Thursday, September 10, 2009

Pemuda Berpuisi


Selamat pagi bapak dan ibu sekalian. Mohon maaf jika kehadiran kami mengganggu perjalanan Anda sekalian. Kami hanya ingin sedikit menghibur perjalanan Anda dengan beberapa bait syair yang merupakan buah karya kami sendiri”.

Kemudian, berlantunlah pemuda berusia tanggung itu dengan puisi yang berisikan tentang getirnya kehidupan…

Dan seperti biasa, pada akhir puisi, sang pemuda menawarkan sebuah kantong plastik bekas permen untuk diisi beberapa nilai rupiah. Pengalaman yang sudah teramat sangat biasa bukan? Apalagi untuk kehidupan di kota sebesar Jakarta. Ya, setiap orang berlomba-lomba untuk mencari rupiah dengan segala cara.

Aku. Pada saat itu sedang asyik bercengkrama dengan kawan di sebelahku tentang beberapa hal yang berkaitan dengan pekerjaan. Dari sudut mataku, kulihat sang pemuda berpuisi itu berjalan menghampiri, dengan tetap sebuah kantung plastik bekas permen itu di tangan sebelah kanannya.

Aku. Mengangguk sambil memberikan sedikit senyuman, bernada “Maaf Mas, saya belum bisa turut mengisi kantung plastik itu dengan beberapa rupiah”. Lalu, entah kecewa padaku atau pada seluruh penghuni metro mini itu, dia melenggang pergi sambil setengah berteriak dengan nada marah “Masih hidup ya Kapitalis hari ini”.

Diam. Ya, aku hanya terdiam tanpa bisa berkata apa-apa. Sedikit tersindir. Sedikit marah. Dan sedikit juga rasa cuek bebek dengan omongan si pemuda berpuisi itu.

Oke, mungkin memang aku salah, karena aku tidak membagi sebagian rejekiku padanya. Tapi hatiku tidak bisa diajak berkompromi ketika aku melihat kondisi si pemuda berpuisi itu. Secara fisik dia masih muda dan sehat. Menurutku untuk seusianya itu adalah masa usia produktif. Dia bisa melakukan pekerjaan lain selain (maaf) mengemis. Dia bisa jadi apa saja, dan dia aku pikir masih cukup kuat untuk melakukan pekerjaan berat sekalipun. Yaa. Aku tahu, bahwa aku tidak boleh men-judge begitu saja tentang usahanya mencari kerja. Hampir dapat dipastikan bahwa jika aku mendebatnya tentang soal pekerjaan, si pemuda itu akan menjawab “Ya saya tidak akan meminta-minta kalau saya punya pekerjaan lainnya”.

Jawaban yang tipe begitulah yang lantas membuatku tambah miris. Oke, aku akui bahwa mencari pekerjaan di jaman sekarang sangat amat tidak mudah. Bahkan untuk orang yang telah mengantongi berlembar-lembar ijazah sekalipun. Namun itu tidak lantas dijadikan excuse bahwa kita dalam kondisi normal dan sehat diperbolehkan untuk meletakkan tangan di bawah. Ya! Masih banyak jalan untuk menuju ke kehidupan yang lebih mulia.

Bukankah Tuhan sendiri yang telah menjamin untuk memberikan rejeki pada makhlukNYA?

Tuhan berkata: jika semut, makhluk yang kecil itu Aku berikan rejeki, maka tentunya kalian hambaKU akan kuberikan rejeki juga.

Tinggal bagaimana saja keuletan dan kesabaran kita saja berusaha.

Oke, maaf kiranya jika aku mengulasnya dengan bahasan yang seolah-olah begitu mudah. Tapi ya sesungguhnya tidak ada yang sedemikian sulit tentang urusan di dunia ini jika bukan kita sendiri yang membuatnya rumit kan? Pun ketika rumit benar-benar menghadang, yakinlah bahwa DIA, sang penggenggam kehidupan akan memberikan yang terbaik.

Setidaknya itu yang aku coba yakini ketika hidup harus berjalan di jalan terjal dan berbatu.

Ya. Hidup memang tidak pernah mudah. Itu yang kira-kira aku dapatkan selama ini. Jangan ditanya berapa banyak pelajarannya. Semoga semuanya sukses menempaku menjadi orang yang lebih menghargai hidup lagi.

Untuk pemuda berpuisi lainnya, tetaplah hidup untuk kehidupanmu. Karena kita tidak pernah tahu kemana cerita hidup ini akan berakhir, maka jagalah kesehatan otak dan hati. Sungguh itu bukanlah perkara yang mudah. [aku tahu bagaimana rasanya].

6 komentar:

ngampleh said...

mendingan pengamen jalanan sis, isa menghibur...
hiihihihih ...


peace
ngampleh

dswrikandi said...

ya.. asal jangan tangan terus-terusan di bawah... :)

nanti khawatirnya kita bisa dibeli dengan rupiah-rupiah itu.. hehehe

Pohonku Sepi Sendiri said...

Nice post mbake..
Tuhan memang memberikan rejeki kepada siapa saja, tak pandang bulu, asal kita masih benar-benar berusaha mencarinya. Dan yang terkadang kita lupa, rejeki bukan datang dari tempat kita kerja, atasan atau klien kita, juga bukan dari tangan-tangan di atas kita. Melainkan dari Sang Penggenggam Kehidupan itu sendiri, iya kan mbake? Hehe..

ajenk said...

Yup...terkadang kita harus membiasakan diri untuk tidak memberi mereka yang seperti itu...bukan karena pelit...
tapi justru karena kita tidak ingin memelihara kemiskinan...

apa kabar Perda Jakarta ? =)

dswrikandi said...

@ Pohon and Ajenk,, yup! setuju dengan pendapat kalian. pola pikir itulah yang seharusnya dan yang idealnya dimiliki setiap manusia dalam kaitannya dengan pencarian "biaya" hidup, namun sayangnya tidak semua orang melewati proses yang sama. maka dari itu, masih banyak orang-orang yg kemudian mencari biaya kehidupan dengan cara yang tidak seharusnya..

semoga kita termasuk golongan yang tidak merugi... ^^

Andie said...

puisi? waw. jarang bgt tuh di Pekanbaru mbak. biasanya sih ngamen doank. ato ngelap mobil pake kemoceng yg bikin mobil tambah kotor. #halah. -- manusia ada rejekinya masing2 mbak. mungkin dy belum rejeki dpt dr mbak. hehe.