Monday, September 20, 2010
Sang Pencerah: Nurani Yang Terketuk.
Tidak berlebihan jika saya menyebut film ini sebagai pemilik harmonisasi unsur-unsur sinema yang baik dari karya asli putra-putri Indonesia.
Film bertemakan sejarah budaya dengan setting kolosal yang apik, nyaris membuat saya menikmati setiap alur yang disajikan. Tidak ada penggambaran yang berlebihan, Hanung Bramantyo benar-benar jeli meletakkan dan memilih setiap aktor/aktris, detil setting dan backsound untuk ditampilkan dalam film.
Pilihan tutur kata dalam dialognya juga kuat. "Kiasan yang sederhana"─kira-kira seperti itu saya lebih suka menyebutkannya. Karena pada beberapa dialognya, kita─sebagai penonton memiliki ruang leluasa untuk mengambil kesimpulan tentang maknanya. Tidak ada sesuatu yang menggurui, tapi percayalah mereka berhasil menyentil apa yang disebut keyakinan diri pada Agama.
Namun demikian, film ini─jika saya boleh menambahkan, bukan film Islam. Film ini mampu melintasi berbagai keyakinan. Oke, walaupun tidak dapat ditampik, karena secara gamblang dapat dilihat bahwa kemasan film ini bernamakan "Islam", tapi saya lebih suka melihat jauh di luar─sekedar─kelahiran Muhammadiyah. Tapi lebih kepada perihal kita─sebagai makhluk duogami; yaitu sebagai umat Tuhan dan teman sesama, yang kemudian menyangkut bagaimana kita bisa menempatkan dua fungsi tersebut secara seimbang. Saya yakin, setiap keyakinan manapun memiliki maksud yang sama untuk hal ini, bukan?
Lalu, katakan saja ini bagian favorit saya dari film ini. Seperti sifat alami manusia pada umumnya, kita mungkin makhluk paling cerdas di muka bumi ini dengan disisipi keahlian khusus berupa kepemilikan atas segudang judgement untuk orang lain. Judgement tadi tentunya semakin membuat kita buta. Lalai melihat ke dalam dan menilai diri sendiri secara obyektif.
"padahal manusia berhak salah. Dan manusia berhak berusaha menjadi benar"
...dan maafkan saya, jika kali ini harus membagi sedikit kata-kata yang mungkin akan semakin memperjelas kemana muara film ini menuju. Tapi tolonglah sependapat, siapa yang kemudian tidak menyetujui hal ini:
"Orang untuk tergelincir (dalam memiliki keyakinan) itu gampang, dia yang hanya memakai akal saja atau yang hanya memakai hati saja"
Lalu yang ini:
"memiliki prinsip itu baik. Tapi menjadi fanatik itu adalah ciri-ciri orang bodoh"
Tidak usah paksa saya membeberkan beberapa peristiwa di Negeri kita akhir-akhir ini tentang suatu penyakit bernama "fanatik" dan akibatnya bagi manusia lain─yang terpaksa menerimanya hanya karena mereka mungkin berbeda dalam cara memanjatkan do'a padaNYA.
Kemudian sebagai penutup review ngawur saya ini, saya punya keyakinan yang sama dengan istri Haji Ahmad Dahlan─setidaknya kelak, di saat saya bertemu dengannya─orang yang tulang rusuknya saya curi sebilah, saya berharap kalimat ini yang akan keluar "saya tidak melakukan Istikharah seperti yang dipesankan Bapak. Tapi saya memiliki hajat. Bermunajat kepada Allah bahwa saya yakin terhadap calon suami saya ini"
Saya tahu, itu hadiah terbaik yang pernah diterima oleh calon suami.
Sekali lagi, tolonglah sependapat dengan saya :)
P.S: satu-satunya kekurangan dari film ini yang saya ketahui, hanyalah saya tidak diberikan kesempatan untuk ikut Casting. Sekian.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment