Empat tahun yang lalu, bukan di pantai yang eksotik, bukan di ujung senja, bukan juga di bawah dekapan hangat hujan deras, kita—aku dan kamu—pertama kalinya bersua wajah.
Sebuah kota kecil yang asri, yang masih dikelilingi banyak sawah hijau dan pohon-pohon kapas yang menjulang tinggi menjadi saksi awal kisah kita.
Pada saat itu kau menyapaku dengan hangat, sangat hangat malah.
Seolah-olah kau sudah mengenaliku lebih dulu, sudah mengumpulkan banyak informasi tentangku, sudah hafal gerak-gerikku, bahkan seperti sudah mengerti isi kepalaku, padahal kita baru saja bertemu.
Aku, baru benar-benar ketemu kamu.
Tapi, ya begitulah kamu. Terlalu berpengalaman dalam hal bagaimana membina hubungan pertemanan. Hingga tak heran jika selanjutnya kita menjadi sahabat karib.
Teman seiring sejalan.
Kau pun royal memberiku hadiah. Dari kupu-kupu, bunga mawar, injeksi adrenalin gratis, hingga kekuatan tambahan untuk otot-otot pipi supaya tidak pegal ketika harus terus-menerus tersenyum sepanjang hari.
Kau juga terkadang sangat iseng. Menghadiahiku pelangi.
Jika sudah begitu, aku pasti akan marah-marah.
“Aku suka pelangi. Sungguh suka. tapi kalau Tuhan marah bagaimana? Salah satu keindahanNya kan sedang dicuri olehmu”
“Kalau manusia lain juga iri bagaimana? Apa aku harus membagi-baginya?” Kataku kemudian.
“Tenang saja.. itu hadiah dari Tuhan kok” jawabmu santai sambil tak lupa tersenyum simpul.
Jawaban ini pula yang aku dapatkan ketika suatu waktu aku pernah bertanya dari mana asalmu.
Jujur, kau begitu misterius. Sangat misterius.
Kau begitu mengerti aku, kau begitu memahamiku. Sedangkan aku? Sama sekali tidak mengenalmu.
Setiap kali aku bertanya, kau pasti akan selalu menjawab “Dari Tuhan”.
Setiap kali aku berkeluh kesah dalam memahamimu, kau pun akan selalu bilang “Tanyalah pada Tuhan”
Setiap kali pertanyaan lain muncul, kau tetap menjawab “Coba cari tahu sendiri. Itu pekerjaan rumah dari Tuhan”
Sampai akhirnya, kita diuji.
Lebih tepatnya, aku yang diuji.
Dua tahun di umur pertemanan kita, aku meledak.
Aku marah besar.
Aku sedang dalam kesulitan, dan kau yang selama ini mengaku sebagai sahabatku cuma bisa diam dan melihat saja.
Tidak ada lagi komunikasi berarti.
Karena semua perkataanku akan mendapat reaksi yang sama darimu.
Kau seperti robot yang hanya terprogram untuk bisa bilang “Itu dari Tuhan”.
Aku-pada-saat-itu-benci-sekali-padamu.
Hingga kemudian aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan pertemanan ini.
Kau berpetualang sendiri.
Dan aku hidup sendiri dengan…. penyakit.
Ya!
Entah kenapa semenjak kita berpisah, penyakit itu datang.
Aku didera penyakit ganas.
Namanya Nosophobia*.
Entah kau mencampurkan virus apa selama ini dalam setiap hadiah yang kau beri, sampai-sampai aku semenderita ini.
Aku selalu ketakutan. Aku selalu marah. Aku selalu merasa benci. Aku selalu ingin berontak.
Aku lupa kata damai. Sungguh lupa.
Dan anehnya, ketika aku semakin tak mempercayaimu, semakin aku membencimu, maka semakin menyebar pula penyakit itu. Tak ubahnya seperti tumor yang bermetastatis ke seluruh tubuh.
Dan sungguh tidak mudah mengobati penyakit ini.
Segala hal ku lakukan. Segala hal. Sampai-sampai aku tidak sanggup menghitungnya lagi.
Segala hal, tanpa mencoba memasukkan nama tabib terhebat di muka bumi ini yang selalu kau sebut dulu.
Ya. Kau tahu kan? Aku benci dan tidak percaya lagi padamu, lalu kenapa aku harus percaya perkataanmu dulu? Aku gengsi!
Tapi karena entah kenapa nama itu terus bergema di telinga, akhirnya ku langkahkan kaki ke sana. Ku tundukkan wajah ke hadapannya.
Berusaha berkunjung kepadanya.
Dan kau benar. Kau sungguh benar. Dia sungguh tabib yang hebat.
Iya. Tuhan, tabib terhebat yang pernah ada.
Dia menyembuhkan setiap luka dengan perlahan.
Penuh kasih. Penuh sayang.
Dia tak memarahiku yang pada saat itu datang terlambat.
Dia masih tersenyum padaku.
Dia hangat merengkuhku.
Bahkan Dia membuat kita rujuk kembali.
Ya, Aku mungkin terlalu terlambat menyadarinya, tapi kau memang sahabat yang baik.
Kau, yang bernama Cinta adalah sahabat yang baik.
Aku baru menyadari bahwa luka dalam bercinta bukanlah karena ulahmu.
Tapi karena manusia bengis yang suka melakukan sesuatu yang keji dengan meminjam namamu.
Membuat manusia yang awam tentang cinta seperti ku ini langsung membabi buta menyerangmu.
Ah Cinta, maafkan aku.
Kelak jika ada lagi ketidakbahagiaan dalam cinta, mungkin akan ku anggap itu bonus.
Untuk lebih bermurah hati dan melatih memaafkan.
Untuk lebih mencintai kebahagiaan dan mensyukuri setiap senyuman yang tercipta.
Untuk lebih menghargai lagi setiap tetes air mata.
Untuk lebih berterimakasih akan anugerahNya.
Iya, kau yang bersematkan nama Cinta.
Aku,
Dewi Srikandi.
PS: Bisa kau katakan kepada Arjuna jika kali ini aku sedang tidak menulis tentangnya. Katakan saja, aku memimpikannya semalam.
PPS: Oh ya Cinta, terimakasih kau datang lagi kali ini. :)
*Nosophobia = istilah dramatis yang berarti ketakutan yang irrasional terhadap suatu penyakit, misal: jatuh cinta atau patah hati lagi. Istilah ini diambil dari buku Doctors-Erich Seagal
0 komentar:
Post a Comment