Monday, November 30, 2009

Tanpa Label


“You don't marry someone you can live with, you marry the person who you cannot live without.”
-Anonymous-

semalam saya sempat ngobrol dengan teman lama. sebut saja obrolan khas antar kami. yang terkadang lebih banyak seriusnya dibanding bercandanya.

obrolan kami pun tidak pernah jauh-jauh dari hidup dan kehidupannya. cerita tentang antar anak manusia, hingga trik di dalamnya. sering kami berbeda pendapat. namun bagi kami sudah menjadi hal biasa. sampai akhirnya kami tiba pada pembicaraan tentang pernikahan dan hal-hal yang menyertainya. pembicaraan yang disebabkan oleh pernyataan aneh darinya :)

"besok kalau lo cari suami, jangan sama konsultan ya. kagak ada waktu buat anak istri. waktunya sama kerjaan mulu. kasian lo nanti."

"hmm... kayaknya gak cuma konsultan deh, apapun itu kalau udah workaholic juga bakal bernasib sama. gak punya waktu"

"udaahh.. lo cari suami PNS aja. setidaknya secara status sosial juga lebih tinggi daripada pegawai swasta"

"ah bisa aja lo! teori darimana tuh? lo juga pegawai swasta kan? konsultan pula! hahaha."

"yaahh.. menurut beberapa orang, bagaimanapun PNS punya status sosial yang lebih tinggi. karena gak semua orang bisa jadi PNS. jadi lebih prestise gitu loh."

"hahahaha.. gw bingung banget, masih ada ya teori aneh kayak gitu. udah lah yang penting bokap-nyokap gw ridho, oke-oke aja lah. itu aja sih yang gw pikirin serius."

lagi, pembicaraan seperti ini kembali mengingatkan saya pada beberapa alasan aneh yang membuat beberapa pasangan yang saling mencintai harus mengambil langkah perpisahan sebelum mereka melangsungkan niat baik mereka untuk berkeluarga.

alasan-alasan aneh itu antara lain:
[1] perbedaan status pekerjaan (PNS dan swasta)
[2] perbedaan status sosial di masyarakat (terpandang-kurang terpandang, kaya-miskin)
[3] perbedaan status pendidikan (gelar berderet-deret dan tidak punya gelar)
[4] perbedaan suku (suku A harus dengan suku A, suku B tidak boleh menikahi suku A)

oke.. biarkan saya sedikit "marah-marah" di sini!

[1] status pekerjaan
menurut saya, apapun itu selama pekerjaan halal dan menghasilkan sesuatu yang halal pula, tidak akan menjadi masalah. toh, rejeki bisa datang darimana saja. dan kedudukan seseorang bagaimanapun terletak pada dirinya sendiri. dari tingkah laku, tutur kata dan perbuatannya. dan saya masih meyakini, bahwa orang-orang yang "mulia" akan tetap terlihat dengan sendirinya. tanpa harus berlabelkan PNS atau Swasta. lagipula, baik PNS ataupun Swasta, memiliki kesulitannya masing-masing untuk bisa masuk ke dalamnya. dan perlu intelegensi masing-masing pula. jadi, kenapa mesti dipermasalahkan?

[2]
status sosial di masyarakat
label keturunan raja, orang terpandang se-kampung, kaya dan miskin, masih menjadi alasan yang kurang make sense bagi saya. karena sepertinya, yang paling terlihat dari point ini adalah gengsi semata. malu mempunyai besan dengan orang yang lebih miskin, kurang terpandang dan bukan keturunan raja.
lalu memangnya kenapa? apakah baik tidaknya seseorang ditentukan dengan nilai-nilai seperti itu? apakah embel-embel ini menjadi tolak ukur terpenting dari sebuah hati yang baik? padahal kita tahu pasti bahwa pada jaman sekarang, sudah sangat langka ditemui orang-orang yang memiliki hati yang baik, even untuk orang-orang yang (katanya) terpandang, kaya dan keturunan. oh please... being truly human is not just about having all matters. but knowing all matters better...

[3] status pendidikan
ini lagi! point yang tidak kalah aneh. oke! pendidikan memang penting. dan tidak bohong, saya pun menginginkan seorang suami yang pandai. tapi itu bukan berarti hanya dibuktikan dengan gelar yang berderet.
saya yang mungkin sedikit akrab dengan dunia pendidikan dan penelitian, tak jarang diperlihatkan bahwa terkadang seseorang yang berlabel "Doktor" (bukan Dokter yah!) tidak sepenuhnya berkelakuan selayaknya seorang Doktor, yang seharusnya mengikuti ilmu padi yaitu "semakin berisi, semakin menunduk". demikian sebaliknya, tak jarang pula saya diperlihatkan bahwa banyak orang tanpa label memiliki kepandaian yang tidak kalah tingginya. hanya saja mungkin mereka tidak memiliki banyak "kesempatan" seperti lainnya. so, masih kah kemudian kita bersombong diri memberikan label pada seseorang? jika selalu ada langit yang lebih tinggi di atas kita?

[4] status suku
mungkin ini adalah alasan yang paling aneh yang pernah saya dengar. tapi saya kemudian mempercayainya, karena justru alasan yang paling aneh inilah yang terjadi pada saya.
ceritanya adalah saya pernah diharuskan berpisah karena saya tidak berasal dari suku yang sama dengannya. suku-nya menganggap bahwa kaum dari suku saya, susah untuk dimengerti, tidak sepaham, dan lain-lain. beberapa cara negosiasi telah diusahakan namun sayang sekali hal ini tidak dapat diganggu gugat. karena berkaitan dengan restu orang tua. dan bagi saya, jika telah menyangkut ranah ini, itu artinya harga mati yang tidak bisa ditawar. harus dituruti.
selanjutnya, saya tidak ingin berkomentar macam-macam, karena saya hanya punya satu pertanyaan: "Pernahkah saya sendiri yang meminta kepada Tuhan untuk dilahirkan sebagai bagian dari suku yang tersemat pada diri saya sekarang?"

namun diantara berbagai pikiran-sok-tau saya sebagai anak dari orang tua dan cucu / sepupu / ponakan dari bagian sebuah keluarga besar, mungkin memang ada kewajaran mengapa mereka lantas berpikiran seperti itu.

yup! kekhawatiran akan melepas sang anak untuk dipercayakan pada orang lain. apakah dirinya kelak akan juga mendapatkan "kenyamanan" yang sama seperti yang ia dapatkan sewaktu masih menjadi anaknya dulu? namun sekali lagi, saya masih berharap bahwa kelak semakin sedikit saja orang-orang yang berpikiran sempit seperti ini.

dan saya pun sangat bersyukur lahir dan besar di lingkungan keluarga yang demokratis. di tengah berbagai keinginan yang ada, saya masih diberikan kesempatan untuk menyuarakan kata-kata saya!

semoga, hal-hal aneh tadi tidak berlaku pada kalian, teman-teman! :)

*****


-dan saya pikir, anak saya kelak, harus dididik lebih bijak lagi tentang masalah ini-

4 komentar:

bandit™perantau said...

saya komen ke masalah pendidikannya saja...


klo buat saya sih, status pendidikan seseorang itu bukan dari gelar di depan dan di belakang namanya... tapi attitude nya terhadap kehidupan itu dengan pendidikan yg dia miliki...


Ahaaaa... -whatever remain, whatever it takes, when God says: Dia tulang rusukmu...!, sampe matipun akan kuperjuangkan-....

Pohonku Sepi Sendiri said...

wah rada berat neh topiknya, mbake.. hehe..
tapi bagus banget kok sebagai pembelajaran kita.. :)

Andie said...

jadi apakah kamu akan menikahiku? *meracau* ---- bener nek. mungkin aku termasuk salah satu dari org aneh yg pilih2 pasangan. ok. saya mau posting di blog anda, kuini -- 1. pekerjaan, ya. kalo ak sebagai cowok, pekerjaan cewek mau apa ya terserah nek. kan cowoknya yg cari kerja. hehehe -- 2. status di masyarakat ga terlalu penting nek. gmana coba kalo kita pindah rumah pindah lingkungan? kebanyakan status itu mah cuma tinggal kenangan nek. -- 3. pendidikan. nah ini nek. aku selalu kagum liat cewek pinter. terlihat anggun. brr... tp ga syarat mutlak buat cari pasangan kok. -- 4. suku. yah. ini gak masuk itungan nek. hehehe.

Andie said...

saya berharap bahwa koment diatas adalah koment terpanjang dan terbobot dalam sejarah blog ini mbak. #wish