Katakan saja, aku memimpikannya semalam.
PPS: Oh ya Cinta, terimakasih kau datang lagi kali ini. :)




*Nosophobia = istilah dramatis yang berarti ketakutan yang irrasional terhadap suatu penyakit, misal: jatuh cinta atau patah hati lagi. Istilah ini diambil dari buku Doctors-Erich Seagal
read more “Bertemu Tabib.”

Saturday, January 15, 2011

Tarian Hujan.


Seharusnya surat ini bisa terkirim empat jam yang lalu.
Saat hujan sedang lebat-lebatnya.
Saat matahari sedang sembunyi-sembunyinya.
Saat aku kehilangan tapak-tapak bayanganmu di ujung jalan sana.

Tapi sayang, empat jam yang lalu aku masih berjibaku di dapur.
Mengepulkan asap masakan hari ini.
Tidak istimewa, hanya tumis wortel-buncis dengan ikan goreng yang lengkap dengan sambal terasinya.
Jangan bayangkan makanannya sekarang!
Kelak, jika kita sudah berbagi atap dalam cinta yang sama,
kau akan menjadi orang pertama yang rutin ku jamu masakan tanganku setiap hari.

Aku janji tidak akan ada MSG, karena aku tak mau kita kehabisan ingatan terlalu cepat.
Tidak akan ada garam berlebih, kau tahu kan? cukup karena cintaku saja jantungmu berdetak terlalu cepat. Bukan karena hipertensi.
Tidak akan ada minyak berlebihan, karena dengan begitu faringitis akan menjauhiku.
Dan tidak akan ada junkfood berlebih. Selain tidak terlalu sehat, aku tidak mau lidahmu lebih terbiasa cita rasa resto dibanding masakanku sendiri.
Toh mulai sekarang pun aku suka bereksperimen dengan masakan resto kok.

Sebut saja pancake atau steak
Dua makanan ini jadi makanan favorit yang sering aku uji coba di dapur.
Walaupun akhirnya terkadang terlalu manis, atau terlalu matang.
Tapi tenang saja, akan ku pastikan, di saat kau semakin dekat menujuku, semakin mahir pula aku menguasai keduanya.

Oh ya, sudah ku katakan belum jika hari ini aku bahagia?
Berbahagia untuk mengetahuimu masih berada di kota yang sama.
Kita masih berbagi matahari dan hujan yang sama.
Hujan tadi pagi yang lebat.
Yang sayangnya tidak cukup lebat untuk menghapus rindu.
Kau tahu kan?
Akan selalu ada rindu yang tersimpan dalam tiap tetes hujan.
Rindu untuk melihat matahari.
Karena hanya dengan sinarnya, membuat bayanganmu nyata


Aku,
Dewi Srikandi, yang selalu suka memperhatikanmu diam-diam.




PS: Ah Arjuna, maaf jika suratku tidak panjang. Aku sedang terburu-buru sekarang. Mau mengusir kucing betina hamil yang sering sekali masuk rumah lewat atap. Bukan aku benci kucing, kau tahu kan mereka makhluk manis? Hanya saja aku kelewat khawatir jika waktu kelahirannya ada di rumah ini. Aku sungguh tak kuasa melihat bayi-bayi kucing baru lahir. Ah aku harus buru-buru sekarang. Oh Tidak! Dia mulai naik ke atas meja makanku! Semoga harimu menyenangkan!
read more “Tarian Hujan.”

Friday, January 14, 2011

Pengakuan Resmi.


Hai Arjuna,
Tak keberatan kan jika aku sebut seperti itu?
Satu, karena aku memang menyukai Dewi Srikandi. Wanita gagah berani dengan bekal panah Hrusangkali di tangannya.
Dua, dan karena aku jatuh cinta pada Dewi Srikandi, sudah dapat dipastikan bahwa aku juga akan jatuh cinta pada nama Arjuna.
Untuk itu, kau akan ku panggil Arjuna.

Oh ya, jangan terlalu memasukkan dalam hati perihal banyak mitos yang berkembang tentang Arjuna dan Srikandi.
Ahli sejarah banyak yang mengemukakan bahwa Srikandi melakukan segala cara untuk mendapatkan Arjuna,
termasuk merebutnya dari hati orang lain.
Tapi Srikandi yang ini berbeda.

Hanya jatuh padamu dalam diam.
Dalam segenap bunga matahari yang mekar dalam hati.
Dalam segerombolan kupu-kupu yang terbang menyesakkan perut.
Dalam pipi yang bersemu merah.
Diam-diam.

Jangan pernah bertanya kapan pula kita pertama kali bertemu.
Itu adalah permainan semesta.
Dimensi waktu kita disinggungkan tanpa pernah aku rencanakan.
Tanpa pernah kamu rencanakan.
Tanpa pernah kita rencanakan.

Satu yang pasti, kita hanya pernah bersua wajah dua kali.
Tapi itu cukup bagiku. Untuk merekam betapa tegasnya garis wajahmu.
Atau betapa pelitnya senyumanmu.
Iya. Kamu sungguh-amat-sangat-pelit untuk tersenyum.
Dan juga pelit berbicara.

Tapi kemudian, siapa yang peduli?
Jika hati yang jatuh padamu?

Ah. sudahlah.
Lebih baik aku menyudahi saja surat ini.
Sebelum jantung ini copot saking banyak berdetak tak karuan.


Aku,
Dewi Srikandi.


PS: Jangan marah, jika aku jadi lebih sering memperhatikanmu. diam-diam.



*Ini proyek #30harimenulissuratcinta gagasan @perempuansore dan @ekaOtto di Twitter. Hati-hati saja, mungkin aku akan menulis untukmu <3

read more “Pengakuan Resmi.”